Connect with us

Opini

Bayang-Bayang Dimona di Langit Timur Tengah

Published

on

Di tengah gurun Negev yang sunyi, ada sebuah rahasia yang tak lagi bisa disebut rahasia. Fasilitas nuklir Dimona, yang dulunya dipandang sebagai sisa-sisa proyek rahasia abad lalu, kini kembali hidup dengan denyut konstruksi yang tak bisa disembunyikan dari mata satelit. Beton tebal, crane raksasa, dan lubang menganga menuju perut bumi—semua tampak jelas dalam citra Planet Labs. Dunia melihat, dunia tahu, tetapi anehnya dunia memilih untuk tidak bersuara. Sebuah absurditas yang bahkan bagi orang awam terasa begitu telanjang.

Yang lebih menggelikan, Barat—sang polisi moral soal non-proliferasi—tiba-tiba menjadi tuna wicara. Padahal mereka tak segan mengerahkan seluruh diplomasi, sanksi, bahkan ancaman militer demi menghentikan Iran yang masih berada di bawah pengawasan IAEA. Ketika Araghchi, Menlu Iran, menyorakkan kritik tajam bahwa standar ganda ini sudah kelewat busuk, sulit untuk membantahnya. Karena bagaimana mungkin dunia dicekoki dengan cerita “bahaya Iran” sementara di saat yang sama Israel sedang mengoprek reaktor air beratnya dengan santai, seakan itu hanya proyek renovasi rumah?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita bicara tentang fasilitas yang bisa melahirkan plutonium baru, bahan baku hulu ledak nuklir. Tujuh pakar nuklir menelisik citra satelit itu, tiga di antaranya meyakini ini kemungkinan besar reaktor baru. Empat lainnya berhati-hati, menyebut bisa saja fasilitas perakitan senjata. Perbedaan tafsir boleh ada, tapi intinya sama: ada aktivitas signifikan, dan aktivitas itu bukan sekadar tambal sulam. Artinya Dimona tak mati, justru sedang diremajakan. Dan bila Dimona diremajakan, artinya ada niat lebih dari sekadar menjaga status quo.

Saya rasa kita semua paham bahasa isyarat semacam ini. Kalau tetangga kita tiba-tiba membangun pagar listrik di halaman belakang, lengkap dengan menara pengawas, kita tentu merasa curiga. “Untuk apa semua itu kalau hanya untuk menjaga ayam?” Begitu pula Dimona. Israel tak butuh fasilitas sebesar itu bila hanya untuk riset sipil. Apalagi ia tidak pernah transparan, tidak pernah mau menandatangani The Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), dan tetap dianggap “anak emas” oleh Barat. Kontrasnya begitu tajam hingga terasa satir: Iran yang mengikuti prosedur malah dituduh, Israel yang melanggar semua aturan justru dilindungi.

Inilah ironi politik global: nuklir bukan soal norma, tapi soal siapa kawan dan siapa lawan. Barat berbicara lantang tentang “ancaman nuklir” bila yang terlibat adalah Iran, Korea Utara, atau siapa pun yang tak masuk daftar sahabat. Namun ketika yang punya hulu ledak adalah sekutu, mereka seakan menutup buku aturan. Kebenaran menjadi selektif, moral berubah menjadi komoditas. Bukankah ini seperti wasit yang meniup peluit hanya ketika lawan mencetak gol, tapi bungkam saat tim kesayangan melanggar keras?

Dampaknya bagi kawasan jelas: ketidakamanan kolektif makin menebal. Iran akan merasa makin berhak menegaskan penguasaan teknologinya, Mesir dan Saudi akan tergoda untuk punya program nuklir sendiri, dan Lebanon akan membaca pesan ini sebagai ancaman terselubung di balik konflik Hizbullah dengan Tel Aviv. Timur Tengah ibarat ruangan penuh bensin, dan Dimona adalah korek api yang selalu dikantongi satu pihak tanpa ada larangan. Pertanyaan yang menghantui: siapa yang akan pertama kali menggesek batang api itu?

Sebagian mungkin berkata: “Tapi Israel takkan nekat gunakan nuklir, itu bunuh diri.” Benar, perang nuklir terbuka kecil kemungkinannya. Namun justru ancaman itu yang paling berbahaya. Karena senjata semacam ini bukan dibuat untuk dipakai, melainkan untuk menghantui. Israel bisa saja memainkan kartu nuklir sebagai deterrence, sebagai tekanan psikologis, bahkan sebagai alat tawar diplomasi. Dan kita tahu, dalam politik, ancaman yang tak pernah terucap langsung sering lebih mematikan daripada serangan nyata.

Bagi Iran, ini momentum untuk membalik narasi. Araghchi tidak lagi hanya bersikap defensif, ia menuding Barat sebagai pihak munafik yang kehilangan kredibilitas. Dan kali ini ia punya bukti visual, bukan sekadar retorika. Saya kira ini akan memperkuat legitimasi Iran di mata publik dunia, terutama negara-negara Selatan Global yang sudah muak dengan standar ganda Barat. Bahkan bagi masyarakat biasa yang tidak mengerti teknis nuklir, pesan sederhana ini mudah dicerna: kenapa Israel boleh, tapi Iran tidak?

Di sisi lain, kita mesti jujur mengakui bahwa diamnya Barat justru memperbesar risiko runtuhnya rejim non-proliferasi global. Kalau norma internasional hanya berlaku untuk sebagian negara, maka norma itu kehilangan makna. Negara lain akan bertanya-tanya: apakah satu-satunya cara agar aman adalah punya nuklir sendiri? Kalau jawabannya ya, maka dunia sedang melangkah ke arah yang amat berbahaya. Timur Tengah bisa jadi hanya awal, sisanya tinggal menunggu domino jatuh di kawasan lain.

Bagi kita di Indonesia, yang jauh dari Negev dan Dimona, mungkin isu ini terdengar seperti cerita jauh. Tapi jangan salah. Standar ganda semacam ini memberi pelajaran pahit: bahwa hukum internasional bisa ditulis ulang kapan saja, tergantung siapa yang memegang pena. Kita yang sering mendengar jargon “kedaulatan” dan “keadilan” di panggung diplomasi internasional harus bertanya: apakah kata-kata itu sungguh berlaku universal, atau hanya dekorasi dalam pidato pejabat dunia?

Pada akhirnya, Dimona bukan hanya soal beton dan plutonium. Ia adalah cermin retak dari dunia yang menolak melihat bayangannya sendiri. Israel terus memoles persenjataan nuklirnya, Barat memilih pura-pura buta, Iran berteriak hingga serak, dan dunia lain hanya menggeleng. Sementara itu, konflik di Gaza, ketegangan di Lebanon, dan bayang-bayang perang lebih besar terus berputar seperti lingkaran setan.

Saya tidak yakin ada yang berani memukul meja dan berkata “cukup.” Semua pihak sibuk dengan kalkulasi sendiri. Tapi satu hal jelas: setiap kali crane di Dimona mengangkat beton baru, rasa aman di kawasan terkikis sedikit demi sedikit. Dan bila fondasi dunia dibangun di atas standar ganda, jangan kaget bila suatu hari ia runtuh dengan suara yang lebih keras dari ledakan bom mana pun.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer