Connect with us

Opini

‘Bau Amis’ Pengakuan Palestina oleh Negara-Negara Barat

Published

on

Tiba-tiba saja dunia Barat tersadar. Seperti orang yang baru bangun dari tidur panjang—dan mungkin sedikit demam—mereka mendadak menyatakan bahwa Palestina layak menjadi sebuah negara. Inggris menyatakan siap memberi pengakuan pada bulan September, jika, tentu saja, Hamas meletakkan senjatanya dan mengundurkan diri dari Gaza. Prancis tak mau ketinggalan, menyebut pertemuan New York sebagai “bersejarah” karena untuk pertama kalinya, negara-negara Arab ikut menekan Hamas dan menyerukan pelucutan senjata kelompok perlawanan itu.

Kalau ini terdengar seperti momen keadilan, mohon tahan tepuk tangan Anda. Karena jika kita cium lebih dalam, aroma yang muncul bukanlah aroma kemerdekaan. Tapi sesuatu yang amis, licik, dan menguar dari dapur geopolitik yang sejak lama memasak Palestina dengan api penjajahan, disajikan dalam piring diplomasi, dan dihias dengan bumbu hipokrisi.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Negara-negara Barat, yang selama puluhan tahun tutup mata terhadap pendudukan brutal Israel, kini datang dengan kostum baru: sebagai pembawa damai. Mereka datang membawa hadiah: pengakuan. Tapi tentu saja, tidak gratis. Hadiah ini, seperti halnya pinjaman dari rentenir, punya syarat dan bunga tersembunyi. Palestina akan diakui… asalkan jinak.

Asalkan tidak menggigit, tidak berteriak, dan tentu saja—tidak melawan.

Keir Starmer, tokoh baru dari Inggris yang katanya reformis, muncul dengan wajah serius dan nada kenegaraan. Inggris, katanya, siap mengakui Palestina sebagai negara jika Israel bersedia menahan diri, tidak mencaplok Tepi Barat, dan Hamas—ya, selalu Hamas—berhenti eksis sebagai kekuatan bersenjata.

Barangkali ini semacam “kemerdekaan versi Eropa”—di mana yang disebut negara adalah entitas administratif yang tak punya kendali atas wilayah, tak punya tentara, dan tak punya hak untuk membela diri. Negara boneka. Negara tempelan. Negara yang dipaksa belajar sopan santun di ruang tamu Barat sebelum diberi izin masuk ke ruang pergaulan antarbangsa.

Dan yang lebih lucu—atau tragis, tergantung dari mana Anda melihatnya—adalah bahwa negara-negara Barat kini mendesak pembentukan negara Palestina demi “solusi dua negara”, seolah itu ide baru yang mendesak. Padahal sejak Oslo, Annapolis, sampai Camp David, itu semua sudah ditawarkan. Tapi ketika Israel terus mencaplok tanah, membangun permukiman, mengusir warga sipil, dan membunuh anak-anak di Gaza, mereka semua hanya menyuruh kita “tenang, ini rumit.”

Kini, tiba-tiba, mereka merasa ini tidak bisa ditunda lagi.

Mengapa?

Bukan karena mereka melihat penderitaan rakyat Palestina dan tersentuh hatinya. Bukan karena mereka membaca laporan UNICEF tentang bayi-bayi Gaza yang mati kelaparan dan merasa bersalah. Tapi karena tekanan publik di dalam negeri mereka sendiri sudah mencapai titik didih.

Di London, ribuan orang turun ke jalan setiap minggu. Di universitas-universitas, mahasiswa menduduki kampus menuntut divestasi dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pendudukan Israel. Di media sosial, anak-anak muda menyebar foto korban genosida lebih cepat dari kemampuan BBC mengedit berita.

Opini publik Eropa mulai sadar bahwa ada sesuatu yang busuk—dan itu bukan hanya di Gaza, tapi juga di parlemen-parlemen mereka sendiri.

Maka, daripada terus kehilangan legitimasi di mata warganya, negara-negara Barat pun mencari strategi penyelamatan citra. Dan di situlah Palestina—yang dulu selalu ditolak untuk diakui atas alasan “belum waktunya”—kini jadi kartu truf yang siap dimainkan. Dengan satu syarat, tentu saja: Palestina yang jinak.

Yang menyerahkan Gaza ke Otoritas Palestina—lembaga yang lebih banyak bekerja sebagai penyambung lidah donor daripada pembela rakyatnya sendiri.

Yang menghapus Hamas dari peta politik.

Yang mengganti senjata dengan proposal pembangunan ekonomi.

Yang tidak lagi menuntut hak kembali ke tanah kelahirannya.

Dengan kata lain: Palestina yang cocok dengan selera pasar Eropa.

Jangan tertipu oleh kata-kata “pengakuan.” Ini bukan pengakuan atas hak. Ini adalah kontrak. Dan seperti kontrak dalam dunia kapitalisme, ada klausul tersembunyi, ada jebakan kata, ada tekanan tak terlihat.

Mereka bilang ini untuk perdamaian. Tapi perdamaian yang mereka maksud adalah diamnya perlawanan.

Mereka bilang ini demi stabilitas. Tapi stabilitas yang mereka dambakan adalah dominasi satu pihak atas pihak lain, yang tak lagi berani melawan.

Mereka bilang ini demi solusi dua negara. Tapi negara yang satu punya nuklir, punya tentara, punya veto PBB, dan kebal dari hukum internasional. Yang satu lagi? Tidak boleh bersenjata, tidak boleh marah, dan kalau bisa, tidak boleh punya ingatan tentang penjajahan.

Itulah “dua negara” versi dunia Barat.

Betapa memuakkan.

Apakah mereka juga menuntut Israel untuk meletakkan senjata? Tidak. Apakah mereka menyebutkan pembekuan permukiman ilegal sebagai prasyarat? Tentu saja tidak. Apakah mereka mendesak pencabutan blokade atas Gaza? Jangan terlalu berharap.

Yang mereka desak hanya satu hal: buang senjatamu, wahai Palestina, dan kami akan memberimu bendera.

Bayangkan seorang korban pemerkosaan yang akhirnya diberi akta nikah oleh pemerkosanya, dengan catatan: “Jangan pernah sebut insiden itu lagi. Mari kita mulai dari awal. Kita bisa damai, asal kamu nurut.”

Begitulah kira-kira logika dunia Barat hari ini.

Prancis memuji deklarasi New York sebagai “bersejarah” karena negara-negara Arab ikut mengecam Hamas. Inggris mengancam akan mengakui Palestina jika Israel tidak berubah sikap. Jerman masih sibuk menghapus mural-mural Palestina dari tembok universitas. Kanada, seperti biasa, ikut mengutuk “semua bentuk kekerasan,” sambil terus menjual senjata.

Mereka semua tiba-tiba memakai wajah penuh simpati. Seolah-olah mereka bukan bagian dari masalah. Seolah-olah mereka bukan penyumbang dana, senjata, dan legitimasi politik untuk mesin penjajahan Israel selama puluhan tahun.

Kita yang tinggal di dunia selatan, di Indonesia misalnya, cukup terbiasa dengan kemunafikan macam ini. Kita tahu, dari sejarah kolonialisme yang panjang, bahwa kekuatan Barat tidak pernah benar-benar berubah. Mereka hanya mengganti narasi.

Dulu mereka menjajah atas nama peradaban. Sekarang mereka mencaplok atas nama keamanan. Dulu mereka menjarah rempah-rempah. Sekarang mereka menjual solusi dua negara.

Tapi isi kotaknya tetap sama: dominasi.

Yang berubah hanyalah kemasannya.

Dan Palestina—yang sudah puluhan tahun menjadi eksperimen berdarah dari “demokrasi” versi Barat—kini kembali dijadikan objek dalam upaya mereka untuk menampilkan wajah bersih di depan dunia.

Mereka tidak ingin Palestina merdeka. Mereka hanya ingin agar Palestina tidak mengganggu.

Jadi ketika Inggris, Prancis, atau negara Barat lain berkata, “Kami siap mengakui Palestina,” jangan buru-buru bertepuk tangan. Karena yang mereka maksud dengan “Palestina” bukan rakyat yang tertindas, bukan pengungsi yang rindu pulang, bukan petani yang kehilangan ladang.

Tapi sebuah entitas administratif yang tunduk, patuh, dan bisa diajak berdiskusi tentang keamanan regional.

Dan jika itu yang mereka akui sebagai “negara,” maka pengakuan itu bukanlah bentuk dukungan, tapi justru bentuk penguburan.

Pengakuan yang membungkam perlawanan, sejatinya adalah deklarasi penjajahan yang baru.

Dan kita semua—kalau tidak hati-hati—bisa saja menjadi peserta upacara pemakamannya. Dengan membawa bendera, menyanyikan lagu kemerdekaan, dan tak sadar bahwa yang kita rayakan adalah akhir dari perjuangan itu sendiri.

Semuanya tampak rapi. Simbolik . Damai. Tapi tetap saja—berbau amis.

Sumber:

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Janji Manis Barat untuk Palestina: Antara Retorika dan Realita - vichara.id

  2. Pingback: Pengepungan Politik atas Nama Palestina - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer