Connect with us

Opini

BBC dan Kematian Objektivitas: Ketika Media Memihak Peluru

Published

on

Lebih dari 100 staf BBC menandatangani surat terbuka yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Tim Davie. Mereka menuduh lembaga tempat mereka bekerja sendiri telah gagal mematuhi standar editorialnya sendiri, berubah dari media publik menjadi semacam public relations agency untuk pemerintah Israel. Ada lebih dari 300 nama dari kalangan profesional media lainnya ikut membubuhkan tanda tangan, seolah berkata: “Tuan-tuan, kami tahu persis apa yang sedang Anda mainkan, dan kami jijik.”

Ironis? Lebih dari sekadar itu. Ini menjelma menjadi tragikomedi di panggung global informasi. Bayangkan—BBC, yang dahulu digadang-gadang sebagai simbol independensi jurnalisme Barat, hari ini dipertanyakan etikanya oleh orang-orang dalamnya sendiri. Ini bukan soal lalai. Ini bukan soal salah ambil kutipan. Ini soal niat. Tentang keputusan sadar untuk menempatkan kemanusiaan di kaki ideologi.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang mereka laporkan bukan hal remeh. Mereka bicara tentang sensor internal. Tentang jurnalis yang ditegur karena membagikan artikel kritis terhadap Israel. Tentang tekanan agar tetap netral, bahkan ketika darah anak-anak Palestina masih hangat menodai selimut darurat di rumah sakit yang nyaris runtuh. Seolah-olah “netralitas” kini telah menjadi kamuflase elegan untuk ketidakadilan, atau lebih buruk lagi, kolusi diam-diam terhadap kebiadaban.

Puncaknya adalah dibatalkannya penayangan dokumenter Gaza: Doctors Under Attack. Dokumenter yang sudah melewati meja editor, sudah mendapat lampu hijau, tapi kemudian diberangus. Alasannya? Konon karena dapat menimbulkan “persepsi keberpihakan.” Bukankah itu justru pengakuan terang-terangan bahwa editorial BBC kini lebih takut dianggap memihak korban, ketimbang terlihat berselingkuh dengan pelaku?

Tentu, ini bukan hanya kisah tentang satu dokumenter. Ini tentang apa yang tidak kita lihat di layar. Tentang berapa banyak kematian yang dikerdilkan jadi angka. Tentang berapa banyak anak yang tubuhnya remuk disebut sebagai “akibat konflik.” Dan tentang bagaimana sebuah lembaga informasi, yang konon milik publik, justru lebih khawatir pada tekanan lobi ketimbang luka manusia.

Dan mari kita berhenti berpura-pura bahwa ini hanya BBC. Kawan-kawannya di Barat tidak lebih bersih. New York Times pernah menyisipkan klausa “unverified” pada berita kematian massal di Gaza, tapi tidak ragu menggunakan “massacre” untuk menggambarkan kematian warga Israel. CNN seolah punya stok air mata yang hanya mengalir satu arah. Bahkan mesin algoritma media sosial pun tampaknya dilatih untuk mengenali kata “Palestina” sebagai sesuatu yang perlu dikaburkan. Dunia informasi kita dikepung, bukan oleh ketidaktahuan, tetapi oleh pilihan sadar untuk membelokkan arah empati.

Ini bukan persoalan teknis. Ini bukan sekadar jurnalis lupa etikanya. Tidak. Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Kita tidak sedang menghadapi ignorance, kita sedang menghadapi arrogance. Bukan ketidakmampuan untuk netral, tapi ketidakinginan. Sebab jika Anda tahu bahwa rumah sakit sedang dibom, anak-anak dibantai, dan Anda masih menyamakan semuanya sebagai “pertempuran,” maka Anda tidak sedang netral—Anda sedang berkhianat kepada akal sehat.

BBC, dan media-media Barat pada umumnya, suka sekali menyebut dirinya sebagai pilar demokrasi. Tapi pilar macam apa yang menyangga bangunan opini publik sambil menyembunyikan reruntuhan kemanusiaan? Apakah ini jurnalistik, atau sekadar stage management untuk narasi kekuasaan? Dunia sedang runtuh dan mereka sibuk menyetrika benderanya agar tetap tampak sopan.

Mereka bilang, “kami sudah menyajikan dokumenter tentang Gaza.” Tapi yang tidak mereka bilang: berapa banyak sudut kamera yang mereka potong, berapa banyak testimoni korban yang mereka tone down, berapa kali mereka disuruh “periksa lagi kata-katanya,” agar tidak terlalu ‘bias terhadap Palestina.’ Dan bias terhadap Palestina kini tampaknya menjadi dosa terbesar, mengalahkan pembantaian itu sendiri.

Dan jangan tanya soal standar ganda. Ketika Bob Vylan teriak “Death to the IDF” di panggung Glastonbury, yang jadi masalah adalah ucapannya, bukan ribuan orang yang mati karena tangan pasukan yang disebutnya. BBC langsung dipanggil, disidang secara moral. Tapi ketika anak-anak Palestina dimasukkan ke dokumenter, lalu anak itu ketakutan dan bilang “saya akan menyalahkan BBC kalau saya dibunuh,” reaksi mereka adalah: minta maaf karena menayangkannya. Bukan karena membiarkan dunia tempat anak itu hidup dikepung kematian.

Mungkin sudah waktunya kita bertanya, untuk siapa sebenarnya media-media ini bekerja? Untuk publik, atau untuk pabrik narasi kekuasaan? Di sini, di tanah yang jauh dari London dan New York, kita pun seharusnya sudah berhenti menjadikan mereka sebagai rujukan utama. Jika media yang katanya adil dan terpercaya bisa berpura-pura tidak tahu ketika genosida sedang disiarkan langsung, maka kebenaran kini harus dicari di tempat lain—mungkin di akun jurnalis lokal yang ditandai “konten sensitif,” atau dalam suara sumbang bocah Gaza yang tersisa satu paru-paru.

Jadi, cukup sudah kita mengutip mereka sebagai otoritas. Kita tidak sedang kekurangan data, kita kekurangan keberanian untuk mengakui bahwa para pembawa kebenaran itu ternyata sedang bermain dalam tim pelaku. Mereka bukan sedang keliru. Mereka sedang korup. Dan kita tidak sedang mengajari ikan berenang. Kita sedang menunjuk ikan hiu yang sedang berpura-pura jadi pemandu wisata laut.

Dan seperti biasa, suara-suara waras yang membongkar kemunafikan ini akan disudutkan. Dituduh bias. Ditandai sebagai “militan.” Tapi jika berpihak pada yang dibom adalah bias, maka sejarah seharusnya juga mengutuk kita karena dulu pernah berdiri di sisi anak-anak Vietnam, Rwanda, dan Bosnia. Mungkin inilah saatnya kita menerima bahwa tak semua bias buruk. Sebab dalam perang, yang tidak memihak pada korban, diam-diam sedang memihak pada peluru.

Dan BBC, dengan segala kredibilitas, sejarah, dan reputasinya, hari ini telah mengajarkan kepada kita satu hal penting: bahwa bahkan institusi yang paling agung pun bisa jatuh—bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu persis apa yang mereka lakukan, dan tetap melakukannya juga.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer