Opini
Bau Busuk Teror: Ketika Babi dan Tikus Mengancam Pers

Bayangkan sedang duduk di meja kerja, menyeruput kopi sambil membahas berita terbaru. Tiba-tiba, sebuah paket misterius tiba di meja redaksi. Bukan amplop berisi dokumen penting, bukan juga hadiah dari penggemar, melainkan kepala babi tanpa telinga. Baunya menyengat, menusuk hidung, bercampur dengan aroma ketakutan yang tak terlihat, tetapi terasa begitu nyata. Inilah yang diterima oleh jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, atau yang akrab disapa Cica, pada 19 Maret 2025 di kantor Palmerah, Jakarta Selatan. Seakan belum cukup, tiga hari kemudian, 22 Maret 2025, datang lagi paket berisi enam bangkai tikus tanpa kepala, terbungkus kertas kado bermotif mawar merah. Sebuah ironi yang mengerikan, teror yang dikemas dalam bentuk “hadiah.”
Siapa pun yang mengirimkan paket ini jelas tidak main-main. Ini bukan sekadar aksi iseng atau lelucon murahan, tetapi sebuah pesan yang ingin disampaikan dengan cara yang paling brutal dan menjijikkan. Kepala babi bukan sekadar bangkai, melainkan simbol ancaman kematian. Dalam dunia kriminal dan mafia, potongan kepala berarti peringatan, sebuah ancaman terselubung yang menyiratkan: “Berhenti, atau kau akan bernasib sama.” Ditambah fakta bahwa babi adalah hewan yang dianggap haram bagi mayoritas penduduk Indonesia, serta bahwa Cica seorang Katolik, maka pesan ini menjadi lebih kompleks. Ada nuansa ancaman personal, penghinaan, dan upaya untuk membangun teror psikologis. Sedangkan tikus-tikus tanpa kepala, yang jumlahnya enam ekor, mungkin bukan sekadar angka acak. Bisa jadi itu menyimbolkan tim redaksi Tempo yang sedang bekerja dalam liputan tertentu, atau sebuah pesan bahwa para jurnalis dianggap sebagai hama yang harus dimusnahkan.
Teror semacam ini mengingatkan kita pada praktik-praktik intimidasi yang terjadi di berbagai belahan dunia, di mana kebebasan pers selalu menjadi target mereka yang merasa terganggu oleh kebenaran. Sejarah mencatat, serangan terhadap jurnalis bukanlah hal baru. Di Indonesia, kasus seperti ini bukan yang pertama. Pada 1984, Suara Indonesia di Malang menerima potongan kepala manusia sebagai peringatan. Jurnalis yang meliput kasus-kasus besar, seperti korupsi atau pelanggaran HAM, kerap menghadapi ancaman, baik secara fisik maupun melalui cara-cara yang lebih halus, seperti tekanan ekonomi, pembungkaman lewat jalur hukum, atau pencemaran nama baik. Ini adalah pola yang terus berulang, sebuah cermin betapa berisikonya berbicara lantang di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi.
Dalam kasus Tempo, motif di balik teror ini masih menjadi teka-teki. Namun, tidak sulit untuk menebak siapa saja pihak yang mungkin merasa terusik oleh pemberitaan mereka. Tempo dikenal sebagai media yang tajam dalam mengkritik kebijakan pemerintah, mengungkap skandal, dan menginvestigasi berbagai kasus yang sering kali menyangkut kepentingan kelompok berkuasa. Salah satu liputan terbaru mereka adalah program “Bocor Alus Politik,” yang membahas isu-isu sensitif, termasuk soal banjir Jakarta yang dikelola dengan buruk. Bisa jadi, ini adalah respons dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya terancam.
Yang lebih ironis adalah bagaimana beberapa pejabat merespons teror ini. Hasan Nasbi, Kepala Komunikasi Kepresidenan, misalnya, dengan enteng mengatakan bahwa kepala babi itu sebaiknya dimasak saja. Sebuah komentar yang menunjukkan betapa entengnya ancaman terhadap kebebasan pers di mata mereka yang berada di lingkaran kekuasaan. Sementara itu, Wamenkominfo Nezar Patria berbicara tentang pentingnya kebebasan pers, tetapi pernyataannya terasa hambar, seperti formalitas belaka tanpa tindakan nyata. Kepolisian, di sisi lain, masih berkutat dengan analisis dan penyelidikan yang entah kapan akan membuahkan hasil. Kita semua tahu, banyak kasus serupa yang akhirnya hanya menjadi catatan sejarah tanpa penyelesaian yang jelas.
Di balik semua ini, ada pertanyaan yang lebih besar: mengapa kebebasan pers di Indonesia masih menjadi sesuatu yang rapuh? Mengapa jurnalis harus terus hidup dalam bayang-bayang ancaman? Demokrasi seharusnya memberikan ruang bagi media untuk bekerja tanpa rasa takut. Namun, kenyataannya, semakin kritis sebuah media, semakin besar pula ancaman yang mereka hadapi. Ini bukan hanya masalah Tempo atau Cica, ini adalah persoalan seluruh jurnalis di negeri ini. Dan lebih dari itu, ini adalah persoalan kita semua sebagai masyarakat yang ingin mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
Sayangnya, solidaritas terhadap jurnalis yang diteror sering kali lemah. Masyarakat lebih suka menjadi penonton pasif, menikmati berita tanpa benar-benar peduli dengan apa yang terjadi di balik layar. Media sosial dipenuhi dengan komentar sinis, meme yang menjadikan teror ini sebagai bahan candaan, seolah-olah ancaman terhadap pers adalah sesuatu yang bisa ditertawakan. Sementara itu, mereka yang seharusnya berdiri di garis depan untuk membela kebebasan pers lebih sering memilih untuk diam atau memberikan pernyataan normatif yang tak berdampak apa pun.
Jika kita terus membiarkan ini terjadi, maka ancaman terhadap jurnalis akan semakin menjadi-jadi. Mereka yang ingin membungkam suara kritis akan semakin berani, karena tahu bahwa mereka bisa lolos tanpa konsekuensi. Hari ini kepala babi dan bangkai tikus dikirim ke redaksi Tempo, besok mungkin giliran media lain, atau bahkan individu yang berani berbicara. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka kita sedang menggali kubur bagi kebebasan berbicara di negeri ini.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal Tempo, bukan hanya soal Cica. Ini adalah ujian bagi demokrasi kita. Apakah kita akan diam dan membiarkan ketakutan menguasai ruang publik, atau kita akan berdiri bersama dan mengatakan dengan tegas bahwa teror terhadap pers tidak bisa dibiarkan? Kita harus memilih, sebelum semuanya terlambat.