Opini
Barrack, Cermin Buram Kebiadaban Amerika Serikat

Konferensi pers di Beirut itu mestinya menjadi ruang diplomasi. Sebuah panggung kecil tempat kata-kata bisa mempertemukan kepentingan, meski sekadar basa-basi protokol. Namun yang terjadi justru adegan yang lebih mirip parodi kebiadaban yang dibungkus jas resmi. Tom Barrack, utusan khusus Amerika Serikat, berdiri di depan para jurnalis Lebanon bukan dengan kerendahan hati, melainkan dengan amarah yang dipoles jargon. Ia menuding wartawan di hadapannya sebagai “animalistic,” “insane,” lalu menasihati mereka agar “act civilized” dan “act tolerant.” Kata-kata yang mestinya keluar dari mulut seorang pengajar anak SD yang bosan menenangkan kelas, bukan dari seorang diplomat senior yang mewakili negara adidaya.
Absurd, bukan? Seorang pejabat dari negeri yang berkali-kali menyalakan bara perang, meluluhlantakkan kota, dan menghancurkan peradaban lain, kini berdiri gagah menuduh wartawan Lebanon tidak beradab. Ironinya begitu telanjang. Kita semua tahu siapa yang pernah menyerbu Irak dengan dalih senjata pemusnah massal yang tak pernah terbukti, siapa yang dua dekade bercokol di Afghanistan hanya untuk pergi dengan tangan kosong, meninggalkan rakyat dalam kehancuran. Kita tahu siapa yang setiap hari membiayai mesin perang Israel yang melumat Gaza, mengubur anak-anak, perempuan, dan jurnalis di bawah reruntuhan. Kalau itu bukan “animalistic,” lalu apa?
Di Lebanon, para jurnalis yang hadir bukanlah penonton pasif. Mereka hidup di negeri yang setiap hari bergulat dengan rapuhnya ekonomi, konflik politik, dan bayang-bayang serangan dari Israel. Mereka menulis dengan risiko, bertanya dengan taruhan nyawa. Apalagi, kita tak bisa lupa, Gaza hanya sejengkal dari Beirut. Di sana, wartawan menjadi salah satu target utama militer Israel. Kamera, pena, dan nyawa mereka sama-sama diburu. Jadi ketika Barrack dengan enteng menyebut “insanity” kepada mereka yang setiap hari menghadap maut, ucapan itu lebih dari sekadar penghinaan. Itu adalah penyangkalan terhadap martabat manusia, terhadap kerja jurnalisme yang mestinya dihormati.
Saya rasa, justru di sinilah wajah sejati Amerika Serikat tersingkap. Barrack bukan sekadar diplomat yang emosional. Ia adalah topeng yang jatuh, memperlihatkan isi di baliknya. Amerika memang terbiasa memposisikan diri sebagai guru peradaban. Mereka menuntut negara lain “act civilized,”- tak beradab, padahal rekam jejak mereka menunjukkan sebaliknya. Seperti orang yang berteriak “pencuri” sambil menyembunyikan dompet orang lain di sakunya.
Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa permintaan maaf bukan datang dari Barrack atau pemerintah AS. Alih-alih, justru Presiden Lebanon Joseph Aoun yang lewat kantornya meminta maaf kepada publik. Sebuah adegan yang menambah getir. Seakan negeri kecil di pesisir Mediterania itu harus ikut menundukkan kepala, menutupi kesalahan tamunya sendiri demi menjaga hubungan diplomatik. Bukankah itu penghinaan ganda? Jurnalis direndahkan, lalu negara mereka dipaksa menanggung malu yang bukan berasal dari dirinya.
Mari kita jujur. AS datang ke Lebanon dengan satu tujuan besar: melemahkan, kalau bisa melucuti, Hizbullah. Namun strategi itu tak kunjung berhasil. Hizbullah bukan hanya milisi bersenjata; ia adalah bagian dari denyut nadi masyarakat Lebanon. Ia punya sekolah, rumah sakit, jaringan sosial, dan legitimasi historis karena pernah memaksa Israel mundur. Semua ini membuat proyek Amerika terlihat ompong. Dan mungkin, frustrasi itu yang kemudian memuntahkan kata-kata Barrack. Ketika tak bisa mengendalikan realitas, ia mencoba mengendalikan ruang bicara. Ketika tak bisa membungkam senjata Hizbullah, ia setidaknya ingin membungkam suara wartawan.
Tapi upaya itu konyol. Wartawan bukan pion yang mudah ditertibkan. Mereka terbiasa menghadapi kekerasan nyata, bukan sekadar gertakan verbal. Barrack bisa saja berteriak, menyebut mereka “animalistic,” tapi dunia tahu siapa yang sebenarnya menyerang jurnalis. Laporan demi laporan menunjukkan betapa banyak wartawan terbunuh di Gaza dengan peluru berlabel Israel—yang senjatanya didanai dolar Amerika. Inilah ironi yang begitu mencolok: seorang pejabat dari negara yang turut membiayai pembunuhan jurnalis, kini menuduh jurnalis lain tak tahu tata krama.
Jika kita tarik ke pengalaman sehari-hari, ucapan Barrack serupa orang kaya arogan yang datang ke rumah tetangga miskin, membuat kekacauan, lalu menyalahkan pemilik rumah karena “tidak sopan.” Kita bisa membayangkan betapa getirnya rasa itu. Kita tahu tetangga seperti ini tidak sedang memberi nasihat, melainkan sekadar menutupi arogansinya dengan moral palsu.
Ada satu hal yang tak bisa saya lupakan dari adegan itu. Ketika Barrack berkata, “Do you think this is fun for us? Do you think this is economically beneficial… putting up with this insanity?” Seolah-olah kehadirannya di Lebanon adalah sebuah pengorbanan pribadi, bukan bagian dari proyek besar negara yang selalu punya agenda tersembunyi. Kalimat itu terdengar seperti keluhan manja, padahal ia berbicara di depan orang-orang yang setiap hari hidup dengan keterbatasan listrik, inflasi yang mencekik, dan ancaman perang. Kalau ada yang “insane,” barangkali justru klaim bahwa pejabat Amerika sedang berkorban dengan duduk manis di podium ber-AC.
Kita juga mesti menyinggung sisi psikologis: kata-kata seperti “act civilized” dan “act tolerant” sebenarnya lebih mirip proyeksi. Barrack menuduh orang lain biadab karena ia sendiri tak mampu menahan kebiadaban negaranya. Ia menuntut toleransi dari wartawan, sementara negaranya gagal menoleransi kebebasan rakyat Palestina. Ia menuntut peradaban, sementara negaranya berkali-kali menginjak hukum internasional. Kata-kata itu, singkatnya, adalah cermin terbalik. Dan ketika kita menatapnya, kita melihat wajah Amerika yang sebenarnya: arogan, hipokrit, dan kehilangan moral.
Saya yakin, publik Lebanon tidak akan lupa insiden ini. Sama halnya seperti publik dunia tak lupa bagaimana AS menghancurkan Baghdad atau Kabul. Sejarah tidak mudah terhapus hanya karena satu konferensi pers atau satu permintaan maaf dari kantor kepresidenan. Justru sebaliknya, momen-momen kecil seperti ini menambah lapisan kesadaran kolektif bahwa imperialisme tak selalu hadir dengan tank atau drone, tapi kadang lewat kalimat yang merendahkan di podium resmi.
Pada akhirnya, apa yang bisa kita petik? Bahwa kata-kata Barrack bukanlah sekadar slip of the tongue (kesleo lidah), bukan kebetulan yang bisa dihapus dengan permintaan maaf protokol. Itu adalah potret jernih dari watak sebuah negara yang terbiasa menggurui, menuding, sambil menutup-nutupi kebrutalannya sendiri. Kita bisa marah, kita bisa kecewa, tapi kita juga bisa tersenyum getir: betapa mudahnya topeng jatuh, betapa jelasnya wajah yang selama ini mereka sembunyikan.
Dan mungkin, ironi terbesar dari semua ini adalah: di hadapan jurnalis Lebanon yang dicap “animalistic,” justru Barracklah yang terlihat paling tak beradab.