Connect with us

Opini

Bayang Mossad: Iran Diguncang dari Dalam

Published

on

Malam di Tehran terasa lebih kelam dari biasanya, ketika lima bom mobil meledak, mengguncang jantungan kota, sebagaimana dilaporkan IRNA. Kegelisahan merayap di antara warga Iran, yang mendengar kabar bahwa agen Mossad, musuh tak kasat mata, merangsek dari dalam, menyusup ke jantung negara. Laporan dari Al Mayadeen dan Press TV mengungkap penangkapan sel-sel Mossad di Yazd dan Savojbolagh, membawa bom, peledak, dan peralatan spionase. Ini bukan sekadar serangan; ini pengkhianatan dari dalam, yang membuat hati bertanya: bagaimana musuh bisa begitu dekat?

Iran, negeri yang telah lama berdiri di tengah badai geopolitik, kini menghadapi ancaman yang tak hanya datang dari langit, tapi juga dari bayang-bayang di dalam rumahnya sendiri. Reuters melaporkan bahwa 14 ilmuwan nuklir Iran telah tewas dalam serangan Israel, termasuk melalui bom mobil—taktik yang dingin, presisi, dan penuh perhitungan. Postingan di X dari @Megatron_ron menyebutkan bahwa pelaku di balik serangan ini adalah kolaborator domestik, “pengkhianat” yang membantu Mossad menembakkan misil anti-tank di sekitar Tehran. Betapa pahit rasanya, ketika musuh tak lagi di luar pagar, tapi berjalan di antara kita.

Sejenak, mari bayangkan kegelisahan serupa di konteks Indonesia. Bayangkan jika agen asing menyusup ke Jakarta, menyamar sebagai warga biasa, merencanakan sabotase di pusat-pusat strategis seperti gedung pemerintahan atau PLTN yang sedang dikembangkan di Kalimantan Barat, seperti yang pernah diwacanakan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Rasa aman yang kita anggap remeh tiba-tiba rapuh. Iran sedang hidup dalam ketegangan itu, di mana setiap ledakan bukan hanya merusak bangunan, tapi juga kepercayaan.

Laporan dari The Cradle Media dan Press TV menggambarkan bagaimana pasukan keamanan Iran, termasuk FARAJA, bergerak cepat menangkap dua agen Mossad di Savojbolagh, Alborz, yang kedapatan membuat bom dan jebakan. Ini bukan kali pertama. Di Yazd, lima orang ditahan karena diduga bekerja untuk Mossad, menyiapkan serangan yang bisa melumpuhkan fasilitas vital. Setiap penangkapan itu seperti menarik benang dari jaring laba-laba yang tak terlihat, tapi benang itu sepertinya tak pernah habis.

Ada ritme yang mencekam dalam laporan-laporan ini. X, melalui akun seperti @ejmalrai, menyebutkan bahwa drone Israel membunuh polisi Iran yang sedang memburu jaringan Mossad. Ini bukan sekadar serangan terhadap individu, tapi upaya sistematis untuk mengacaukan tatanan. Israel, dengan kecerdasan intelijennya yang legendaris, tampaknya tahu bahwa menyerang dari dalam lebih efektif ketimbang menerobos pertahanan udara Iran, yang kini telah diperkuat, seperti diungkap @Megatron_ron. Iran, dengan segala kebanggaannya, terpaksa menatap cermin: adakah celah di dalam dirinya sendiri?

Reflektif, kita bisa bertanya: apa yang membuat seseorang, warga negara sendiri, memilih berkhianat? Apakah uang, ideologi, atau tekanan? Laporan tak memberi jawaban pasti, tapi postingan di X menyebutkan “jaringan besar CIA-Mossad” di Iran. Tuduhan ini, meski sensasional, mengingatkan pada kasus nyata seperti eksekusi Mohsen Langarneshin, yang dihukum mati Iran karena diduga bekerja untuk Mossad, sebagaimana dilaporkan media lokal Iran. Pengkhianatan semacam itu, jika benar, adalah luka yang sulit sembuh.

Di Indonesia, kita tak asing dengan narasi ancaman internal. Ingat kasus terorisme di Poso atau penangkapan jaringan JAD oleh Densus 88? Meski konteksnya berbeda, rasa was-was itu mirip: ancaman tak selalu datang dari luar. Iran, dalam laporan Press TV, menegaskan kewaspadaannya terhadap “musuh Israel” yang berusaha melemahkan bangsa selama dekade. Tapi, ketika bom meledak di Tehran, apakah kewaspadaan itu cukup? Atau justru paranoia yang kini mengintai?

Serangan Israel, seperti yang dilaporkan CNN dan The Times of Israel, adalah puncak dari operasi “Rising Lion” yang direncanakan bertahun-tahun. Mossad, dengan cerdik, menempatkan drone kamikaze dan senjata presisi di dalam Iran, melemahkan pertahanan udara sebelum pesawat tempur Israel melancarkan serangan. Video yang dirilis Mossad, sebuah langkah tak biasa, menunjukkan agen mereka beroperasi di Tehran—sebuah tamparan psikologis. Ini bukan lagi perang di perbatasan, tapi di halaman belakang rumah.

Namun, Iran tak tinggal diam. Balasan mereka, dengan misil dan drone ke Tel Aviv dan Haifa, seperti dilaporkan Press TV, adalah pernyataan bahwa mereka tak akan menyerah. Tapi, di balik keberanian itu, ada kelemahan yang terbuka: jaringan Mossad yang masih bergerak bebas. Setiap penangkapan, seperti di Savojbolagh, adalah kemenangan kecil, tapi juga pengingat bahwa musuh tak pernah benar-benar pergi. Iran, seperti Indonesia dalam menghadapi terorisme, harus berlari lebih cepat dari bayangannya sendiri.

Pertanyaan yang menggelayut: sampai kapan siklus ini berlangsung? Laporan menunjukkan bahwa Israel tak hanya ingin menghentikan program nuklir Iran, tapi juga mengguncang stabilitasnya, seperti disinggung @ejmalrai. Tapi, apakah Iran bisa membersihkan dirinya dari ancaman internal tanpa kehilangan keseimbangan? Operasi pembersihan, seperti yang dilakukan FARAJA, perlu presisi bedah, bukan palu godam yang bisa memecah belah rakyatnya sendiri. Indonesia pernah belajar ini dari pengalaman kontra-terorisme: menumpas musuh tanpa menciptakan musuh baru di dalam negeri.

Ada paralel menarik dengan Indonesia. Ketika Densus 88 menangkap teroris, sering kali ada tuduhan bahwa operasi itu menyasar kelompok tertentu secara berlebihan. Iran, dengan sejarah penindasan terhadap oposisi, berisiko jatuh ke lubang yang sama. Jika operasi pembersihan Mossad justru memicu represi terhadap warga biasa, seperti yang dikritik Human Rights Watch, maka Iran bisa kehilangan lebih dari sekadar keamanan—ia kehilangan kepercayaan rakyatnya.

Laporan-laporan ini, meski sarat data, juga mengandung kabut. Media Iran seperti IRNA cenderung membingkai setiap penangkapan sebagai kemenangan, tapi bukti konkret sering absen. Di sisi lain, narasi Israel, melalui The Times of Israel, menonjolkan keberhasilan Mossad untuk menekan Iran secara psikologis. Kedua belah pihak bermain di ranah perang informasi, dan kita, sebagai pengamat, terjebak di tengah. Apa yang benar-benar terjadi di Tehran malam itu? Apakah ledakan bom mobil itu akhir, atau awal dari sesuatu yang lebih besar?

Refleksi terakhir membawa kita pada kemanusiaan. Di balik laporan tentang bom dan penangkapan, ada warga sipil yang tewas, seperti dilaporkan Press TV, termasuk perempuan dan anak-anak. Di Indonesia, kita tahu luka akibat terorisme—bom Bali 2002 masih membekas. Iran, dalam kemarahannya terhadap Israel, juga harus ingat bahwa setiap serangan balasan menambah korban di kedua belah pihak. Mungkinkah ada jalan keluar dari lingkaran dendam ini? Atau kita hanya menyaksikan babak baru dari perang yang tak pernah usai?

Malam di Tehran terus berdenyut dalam ketegangan. Bom mungkin telah reda, tapi bayang-bayang Mossad masih mengintai. Iran, dengan segala keberanian dan kerapuhannya, berdiri di persimpangan: membersihkan ancaman dari dalam, atau terjebak dalam paranoia yang bisa menghancurkan dari dalam. Kita, di Indonesia atau di mana pun, hanya bisa menyaksikan, sambil bertanya: jika musuh ada di antara kita, bagaimana kita menemukan kedamaian?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *