Connect with us

Opini

Bayar, Bayar, Bayar: Cermin Buram yang Bikin Gerah

Published

on

Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan, lahirlah sebuah lagu yang menggemparkan. Judulnya sederhana, “Bayar, Bayar, Bayar.” Sebuah untaian lirik yang tidak bertele-tele, tidak bombastis, tidak mencoba berfilosofi, hanya sekadar menangkap kenyataan sehari-hari di negeri ini. Lagu itu seperti cermin, tapi entah kenapa, yang bercermin justru marah.

Lagu ini bukan makian, bukan juga sumpah serapah. Ia hanya bercerita tentang kebiasaan yang sudah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat. Bikin SIM? Bayar. Ketilang? Bayar. Touring motor gede? Bayar. Angkot ngetem? Bayar. Seakan-akan uang adalah kunci segala urusan. Lucunya, yang disebut-sebut dalam lagu itu justru tersinggung, seolah-olah mereka baru pertama kali mendengar cerita ini.

Kita harus bertanya, apa yang salah dalam lagu itu? Jika polisi tidak pernah meminta uang di jalanan, jika tidak ada pungutan liar di kantor pelayanan, jika semua urusan berjalan sesuai aturan tanpa celah, maka lagu ini memang bohong besar. Tetapi jika praktik itu nyata, maka yang lebih layak marah adalah rakyat, bukan institusi yang disebut-sebut di dalamnya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih membuktikan bahwa mereka bersih dan bebas dari praktik semacam itu, yang terjadi adalah permintaan maaf. Bukan dari yang merasa tertuduh, tapi dari yang menyampaikan realitas. Sang pencipta lagu, yang hanya bernyanyi tentang apa yang mereka lihat, dipaksa tunduk dan merendah. Konsekuensi logisnya, kita tidak boleh lagi berbicara soal kenyataan, karena kenyataan bisa dianggap sebagai penghinaan.

Lebih lucu lagi, seorang vokalis band ini, seorang perempuan berjilbab yang mengajar sebagai guru, tiba-tiba kehilangan pekerjaannya. Alasannya? Pelanggaran kode etik. Kode etik yang baru ditemukan setelah lagu ini viral, setelah polisi mendatangi sekolah tempatnya mengajar. Oh, betapa kebetulan yang begitu mulus! Seperti sandiwara yang skenarionya dibuat mendadak tapi tetap terasa klise.

Kata mereka, ini bukan soal lagunya. Bukan soal kritik terhadap institusi yang tersinggung. Ini murni soal etika. Ada pelanggaran di sana, katanya. Tapi ketika ditanya, apa bentuk pelanggarannya? Jawabannya samar, berputar-putar seperti debat yang kehilangan arah. Yang lebih aneh lagi, yang dikatakan melanggar justru menerima nasibnya begitu saja. Seolah-olah ini semua sudah bisa ditebak, seperti peringatan tak tertulis yang hanya dimengerti oleh mereka yang tahu cara kerja sistem ini.

Di negeri ini, kebebasan berekspresi selalu punya batas yang lentur. Di atas kertas, orang boleh berkata apa saja, boleh bernyanyi, boleh berpuisi. Tetapi ketika kata-kata itu terlalu dekat dengan kenyataan, ketika ia menyentuh sesuatu yang tabu, tiba-tiba kebebasan itu menjadi ancaman. Bukan ancaman bagi negara, bukan bagi hukum, tapi bagi mereka yang merasa namanya disebut-sebut dalam nada dan lirik.

Bayangkan jika lagu ini tidak pernah viral. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada pemecatan, tidak ada pembelaan. Yang ada hanyalah sekelompok musisi jalanan yang menyanyikan sesuatu yang semua orang sudah tahu. Tetapi sayangnya, lagu ini terdengar terlalu keras, terlalu jujur, dan terlalu dekat dengan kebenaran yang ingin disembunyikan. Maka, tangan-tangan kekuasaan bergerak, entah lewat tekanan langsung atau lewat mekanisme yang lebih halus.

Lucunya, reaksi atas lagu ini justru memperkuat tuduhan yang ada di dalamnya. Jika tidak ada yang benar dalam lirik itu, seharusnya tidak perlu ada yang bereaksi berlebihan. Tidak perlu ada intervensi, tidak perlu ada tekanan. Biarkan saja lagu itu berlalu, seperti angin yang sekadar lewat. Tapi ketika lagu sederhana ini menimbulkan gelombang ketakutan dan represi, bukankah itu justru membuktikan bahwa isinya bukan sekadar imajinasi?

Kita hidup di era di mana ironi menjadi bahan utama drama politik. Ketika mereka yang seharusnya menjamin keadilan justru lebih sibuk menutup-nutupi kenyataan. Ketika yang mengungkap realitas harus meminta maaf, sementara yang menciptakan realitas itu bebas dari beban moral. Jika ini bukan lelucon yang kejam, maka kita harus bertanya, dalam dunia seperti apa kita sebenarnya tinggal?

Dan akhirnya, di antara suara-suara yang dipaksa diam, lagu ini akan tetap bergema. Mungkin tidak di panggung, mungkin tidak di media sosial, tetapi dalam ingatan mereka yang pernah berurusan dengan realitas yang digambarkan dalam lirik itu. Karena kenyataan tidak bisa dihapus hanya dengan intimidasi. Ia tetap ada, meskipun tidak lagi dinyanyikan di atas panggung.

Jika lagu ini hanyalah ekspresi seni, maka seharusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tetapi jika lagu ini dianggap berbahaya, maka itu hanya membuktikan bahwa kebenaran bisa menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka yang merasa tersinggung. Lalu, apa yang lebih berbahaya? Lagu yang menyuarakan kebenaran atau kenyataan itu sendiri? Jika memang ingin membungkam suara, pastikan dulu realitas yang disuarakan sudah tidak ada.

Sayangnya, kenyataan masih tetap ada. Pungutan liar tidak hilang hanya karena lagu ini dilarang. Orang-orang masih merasakan perbedaannya di jalanan, di kantor pelayanan, di tiap sudut kota. Hukum memang ada, tetapi dalam praktiknya, hukum tidak selalu tegak lurus. Mereka yang berkuasa lebih sibuk mengatur narasi ketimbang memperbaiki realitas.

Jadi, apakah masalahnya terletak pada lagu atau pada sistem yang membiarkan lagu itu terasa relevan? Jika ingin lagu seperti ini tidak ada lagi, cukup lakukan satu hal: buktikan bahwa realitas yang diungkap di dalamnya tidak lagi terjadi. Bukan dengan intimidasi, bukan dengan tekanan, tapi dengan perubahan nyata yang bisa dirasakan oleh semua orang.

 

*Sumber:

YouTube Official iNews

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *