Connect with us

Opini

Bayangan Gaza di Rumah-Rumah Tepi Barat

Published

on

Di tahun 2025, kekerasan yang dilakukan oleh pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki mencapai titik paling mengkhawatirkan dalam dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari laporan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), yang mencatat lebih dari 220 warga Palestina mengalami luka-luka sepanjang tahun ini—rata-rata 44 orang setiap bulan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata dari luka, penderitaan, dan ketakutan yang terus menghantui kehidupan sehari-hari.

Bayangkan, seluruh komunitas Badui di Maghayer ad Deir—sekitar 120 jiwa—terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka sendiri akibat pendirian pos pemukiman ilegal Israel keempat di dekat wilayah itu. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sibuk dengan urusannya masing-masing, peristiwa ini mengoyak nurani: bagaimana mungkin sebuah komunitas bisa dihapuskan begitu saja dari tempat yang telah mereka huni turun-temurun? Ini bukan sekadar pengungsian, melainkan perampasan hak paling dasar secara sistematis.

Laporan OCHA menjadi cermin buram bagi Tepi Barat, yang kini perlahan menyerupai Gaza. Sejak dimulainya operasi militer Israel yang dinamai “Iron Wall” pada 21 Januari 2025, jejak kehancuran terus meluas. Delapan puluh warga Palestina kehilangan tempat tinggal akibat penghancuran punitif. Hanya di bulan Mei, sebanyak 50 rumah di Kamp Pengungsi Nour Shams luluh lantak. Bahkan, di Kamp Tulkarem, warga hanya diberi waktu tiga jam untuk mengemasi barang-barang sebelum 20 bangunan mereka diruntuhkan.

Ini bukan lagi sekadar operasi militer. Yang tengah berlangsung tampak seperti pola kekerasan sistematis—sebuah taktik bergaya Gaza yang kini merayap ke Tepi Barat. Sejak meletusnya konflik di Gaza pada 7 Oktober 2023, lebih dari 1.000 warga Palestina tewas di Tepi Barat, menurut data Palestina. UNRWA melaporkan bahwa sekitar 33.000 orang masih mengungsi dari kamp Jenin, Nour Shams, dan Tulkarem. Mereka tak bisa pulang. Di wilayah Salfit, sekitar 90.000 jiwa hidup dalam tekanan berat akibat pembatasan pergerakan ekstrem, hingga mereka terputus dari layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Dengan demikian, Tepi Barat pelan-pelan berubah menjadi refleksi menyakitkan dari Gaza—wilayah yang dilanda kehancuran, keterasingan, dan keputusasaan.

Yang lebih mengiris hati, kekerasan tak hanya datang dari pasukan bersenjata. Warga sipil Israel, khususnya para pemukim, turut menjadi pelaku kekejaman secara langsung. Kasus dua bersaudara Palestina-Amerika, Ghassan dan Imad Jaber, yang diculik dan disiksa oleh pemukim di desa Burqa dekat Ramallah, mencerminkan bahwa kekerasan sipil bukan peristiwa yang terisolasi. Meski akhirnya dibebaskan dan dirawat di rumah sakit, kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak tragedi serupa yang kerap luput dari perhatian dunia.

OCHA menyebutkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh para pemukim mencapai tingkat tertinggi dalam dua dekade terakhir. Serangan, pengusiran, hingga penyiksaan dilakukan oleh warga sipil bersenjata yang sering kali bergerak tanpa hambatan. Ironisnya, tindakan tersebut kerap terjadi di bawah pengawasan tentara Israel—yang alih-alih mencegah, justru seolah membiarkan. Padahal, sesuai Konvensi Jenewa, pasukan pendudukan memiliki kewajiban melindungi warga sipil di wilayah yang mereka duduki. Dalam konteks ini, kekerasan yang terus berlangsung memperlihatkan bentuk penindasan yang bersifat struktural—di mana kekuatan militer dan sipil saling meneguhkan dalam merawat ketidakadilan.

Keterlibatan warga sipil dalam kekerasan bukan hanya mencederai norma kemanusiaan, tetapi juga memperparah akar konflik. Ketika masyarakat sipil berubah menjadi pelaku kekejaman—menyerang, menculik, hingga mengusir sesama manusia—ini bukan sekadar konflik wilayah, melainkan gejala dari pembiaran sistemik yang menumbuhkan benih kekerasan jangka panjang. Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024 telah menegaskan bahwa pendudukan dan pemukiman Israel di Tepi Barat adalah ilegal, dan menyerukan evakuasi total. Namun, lebih dari 700.000 pemukim masih tinggal di sana, menentang hukum internasional.

Pemandangan komunitas Badui yang terusir, bangunan yang hancur, dan keberadaan militer yang pasif terhadap kekerasan pemukim menunjukkan bahwa ini telah melampaui batas-batas perang konvensional. Perang pun mengenal aturan—ada garis pemisah antara kombatan dan warga sipil, ada tanggung jawab untuk melindungi kehidupan non-kombatan. Namun di Tepi Barat, batas-batas itu kian pudar. Maka, timbul pertanyaan mendasar: apa arti hukum internasional bila kekerasan terhadap warga sipil dibiarkan tanpa konsekuensi?

Sementara itu, krisis kemanusiaan di Gaza kian mencengkeram. Pada suatu hari Selasa di tahun 2025, sebanyak 23 warga Palestina tewas dan 200 lainnya terluka ketika pasukan Israel menembaki kerumunan warga kelaparan yang sedang mengantre bantuan di wilayah barat Rafah, sebagaimana dilaporkan media Palestina. Kementerian Kesehatan Gaza mencatat bahwa sejak 27 Mei, sedikitnya 75 orang tewas dan 400 lainnya terluka di sekitar pusat distribusi bantuan. Bahkan, tenda-tenda pengungsi di Deir al-Balah tak luput dari serangan, menewaskan tiga orang, termasuk anak-anak.

Ironisnya, bantuan kemanusiaan—yang seharusnya menjadi penyelamat—berubah menjadi jebakan maut. Médecins Sans Frontières (MSF) secara terbuka mengutuk pendekatan bantuan gabungan AS-Israel yang mereka nilai “tidak manusiawi” dan “tidak efektif.” Pendekatan itu bahkan dianggap berpotensi melanggar hukum kemanusiaan internasional karena digunakan untuk melegitimasi agresi militer dan pengusiran paksa. Gambaran ini memperjelas bagaimana wajah Tepi Barat dan Gaza kini saling menyatu: sama-sama dicekik kekerasan, pengungsian, dan kehilangan harapan.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menunjukkan solidaritas kepada Palestina. Dari doa bersama hingga aksi jalanan di Jakarta, Bandung, hingga Makassar, rakyat Indonesia kerap menyuarakan empati terhadap penderitaan Palestina. Kita punya pengalaman sejarah dijajah. Maka, menyaksikan tragedi kemanusiaan ini, hati kita pun teriris. Sebuah bangsa dipaksa hidup di bawah pendudukan dan dihantui kekerasan dari dua arah—militer dan sipil—sementara dunia memilih diam.

Dari Sabang hingga Merauke, kita sering berbicara tentang keadilan. Namun kenyataan di Palestina mengajukan pertanyaan mendalam: benarkah keadilan itu ada? Di mana suara tegas komunitas internasional? ICJ telah bersuara, PBB sudah menyampaikan laporan, MSF mengecam dengan keras—namun tindakan konkret masih terasa jauh. Liputan media internasional pun cepat berlalu, tergantikan oleh berita-berita lain yang lebih menarik perhatian.

Di titik ini, kita dihadapkan pada cermin kesadaran: apakah kita hanya akan menjadi penonton pasif yang terlalu nyaman dengan keseharian, hingga tak lagi tersentuh oleh tragedi di luar sana? Ataukah kita mulai mati rasa terhadap penderitaan manusia lainnya?

Refleksi ini mengantar kita pada pertanyaan yang lebih besar: jika Tepi Barat benar-benar berubah menjadi Gaza—dikepung, dihancurkan, dan kehilangan masa depan—apa yang tersisa bagi rakyat Palestina? Jika kekerasan sipil dibiarkan, dan kekuatan pendudukan tidak berbuat apa-apa, apakah ini bukan bentuk penindasan sistematis yang melampaui makna perang?

Dan jika dunia terus membisu, apakah kita, sesama manusia, tidak turut bertanggung jawab karena membiarkan kemanusiaan terkubur dalam keheningan? Laporan dari OCHA, UNRWA, dan MSF bukan sekadar angka. Itu adalah jeritan anak-anak yang kehilangan rumah, keluarga yang tercerai-berai, dan hak yang dilucuti. Mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan bertanya: apa yang bisa kita lakukan? Dari doa, suara, hingga tekanan nyata—agar Tepi Barat tak berubah sepenuhnya menjadi Gaza. Agar kemanusiaan tak terus terkubur dalam diam.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *