Opini
Barat Terapkan Skenario Suriah di Gaza?

The Wall Street Journal, yang konon menjadi mercusuar jurnalisme Amerika, baru-baru ini memberikan ruang mewah dalam kolom opininya kepada seorang tokoh yang, jika namanya disebut di tengah kamp pengungsi Gaza, kemungkinan besar akan diiringi dengan ludah dan kutukan. Yasser Abu Shabab. Mantan narapidana, eks penyelundup narkoba dan senjata, dan kini pemimpin sekelompok tentara bayaran yang membantu Israel membongkar rumah-rumah warga Gaza, dengan bangga menulis bahwa dialah harapan masa depan wilayah yang telah hancur itu.
Dalam artikel tersebut, Abu Shabab mempromosikan sebuah visi besar: bahwa Gaza akan lebih baik di bawah kepemimpinannya. Bahwa rakyat Gaza bisa “keluar dari siklus perang” jika 600.000 di antara mereka—ya, enam ratus ribu manusia—dipindahkan ke reruntuhan Rafah yang kini telah dibersihkan dari kehidupan oleh bom, buldoser, dan granat asap. Ia menyebut ini sebagai “inisiatif pemulihan.” Bahasa yang manis untuk proyek penahanan massal yang secara de facto adalah kamp konsentrasi.
Dan WSJ, dengan segala kecanggihan tata letak dan reputasi jurnalistiknya, memberinya panggung. Sebuah megafon. Sebuah pemutihan dosa.
Namun, ada yang lupa mereka sebutkan dalam biografi singkat Abu Shabab: bahwa ia sebelumnya dihukum 25 tahun penjara oleh Hamas karena penyelundupan dan pencurian. Bahwa ia melarikan diri saat serangan udara Israel menghantam penjara. Bahwa para pemuka klan Tarabin, keluarga besarnya sendiri, telah mendiskualifikasinya sebagai manusia, apalagi sebagai pemimpin. Dan bahwa dia dan kelompoknya telah dicap oleh OCHA (lembaga kemanusiaan PBB) sebagai pelaku pencurian bantuan kemanusiaan—dengan perlindungan dari tentara Israel.
Namun siapa peduli? Dunia sudah tidak menimbang reputasi seseorang dari moralitasnya, tapi dari sejauh mana ia bisa digunakan sebagai alat.
Dan kalau Anda berpikir ini hal baru, maka Anda perlu menengok ke barat sedikit—tepatnya ke Suriah. Sebab apa yang terjadi kini di Gaza bukan skenario perdamaian, tapi rerun geopolitik yang pernah dimainkan dengan sukses sebagian di Damaskus dan Idlib.
Di Suriah, setelah bertahun-tahun konflik berdarah, dengan jutaan pengungsi dan ratusan ribu nyawa melayang, Barat berhasil mendorong narasi bahwa pemimpin sah seperti Bashar al-Assad adalah akar masalah, bukan konsekuensi dari intervensi global yang telah menghancurkan fondasi negara. Lalu muncullah figur-figur baru—oposisi moderat, katanya—yang dulunya dikenal sebagai pejuang jihad, tetapi kini difoto dalam jas dan dasi, diwawancarai oleh PBS dan The Guardian, dan dikutip oleh diplomat Barat.
Salah satu dari mereka adalah Ahmad al-Sharaa alias Abu Muhammad al-Julani. Eks pimpinan Jabhat al-Nusra, cabang Al-Qaeda di Suriah. Ia pernah dicap teroris internasional, ada hadiahnya jika ditangkap. Tapi di dunia pasca-kebenaran, semua bisa dinegosiasikan. Julani kini disebut-sebut sebagai figur “stabil” yang layak diangkat menjadi presiden transisi Suriah, setelah berhasil menggulingkan Assad.” Tak heran jika banyak yang menyebut Idlib sebagai emirat miniatur yang eksis berkat restu diam-diam Washington dan Ankara.
Nah, skenario itu kini dibuka kembali. Hanya lokasinya dipindah ke Gaza.
Yasser Abu Shabab, dengan segala sejarah kelamnya, kini sedang didorong ke panggung politik Palestina sebagai “aktor lokal independen.” Padahal kita tahu, dalam dunia kolonial, kata independen seringkali berarti sudah dikendalikan. Ia tidak punya basis massa. Tidak punya legitimasi sosial. Tapi ia punya satu hal yang berharga: kesediaan untuk tunduk.
Tunduk pada narasi yang menyalahkan Hamas atas segala keburukan, termasuk kelaparan, meskipun laporan internal USAID sendiri menyatakan tidak ada bukti Hamas mencuri bantuan. Sementara Abu Shabab dan milisinya tertangkap basah menjarah bantuan di perbatasan Kerem Shalom. Tapi seperti biasa, fakta tak lagi penting. Yang penting adalah siapa yang pegang mikrofon.
Dan WSJ, entah karena naif atau memang bagian dari orkestra geopolitik ini, meminjamkan mikrofonnya. Dengan bangga.
Dunia pun mulai dibentuk ulang persepsinya. Abu Shabab bukan lagi kriminal. Ia kini “aktor lokal.” Hamas bukan lagi organisasi perlawanan. Ia kini “penghalang pembangunan.” UNRWA, lembaga kemanusiaan PBB yang selama puluhan tahun menopang hidup warga Palestina di kamp pengungsian, kini diposisikan sebagai “kolaborator” Hamas. Dan tentu saja, Israel tidak lagi menjadi penjajah, tapi investor keamanan.
Jika ini tidak membuat kita mual, mungkin kita sudah terlalu lama mengunyah narasi dari lobi.
Dalam dunia seperti ini, mudah sekali membuat ulang sejarah. Lupakan bahwa Gaza telah dikepung selama 17 tahun. Lupakan bahwa lebih dari 70% populasinya adalah pengungsi dari Nakba 1948. Lupakan bahwa lebih dari 35.000 orang tewas sejak Oktober 2023. Yang penting, ada “pemimpin baru” yang bisa bekerja sama dengan Tel Aviv dan duduk manis saat AS mulai mengucurkan bantuan “rekonstruksi”—tentu saja, kepada perusahaan-perusahaan yang mereka pilih.
Apa yang dilakukan Abu Shabab bukan hanya menjual dirinya, tapi menjual tanah, sejarah, dan penderitaan bangsanya. Ia bukan sekadar kolaborator. Ia adalah proyek. Dan proyek ini tidak bisa berjalan tanpa narasi media. Di sinilah WSJ dan media barat lainnya memainkan peran sentral. Mereka tidak menulis berita. Mereka menulis masa depan, atau setidaknya versi masa depan yang mereka inginkan.
Kalau Suriah bisa dicoba dijinakkan dengan HTS, mengapa Gaza tidak bisa dengan Abu Shabab? Toh keduanya punya kesamaan: dulu teroris, kini reformis. Dulu kriminal, kini aktor damai. Dulu diburu, kini diundang bicara di forum internasional.
Barat telah lama mengembangkan keahlian menciptakan aktor lokal alternatif yang bisa disuntikkan ke tengah reruntuhan negara yang mereka hancurkan sendiri. Mereka paham, tidak perlu menaklukkan wilayah dengan pasukan militer. Cukup hancurkan tatanan, lalu tampilkan solusi dalam bentuk rezim boneka. Jika publik dunia terbuai oleh “stabilitas,” maka pelanggaran HAM dan pengkhianatan bisa dilupakan sebagai efek samping pembangunan.
Lihat saja bagaimana Barat mendesain ulang Irak. Lihat Afghanistan. Lihat Libya. Dan kini Suriah dan Gaza.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah skenario Suriah akan diterapkan di Gaza?” Tapi: sejauh mana kita akan membiarkan sejarah yang sama ditulis ulang, kali ini dengan tangan bercadar dan pena berlambang bintang David?
Abu Shabab bukan awal dan bukan akhir. Ia hanya pion pertama yang dikorbankan untuk menjajaki opini publik dunia. Jika berhasil, akan muncul lagi versi-versi baru. Akan lahir “Gaza Baru”—sebuah enklaf steril dari perlawanan, yang dijaga ketat oleh tentara Israel dan dikelola oleh orang Palestina yang kehilangan identitasnya. Kamp konsentrasi modern dengan WiFi, drone, dan check-point digital. Dan mungkin akan diberi nama ramah investor: Gaza Industrial Free Zone.
Dan jika dunia tidak bicara, maka sejarah akan mencatat bukan hanya siapa yang menjajah, tapi siapa yang diam ketika pengkhianat diberi mahkota.
Jadi ya, Barat bukan sekadar menerapkan skenario Suriah di Gaza. Mereka menyempurnakannya. Dengan peran yang lebih rapi, narasi yang lebih halus, dan media yang lebih patuh. Kita bisa tertawa getir, atau menangis. Tapi yang paling penting adalah tidak lupa bahwa semua ini bukan kebetulan.
Semua ini dirancang.