Opini
Bayangan Kelam di Balik Modernitas Jerman

Jerman, negara yang sering dijadikan simbol kemajuan, efisiensi, dan peradaban Eropa, kini menghadapi kenyataan yang mengguncang nurani. Laporan resmi menunjukkan lonjakan tajam dalam pengaduan diskriminasi rasis: dari 1.167 kasus pada 2019 menjadi 3.858 kasus pada 2024. Jika dihitung total, Badan Anti-Diskriminasi Federal mencatat 11.405 pengaduan sepanjang tahun itu. Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah potret luka sosial yang makin menganga, pertanda bahwa di balik gemerlap modernitas, masih tersembunyi kegelapan intoleransi yang sulit dihapus.
Ferda Ataman, komisaris badan tersebut, dengan gamblang menyebut bahwa Jerman memiliki “masalah rasisme yang serius.” Menurutnya, jutaan orang kini lebih cemas akan keselamatan mereka dibanding sebelumnya. Pernyataan ini menggambarkan sebuah paradoks: negara yang dikenal dengan sistem hukum tertata dan demokrasi yang mapan justru sedang bergulat dengan diskriminasi yang kian merajalela.
Dari ribuan laporan itu, sebagian besar—lebih dari sepertiga—berkaitan langsung dengan rasisme, antisemitisme, dan diskriminasi berbasis asal etnis. Lonjakan tiga kali lipat dalam lima tahun ini mengindikasikan dua hal: memburuknya situasi sosial, serta meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan ketidakadilan. Namun, seperti yang Ataman katakan, “apa yang kita lihat hanyalah puncak gunung es.” Jika yang terlaporkan sudah sebesar ini, berapa banyak yang tak terdengar karena ketakutan, ketidaktahuan, atau keputusasaan?
Kasus diskriminasi terjadi di berbagai sektor kehidupan. Dunia kerja menjadi salah satu ranah paling terdampak, dengan lebih dari 3.000 laporan terkait ketidakadilan di tempat kerja. Bayangkan seseorang yang berulang kali dilewati promosi atau bahkan diberhentikan hanya karena namanya terdengar asing atau warna kulitnya tak sesuai mayoritas. Lebih menyedihkan lagi, diskriminasi juga terjadi di institusi yang seharusnya melindungi warga: sekolah, rumah sakit, kepolisian, hingga pengadilan.
Ataman menyoroti ironi pahit dalam sistem hukum yang berlaku. Di Jerman, seseorang justru lebih terlindungi dari diskriminasi di restoran ketimbang di kantor pemerintahan. Undang-Undang Kesetaraan Umum (AGG) saat ini belum mencakup institusi publik. Akibatnya, ribuan warga tidak memiliki perlindungan hukum saat menghadapi diskriminasi dari negara. Ia bahkan menyindir, “pelanggaran parkir ditindak lebih konsisten daripada diskriminasi.”
Kondisi ini mengundang refleksi, bukan hanya bagi Jerman, tetapi juga bagi kita di Indonesia. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas bukanlah fenomena asing di negeri ini. Kita mengenal bagaimana sebagian warga Papua atau pekerja migran dari NTT sering kali diperlakukan dengan pandangan sinis di kota-kota besar. Kelompok agama tertentu juga menghadapi berbagai bentuk penolakan, baik sosial maupun institusional. Meski belum ada laporan resmi seterperinci seperti di Jerman, kisah-kisah ini beredar di media sosial dan menjadi percakapan harian—diam-diam tapi nyata.
Satu dari tiga orang di Jerman mengaku pernah mengalami diskriminasi. Angka ini mengundang pertanyaan: jika hal serupa ditanyakan di Indonesia, berapa banyak dari kita yang akan menjawab “ya,” tapi tak pernah melapor karena tak tahu harus ke mana, atau takut akan konsekuensinya?
Namun, lonjakan pengaduan itu juga menyimpan harapan. Di satu sisi, memang mengkhawatirkan: intoleransi tampak semakin berani menunjukkan wajahnya, diperparah oleh tekanan ekonomi dan ketidakpastian pasca-pandemi. Di sisi lain, ini menunjukkan bahwa publik mulai sadar akan hak-haknya dan berani bersuara. Peningkatan pelaporan adalah pertanda adanya penolakan terhadap normalisasi diskriminasi. Rasa takut perlahan digantikan oleh semangat perlawanan.
Kita juga harus menelaah faktor-faktor pemicunya. Krisis ekonomi yang menimpa Eropa, termasuk Jerman, tidak bisa diabaikan. Ketika lapangan kerja menyusut dan inflasi meroket, masyarakat mudah tergoda mencari kambing hitam. Migran dan minoritas etnis kerap menjadi sasaran, dituding sebagai penyebab turunnya kualitas hidup. Di Indonesia, pola ini pun akrab. Saat ekonomi melemah, narasi menyalahkan kelompok tertentu—entah etnis Tionghoa, pekerja luar daerah, atau kelompok keagamaan minoritas—kembali mencuat, baik di ruang nyata maupun maya.
Kelompok sayap kanan seperti partai AfD di Jerman memanfaatkan keresahan ini dengan menyebarkan kebencian terhadap pendatang dan minoritas. Propaganda yang menstigmatisasi mereka sebagai beban atau ancaman budaya nasional menjadi bahan bakar bagi diskriminasi yang lebih sistemik. Di Indonesia, kita melihat pola serupa dalam bentuk ujaran kebencian yang tersebar di media sosial, selebaran dakwah, atau bahkan pernyataan politik.
Meski begitu, tidak semua berita buruk. Laporan ini juga menandakan lahirnya momentum: dorongan untuk memperluas cakupan perlindungan hukum, memperkuat lembaga pengaduan, dan menantang narasi intoleransi. Ataman dan sejumlah aktivis mendorong agar AGG mencakup institusi publik, agar tidak ada lagi warga yang merasa tak punya tempat mengadu saat negara justru menjadi pelaku diskriminasi.
Fenomena ini juga tercermin dalam ruang digital Indonesia. Kasus-kasus diskriminasi yang viral di media sosial tak jarang memicu aksi korektif, baik dari pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat. Meskipun respons sering kali bersifat reaktif dan terlambat, namun tetap menjadi bukti bahwa masyarakat tak lagi sepenuhnya diam.
Tetapi kita tak boleh lengah. Seperti Ataman ingatkan, laporan resmi hanya mencerminkan sebagian kecil dari realitas. Banyak cerita yang tetap terkubur dalam diam: karena takut, karena merasa tak ada gunanya melapor, atau karena sudah terlalu lama terbiasa diperlakukan tidak adil. Ini berlaku di Jerman, dan sangat mungkin lebih parah di Indonesia, di mana jalur hukum dan perlindungan terhadap korban diskriminasi masih minim atau rumit diakses.
Pertanyaannya kemudian: apa artinya menjadi masyarakat “beradab”? Jerman, dengan sejarah panjang Holocaust dan trauma akan ideologi supremasi, seharusnya paling peka terhadap bahaya rasisme. Tapi laporan ini menyiratkan bahwa intoleransi tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya tertidur, menunggu saat untuk kembali muncul. Demikian pula Indonesia: sejarah kelam konflik etnis dan agama seharusnya menjadi pelajaran berharga, bukan kenangan yang dibungkam.
Jika diskriminasi dibiarkan tumbuh, kita bukan sedang berjalan maju, melainkan mundur perlahan ke masa lalu yang kita coba lupakan. Maka yang dibutuhkan bukan hanya hukum yang tegas, melainkan kesadaran kolektif. Pendidikan yang menumbuhkan empati sejak dini, media yang adil dalam menampilkan keberagaman, serta keberanian untuk menantang prasangka, menjadi fondasi masyarakat yang benar-benar adil.
Akhirnya, di balik angka-angka dalam laporan ini, ada manusia—dengan cerita, luka, dan harapan. Jika Jerman, dengan segala kemajuannya, masih bergulat menghadapi bayang-bayang diskriminasi, pertanyaannya: apakah kita di Indonesia siap bercermin dan bertanya, “sudah seberapa jauh kita dari bayangan itu?” Atau, jangan-jangan kita sedang berdiri di dalamnya?