Opini
Bayang Preman: Keresahan dan Harapan di Jantung Negeri

Keresahan itu terasa nyata, seperti kabut yang menyelimuti pagi Jakarta, dingin dan menyesakkan. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya, tak sekadar menyuarakan kekhawatiran—ia seperti menampar kita dengan kenyataan: premanisme, berkedok organisasi masyarakat, merusak sendi-sendi bangsa. Ia bicara tentang investasi yang terhambat, usaha kecil yang dipreteli, dan rakyat yang terintimidasi. “Pabrik ditutup, jalan dipalang, UKM diperas,” katanya, dan suaranya bergema, seolah menuntut kita semua untuk berhenti sejenak. Apa artinya negara jika hukum kalah oleh kuasa jalanan? Realitas ini bukan sekadar berita, tapi luka yang terus berdarah di tubuh masyarakat kita.
Bayangkan seorang pedagang kecil di pasar Tanjung Priok, tangannya gemetar saat menyerahkan upeti ke sekelompok pria bertato yang mengaku “pengaman”. Ia tahu, melawan berarti ancaman, tapi diam berarti kehilangan rezeki. Ini bukan cerita baru. Diskusi di Metro TV (2025) menggambarkan betapa premanisme telah menjadi parasit: dari pungli di pelabuhan hingga pengancaman di kawasan industri. Lebih dari 3.000 kasus ditangani polisi sejak 1 Mei 2025, dengan 429 preman ditangkap di Banten saja. Angka itu mengejutkan, tapi juga menyisakan pertanyaan: kenapa masalah ini terus berulang, seperti lingkaran setan yang tak pernah putus?
Saya teringat Jakarta tempo dulu, ketika “jagoan” di kampung masih dipandang sebagai pelindung. JJ Rizal, di acara Rosi, menyebutkan tradisi ini berakar sejak zaman kolonial, ketika preman adalah bagian dari dinamika kota. Tapi kini, romantisme itu telah sirna. Premanisme modern, berkedok ormas, bukan lagi soal keberanian, melainkan keserakahan. Mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan negara—pelabuhan yang tak terurus, pasar yang dibiarkan liar. Wamendagri Bima Arya menegaskan, “Ormas hadir karena negara absen.” Kalimat itu menggigit, seolah menuding kita semua: pemerintah, aparat, bahkan masyarakat yang diam.
Namun, benarkah negara benar-benar absen? Atau justru negara hadir, tapi dalam wujud yang salah? Diskusi di Metro TV mengungkap fakta pahit: banyak ormas merasa kebal hukum karena mendapat “backing” dari oknum aparat atau elit politik. Kepala daerah, kata para pembicara, sering terjebak dalam balas budi politik, enggan membekukan ormas karena takut kehilangan dukungan. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal keberanian. Ketika seorang bupati ragu menindak ormas yang jadi tim suksesnya, hukum jadi sandera politik. Dan rakyat? Mereka hanya penonton yang terpaksa membayar tiket dengan ketakutan.
Satgas Terpadu Penanganan Premanisme, dibentuk atas arahan Prabowo, adalah respons yang terlihat gagah. Operasi di Banten menjaring 63 tersangka, dari pemalak hingga pengancam bersenjata. Kemendagri punya kuasa mencabut status ormas, menghentikan dana hibah, bahkan membubarkan. Tapi, di sini letak keraguannya: satgas ini, seperti diakui Ito Sumardi di Metro TV, bersifat temporer. Ia seperti pemadam kebakaran, datang saat api membesar, pergi ketika asap memudar. Empat tahun lalu, kasus John Kei mengguncang Jakarta, tapi apa yang berubah? Premanisme kembali, dengan wajah baru, di tempat yang sama. Bukankah ini pertanda bahwa kita hanya menyapu debu, bukan membersihkan rumah?
Akar premanisme bukan sekadar soal hukum, tapi juga ekonomi dan sosial. Banyak pelaku, seperti tersirat dari diskusi Kompas TV, adalah korban ketimpangan: pemuda tanpa pekerjaan, terjebak dalam lingkaran kemiskinan, melihat premanisme sebagai jalan pintas. Marcel Ririhena menyebut jasa penagih utang masih laku, bahkan di kalangan perusahaan besar. Ini ironis: di satu sisi, kita mengutuk preman, di sisi lain, kita—secara tak langsung—membiayai mereka. Kawasan ekonomi yang tak terkelola, seperti pelabuhan atau pasar, menjadi ladang subur bagi ormas untuk memeras. Jika negara hadir dengan tata kelola yang kuat, akankah celah ini masih ada?
Lalu, ada sisi budaya yang tak bisa diabaikan. Prof. Mustofa, di acara Rosi, bicara tentang loyalitas dalam kelompok preman, seperti keluarga yang tak pernah berkhianat. Kasus John Kei menunjukkan bagaimana anggota rela melindungi pimpinan, meski hukum mengintai. Tapi, ada juga stigma yang memperumit: premanisme sering dikaitkan dengan etnis tertentu, seperti Maluku. Ini tidak adil. Preman di Jakarta, kata Mustofa, multietnis—bukan soal darah, tapi soal pilihan. Stigma ini, jika dibiarkan, hanya akan memecah kita, mengalihkan fokus dari masalah sebenarnya: kejahatan terorganisir.
Masyarakat punya peran, tapi sering kali terperangkap dalam ketakutan. Kombes Tubagus Ade Hidayat bilang, tanpa laporan warga, polisi sulit bertindak. Tapi siapa yang berani melapor ketika ancaman datang dengan pisau atau senjata? Seorang ibu di pasar, misalnya, lebih memilih membayar Rp50.000 sehari ketimbang rumahnya didatangi malam-malam. Ini bukan soal pengecut, tapi soal bertahan hidup. Saluran pengaduan satgas, meski ada, belum terasa aman atau mudah diakses. Bagaimana kita bisa berharap rakyat berani jika perlindungan masih jadi janji kosong?
Solusi jangka pendek, seperti satgas, memang perlu. Tapi tanpa pendekatan jangka panjang, kita hanya menunda masalah. Pertama, kita butuh lembaga permanen, bukan satgas yang datang dan pergi. Lembaga ini bisa mengawasi ormas, mendata pendanaan mereka, dan memastikan sanksi ditegakkan. Kemendagri, dengan wewenangnya, bisa jadi tulang punggung, tapi harus didukung polisi dan kejaksaan. Kedua, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu—pimpinan ormas, oknum aparat, bahkan elit politik yang jadi “penutup” harus disentuh. Pasal penyertaan dalam KUHP bisa jadi senjata, tapi keberanian adalah amunisinya.
Ketiga, negara harus hadir di kawasan ekonomi. Pelabuhan, pasar, kawasan industri—semua perlu tata kelola transparan, dengan satuan keamanan resmi, bukan ormas bayaran. Bayangkan jika Tanjung Priok punya sistem perizinan digital, diawasi ketat, tanpa celah untuk pungli. Keempat, kita harus memberi jalan keluar bagi pelaku premanisme. Pelatihan kerja, bantuan modal usaha, atau koperasi bisa jadi solusi. Jika mereka punya harapan, akankah mereka masih memilih jalanan?
Terakhir, masyarakat harus dilibatkan, tapi dengan cara manusiawi. Kampanye anti-premanisme, saluran pengaduan anonim, dan perlindungan nyata bagi pelapor bisa mengubah ketakutan jadi keberanian. Kita juga harus melawan stigma etnis, memastikan premanisme dilihat sebagai kejahatan, bukan identitas budaya. Media, tokoh masyarakat, bahkan kita semua punya tanggung jawab di sini. Pertanyaannya, maukah kita bergerak, atau hanya mengeluh dalam diam?
Saya teringat malam di gang sempit Jakarta, ketika lampu redup dan langkah kaki terdengar berat. Premanisme bukan sekadar statistik atau berita—ia adalah bayang-bayang yang menghantui. Tapi bayang-bayang hanya ada karena ada cahaya yang terhalang. Jika kita berani menyalakan hukum, keadilan, dan kemanusiaan, mungkin kabut itu akan hilang. Negara ini milik kita semua, bukan milik mereka yang hidup dari ketakutan orang lain. Maukah kita mulai?