Connect with us

Opini

Belajar Taat Ala Eropa: Ketika Energi Jadi Upeti

Published

on

Tiga perempat triliun dolar. Itulah angka yang dijanjikan Uni Eropa untuk membeli energi dari Amerika Serikat dalam tiga tahun ke depan. Bukan angka yang kecil. Bahkan untuk ukuran blok ekonomi sebesar Eropa, itu seperti membayar mahar untuk pernikahan yang tidak pernah diimpikan, tapi dipaksakan. Kesepakatan itu, yang diumumkan dengan wajah-wajah diplomatik yang seolah penuh kemenangan, sejatinya adalah penyerahan diri yang dibungkus kata-kata manis: kemitraan strategis, penguatan kerja sama transatlantik, dan tentu saja, demi keamanan energi.

Politico, yang membocorkan kegelisahan para analis dan pejabat Eropa sendiri, melukiskannya tanpa filter: “hampir mustahil.” Bahkan seorang analis senior dari Kpler, perusahaan riset energi, menyebut angka $750 miliar itu sebagai sesuatu yang “completely unrealistic.” Tahun lalu saja, Eropa hanya menghabiskan €76 miliar untuk energi dari AS. Menggandakannya tiga kali lipat akan berarti mematikan keran pasokan dari tempat lain—yang jauh lebih murah dan lebih masuk akal—dan menunggu keajaiban logistik dari Amerika.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tapi siapa peduli dengan logika, ketika yang lebih penting adalah memberi persembahan pada altar hubungan transatlantik? Dalam bahasa pasar, ini keputusan bodoh. Dalam bahasa politik, ini “penguatan ikatan strategis.” Dalam bahasa satir, ini adalah upeti.

Uni Eropa hari ini tampak seperti seorang pelayan tua yang mencoba menjaga martabat saat membungkuk, menawarkan baki penuh uang kepada tuannya di seberang Atlantik. Mereka tidak sedang membeli energi, mereka sedang membayar harga untuk tetap dianggap relevan dalam tatanan dunia yang makin menyesakkan. Di negeri-negeri dengan sejarah kolonial panjang, kata “upeti” biasanya datang bersama kata “penghinaan.” Tapi di Brussels, ia dijual sebagai diplomasi tinggi.

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dengan wajah tenang menyebut kesepakatan ini sebagai langkah untuk meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan terhadap Rusia. Pernyataan yang elegan, tentu. Tapi angka tak bisa berdusta: pada 2024 saja, UE masih mengimpor €23 miliar dalam bentuk minyak, gas, dan nuklir dari Rusia. Bahkan LNG dari Rusia meningkat dan menjadikannya pemasok nomor dua setelah AS.

Jadi apa artinya ini? Eropa tidak benar-benar berhenti dari Rusia. Mereka hanya berpura-pura berhenti—sambil mengikat diri lebih erat ke Washington. Dan untuk menambah drama, mereka melakukannya sembari memamerkan retorika kemandirian yang memukau.

Realitasnya, infrastruktur untuk mengimpor energi AS belum siap. Kapasitas kilang di Eropa hanya bisa menampung sekitar 14% dari minyak AS. Kapal pengangkut LNG dari AS ke Eropa tidak cukup banyak. Dan yang lebih ironis lagi, Komisi Eropa bahkan tidak bisa memastikan pembelian itu benar-benar terjadi, karena urusan membeli energi adalah ranah perusahaan swasta. Brussel hanya bisa berharap dan berdoa.

Tapi toh, janji tetap diumumkan. Karena dalam hubungan ini, simbol lebih penting dari substansi.

Eropa, yang dulu bangga sebagai poros kekuatan alternatif di dunia, kini bertingkah seperti murid teladan yang ingin dipuji Washington. Jika dulu AS menyuplai senjata dan komando militer, kini juga memasok energi, dan dengan itu, memasukkan cengkeramannya lebih dalam ke dalam urat nadi ekonomi Eropa.

Investasi tambahan $600 miliar ke dalam perekonomian AS adalah bab lain dari kisah ketundukan ini. Sebuah angka yang seharusnya membuat rakyat Eropa bertanya: mengapa uang sebanyak itu tidak dipakai untuk menghidupkan kembali industri dalam negeri, membangun ketahanan energi lokal, atau mempercepat transisi energi hijau? Tapi tampaknya pertanyaan-pertanyaan seperti itu dianggap terlalu populis, terlalu nasionalis, terlalu tidak transatlantik.

Sebagai gantinya, kita disuguhi kebijakan yang membungkus ketundukan sebagai “kerja sama setara.” Padahal dalam perjanjian ini, yang setara hanya pada kertas. Satu pihak menjual energi dengan harga tinggi, pihak lain membelinya meski tak mampu memprosesnya secara maksimal. Satu pihak membuka pintu investasinya, pihak lain menyuntikkan uang sambil berharap tetap dianggap mitra sejajar.

Bayangkan bila Indonesia yang mengambil kebijakan seperti ini. Media Barat akan memanggil kita “otoriter,” “tidak efisien,” atau “klien dari kekuatan besar.” Tapi karena ini dilakukan oleh Uni Eropa, maka semua berubah jadi narasi luhur: kebijakan energi berkelanjutan, solidaritas demokrasi, dan tentu saja, keamanan regional.

Padahal di balik semua jargon itu, realitasnya brutal: Eropa hari ini sedang menyerahkan sebagian besar kedaulatan ekonominya. Bukan lewat invasi atau tekanan senjata, tapi lewat kesepakatan dagang dan tekanan tarif. Ini adalah kolonialisasi ulang—bukan oleh kekuatan asing, tapi oleh “sekutu strategis.”

Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang lebih berdaulat—mereka yang berani bilang tidak kepada Washington, atau mereka yang terus menyebut “mitra” sambil menandatangani cek raksasa tanpa kepastian?

Kita yang di Asia, seharusnya mencatat ini dengan serius. Ini adalah pelajaran mahal tentang bagaimana negara-negara maju bisa jatuh ke dalam jebakan geopolitik yang diselimuti dengan kata-kata manis. Ini bukan soal energi. Ini soal arah.

Arah yang dipilih Uni Eropa saat ini jelas: bukan kemandirian, bukan efisiensi, bukan keberanian—melainkan kenyamanan dalam ketundukan. Mereka sedang menunjukkan bahwa menjadi besar tak selalu berarti berani. Kadang, justru berarti tahu kapan harus membungkuk… dan melakukannya dengan penuh gaya.

Dan gaya itulah yang sekarang sedang dijual ke publik Eropa—seolah menyerahkan kedaulatan itu bukan kelemahan, melainkan kepiawaian diplomasi. Seolah menggelontorkan ratusan miliar dolar ke negara lain bukan penyerahan, melainkan investasi masa depan.

Kita hanya bisa tersenyum getir. Dalam dunia di mana yang kuat membuat aturan dan yang lemah belajar berdamai dengan ilusi pilihan, Uni Eropa telah berhasil menunjukkan bahwa menjadi tunduk bisa jadi bentuk lain dari seni politik.

Sebuah seni yang mahal, tentu saja. Tapi jika tujuannya adalah tetap dalam lingkaran “elit demokrasi global”, tampaknya tak ada harga yang terlalu tinggi. Bahkan bila itu berarti mengganti pasokan energi dengan simbol ketergantungan yang lebih kuat.

Karena pada akhirnya, bagi mereka yang tidak sanggup membangun jalannya sendiri, ikut pada jejak kaki Washington tampaknya lebih mudah. Lebih aman. Lebih dihargai.

Dan mungkin, lebih nyaman.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer