Opini
Barak Militer Dedi: Solusi atau Kontroversi Kenakalan Remaja?

Di sebuah ruangan sederhana di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi duduk di hadapan para wartawan, matanya penuh semangat saat ia mengumumkan rencana kontroversialnya: mengirim pelajar yang dianggap “nakal” ke barak militer untuk dididik selama 6 bulan hingga 1 tahun. Dengan nada tegas, ia menjelaskan bahwa ini bukan wajib militer, melainkan pendidikan karakter untuk menangani remaja yang terlibat tawuran, geng motor, atau bahkan kriminalitas. Rencana ini, menurutnya, lahir dari keputusasaan orang tua dan sekolah yang “menyerah” mendidik anak-anak bermasalah. Namun, usulan ini segera memicu gelombang reaksi, dari dukungan hingga kecaman keras, menggambarkan dilema kompleks dalam menangani kenakalan remaja di Indonesia.
Data yang disampaikan Dedi mengejutkan: pada 2024, Jawa Barat mencatat 1.261 kasus kekerasan remaja, termasuk pencurian, penganiayaan, dan penyalahgunaan narkoba. Ia juga menyoroti gaya hidup tidak sehat, seperti kecanduan game Mobile Legends, yang menurutnya melemahkan fisik dan mental pelajar. Dalam vlognya, Dedi menceritakan pertemuannya dengan orang tua yang merasa tak mampu lagi mengendalikan anak-anak mereka, bahkan meminta bantuan TNI untuk mendisiplinkan. Program ini, katanya, akan melibatkan guru untuk menjaga kurikulum sekolah, sementara TNI fokus pada pembinaan etika, disiplin, dan kesadaran bela negara. Persetujuan orang tua melalui surat pernyataan menjadi syarat, menunjukkan bahwa program ini tidak bertujuan memaksa, tetapi memberikan solusi bagi kasus ekstrem.
Namun, rencana ini langsung menuai kritik tajam. Dalam acara Prime Plus di CNN Indonesia, Lalu Hadrian Irfani, Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, menyebut program ini berpotensi melanggar hak anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Vera Itabiliana, psikolog anak, menegaskan bahwa definisi “nakal” yang digunakan Dedi—termasuk bermain game atau bolos sekolah—terlalu kabur dan berisiko menstigmatisasi pelajar. Ia memperingatkan bahwa pendekatan militer bisa menimbulkan tekanan psikologis atau trauma, terutama jika anak-anak mempersepsikannya sebagai hukuman. Irfani juga menilai program ini prematur, karena belum dikoordinasikan dengan Kementerian Pendidikan dan kurang memiliki payung hukum yang jelas. Ubaid Matraji dari JPPI bahkan menyebutnya “terlalu liar,” mempertanyakan mengapa alternatif seperti pesantren tidak dipertimbangkan.
Di sisi lain, dukungan juga mengalir, terutama dari orang tua yang merasa putus asa. Dalam sebuah video vlog Dedi, beberapa orang tua menyambut baik rencana ini, melihatnya sebagai harapan terakhir untuk memperbaiki perilaku anak-anak mereka. Data UNICEF dan BPS memperkuat urgensi masalah ini: 50% remaja Indonesia terlibat dalam perilaku bermasalah, dari tawuran hingga penyalahgunaan zat terlarang. Kasus ekstrem, seperti pembunuhan oleh pelajar SMP di Purwakarta, menambah tekanan pada pemerintah daerah untuk bertindak cepat. Dalam konteks ini, inisiatif Dedi bisa dilihat sebagai respons terhadap kekosongan kebijakan nasional. Pemerintah pusat, sayangnya, belum memiliki format komprehensif untuk menangani kenakalan remaja, meninggalkan daerah seperti Jawa Barat untuk mencari solusi sendiri.
Melihat pengalaman negara lain, pendekatan ala barak militer bukanlah hal baru. Di Amerika Serikat, juvenile boot camps populer pada 1980-an untuk remaja pelaku kriminal ringan, dengan pelatihan fisik dan rutinitas ketat selama 3-6 bulan. Namun, studi dari National Institute of Justice menunjukkan bahwa boot camps sering gagal mencegah perilaku kriminal jangka panjang jika tidak disertai konseling psikologis dan dukungan keluarga. Korea Selatan memiliki kamp disiplin untuk remaja kecanduan teknologi, menggabungkan pelatihan ala militer dengan terapi, yang cukup efektif untuk kasus spesifik. Rusia menggunakan sekolah kadet untuk remaja bermasalah, sementara Australia menerapkan boot camps sebagai alternatif penahanan. Namun, semua program ini menekankan pentingnya durasi pendek dan reintegrasi ke masyarakat, dua aspek yang masih lemah dalam rencana Dedi.
Pendekatan Dedi, meskipun berani, memiliki kelemahan mendasar. Durasi 6 bulan hingga 1 tahun terlalu lama, berisiko mengganggu pendidikan formal dan menimbulkan stigma sosial. Vera Itabiliana menegaskan bahwa kenakalan remaja sering berakar dari kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi atau konflik keluarga, bukan sekadar kurang disiplin. Mengisolasi anak di barak militer tanpa menyelesaikan masalah ini hanya menutup gejala, bukan penyebab. Selain itu, keterlibatan TNI secara langsung memicu kekhawatiran tentang militerisasi pendidikan, seperti yang disoroti Ubaid Matraji. Di negara seperti AS, boot camps dikelola oleh swasta dengan pengawasan ketat, bukan militer resmi, untuk memastikan kepatuhan terhadap hak anak. Rencana Dedi, yang belum memiliki payung hukum seperti Peraturan Gubernur, rentan dianggap otoriter dan gegabah.
Namun, kita tidak bisa mengabaikan nilai inisiatif Dedi. Di tengah tingginya angka kenakalan remaja—1.261 kasus di Jawa Barat pada 2024—dan minimnya solusi nasional, ia berani mengambil langkah. Kritik yang mengalir, meskipun penting, sering kali tidak disertai alternatif konkret. PDI Perjuangan menyoroti hak anak, tetapi tidak mengusulkan solusi untuk pelajar yang sudah terlibat kriminalitas. Ubaid menyebut pesantren sebagai opsi, tetapi tanpa rincian implementasi. Menteri Pendidikan menyatakan keberatan atas kurangnya koordinasi, tetapi Kemendikbud sendiri belum menawarkan pedoman nasional. Dalam situasi ini, Dedi setidaknya memicu diskusi yang bisa mendorong pemerintah pusat untuk bertindak.
Pengalaman global menunjukkan bahwa solusi terbaik adalah pendekatan holistik. Di Korea Selatan, kamp disiplin berhasil karena melibatkan konseling keluarga. Di AS, boot camps yang menyertakan pelatihan keterampilan dan terapi lebih efektif daripada yang hanya fokus pada fisik. Australia menekankan reintegrasi melalui mentoring pasca-program. Indonesia bisa belajar dari ini dengan mengembangkan program berbasis komunitas, seperti pelatihan kepemimpinan singkat atau pusat konseling sekolah. Program seperti LDKS, yang melibatkan unsur disiplin tanpa isolasi, terbukti efektif dan tidak memisahkan anak dari lingkungan sekolah. Pesantren, dengan pendekatan spiritual dan komunal, juga bisa menjadi alternatif yang lebih sesuai dengan budaya lokal.
Rencana Dedi, jika diperbaiki, bisa menjadi pilot project yang berharga. Durasi program harus dipersingkat menjadi 1-3 bulan, dengan kriteria pelajar yang jelas—misalnya, hanya mereka yang terlibat kriminalitas berat. Keterlibatan psikolog dan guru harus diperkuat untuk memastikan pendekatan pedagogis, bukan sekadar militeristik. Payung hukum, seperti Peraturan Gubernur, perlu disusun untuk menjamin transparansi. Yang terpenting, program ini harus dikoordinasikan dengan Kemendikbud agar selaras dengan sistem pendidikan nasional. Tanpa perbaikan ini, rencana Dedi berisiko gagal, seperti banyak boot camps di AS yang ditutup karena tidak efektif.
Pada akhirnya, kenakalan remaja adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya beban daerah. Inisiatif Dedi, meskipun penuh kekurangan, telah menyoroti urgensi masalah ini dan memaksa kita untuk berpikir ulang. Kritik tanpa solusi hanya akan memperpanjang kebuntuan. Pemerintah pusat harus merespons dengan menyusun pedoman nasional yang mengintegrasikan disiplin, konseling, dan pendidikan, mengambil inspirasi dari Korea Selatan atau Australia. Sementara itu, Dedi bisa memanfaatkan kontroversi ini untuk memperbaiki rencananya, menjadikannya langkah awal menuju solusi yang lebih manusiawi dan efektif. Hanya dengan kerja sama lintas pihak, kita bisa mengubah kenakalan remaja dari ancaman menjadi peluang untuk membentuk generasi yang lebih baik.
Sumber:
- Siswa Nakal Suka Melawan, Barak Militer Jadi Jawaban? | Prime Plus (https://www.youtube.com/watch?v=5b387JHLoFM)
- Jadi Kontroversi, Anak Nakal Masuk Barak TNI | Dua Sisi tvOne (https://www.youtube.com/watch?si=yS0z30HeAhvlIxbK&v=FeSeUFCx6XI&feature=youtu.be)
- Ini Alasan Dedi Mulyadi Akan Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer (https://www.youtube.com/watch?si=0QB_Ud8mhmpGCZwh&v=pQolX-Albfw&feature=youtu.be)