Opini
Bantuan Jerman ke Ukraina: Solidaritas atau Keputusan Bunuh Diri?

Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, berdiri di Kyiv pada 1 April 2025, mengumumkan bantuan militer senilai €11,25 miliar ($12 miliar) untuk Ukraina. Kunjungan mendadak ini menegaskan dukungan “tanpa syarat” dari Berlin, meskipun pemerintah Jerman akan segera berganti. Bantuan ini mencakup €3 miliar untuk jangka pendek, €8,25 miliar untuk periode hingga 2029, dan tambahan €130 juta untuk bantuan kemanusiaan. Bagi sebagian pihak, ini adalah simbol solidaritas Eropa. Namun, di balik janji besar tersebut, ironi mencolok: Jerman menolong Ukraina sementara ekonominya sendiri terpuruk.
Sejak 2022, Jerman kehilangan akses ke gas murah Rusia—yang sebelumnya memasok 55% kebutuhan energinya—akibat sanksi dan sabotase terhadap pipa Nord Stream. Gas alam cair (LNG) dari Amerika Serikat dan Norwegia menggantikannya, tetapi dengan harga dua kali lipat. Dampaknya langsung terasa: inflasi energi melonjak hingga 40% pada 2023, menurut Destatis. Industri otomotif dan kimia, tulang punggung ekonomi Jerman, terhambat. Resesi mengancam, dan laporan Caritas 2024 menyebutkan bahwa 14 juta warga kini hidup dalam risiko kemiskinan. Namun, Berlin tetap memilih untuk mengalirkan miliaran euro ke Kyiv.
Tekanan semakin besar dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Trump menuntut Ukraina mengembalikan bantuan Amerika dan mengancam tarif 25% untuk ekspor Jerman. Kebijakan ini mengingatkan pada tarif yang ia terapkan terhadap baja Eropa pada 2018. Mobil Jerman—yang 25% ekspornya bergantung pada pasar AS—terancam kehilangan pangsa pasar. Sementara itu, ketegangan geopolitik membuat hubungan dagang dengan China menyusut. Sebaliknya, Rusia bertahan dengan perdagangan senilai $240 miliar bersama China pada 2023, mengejek efektivitas sanksi Barat.
Ironi ini semakin mencolok: Jerman kehilangan akses energi murah, terjepit kebijakan Trump, dan tetap berkomitmen mengirimkan €11,25 miliar ke Ukraina. Baerbock menyebutnya solidaritas, tetapi opini publik Jerman mulai berbalik. Survei ARD-Deutschlandtrend Maret 2025 menunjukkan bahwa 52% warga menentang bantuan militer lebih lanjut. Masyarakat lebih memilih pemerintah fokus pada krisis domestik, seperti lapangan pekerjaan dan stabilitas ekonomi. Seperti kapal yang bocor tetapi masih membuang pelampung ke kapal lain, kebijakan ini dipertanyakan efektivitasnya.
Kontradiksi Geopolitik: Ukraina, Rusia, dan Ancaman Trump
Di Kyiv, Baerbock menuding Rusia sebagai penghalang gencatan senjata. Namun, di sisi lain, laporan Reuters mengindikasikan bahwa Trump dan Kremlin tengah melakukan negosiasi diplomatik. Jika Amerika Serikat berhasil menengahi perdamaian, maka apa arti miliaran euro yang Jerman curahkan ke Ukraina? Dana ini bisa saja menjadi investasi sia-sia untuk perang yang akhirnya diselesaikan di meja perundingan. Namun, Berlin tetap bertaruh bahwa tekanan militer terhadap Rusia dapat memaksanya mundur.
Jika perang berlanjut hingga 2029, Jerman diperkirakan akan mengalokasikan dana €5-6 miliar per tahun, dengan total €30-35 miliar tambahan. Dengan PDB sekitar €4 triliun, angka ini memang hanya setara dengan 1% per tahun. Tetapi dalam ekonomi yang sedang goyah, beban ini bisa menjadi pemicu ketidakstabilan lebih lanjut. Utang publik Jerman, yang pada 2023 berada di angka 63% dari PDB, dapat melonjak hingga 80%, menurut analisis Bundesbank. Sementara itu, Rusia, dengan dukungan ekonomi dari China, bisa bertahan dalam perang gesekan yang panjang, membuat investasi Jerman dalam konflik ini tampak semakin meragukan.
Sikap negara-negara Eropa juga semakin beragam. Prancis, menurut laporan Le Monde, ragu untuk meningkatkan bantuan militer dan lebih memilih jalur diplomasi. Di sisi lain, Polandia dan negara-negara Baltik terus mendesak Jerman untuk tetap menjadi pemimpin dalam mendukung Ukraina. Italia, di bawah kepemimpinan Giorgia Meloni, sepakat membantu Ukraina tetapi enggan menanggung beban keuangan yang besar. Situasi ini meninggalkan Jerman sebagai penyokong utama bantuan Eropa, sebuah posisi yang semakin sulit dipertahankan ketika tantangan domestik semakin meningkat.
Tarif Trump juga dapat memperburuk keadaan. Institut Ifo memperkirakan bahwa kebijakan Trump bisa memangkas €50 miliar dari ekspor Jerman, terutama di sektor otomotif dan industri berat. Selain itu, tingginya harga energi menyebabkan penutupan pabrik-pabrik kecil dan meningkatnya angka pengangguran. Demonstrasi besar di Berlin pada Februari 2025 menjadi bukti ketidakpuasan publik, dengan ribuan orang turun ke jalan menuntut subsidi domestik alih-alih pengiriman senjata ke Ukraina.
Di tengah semua ini, Rusia tetap dalam posisi yang lebih menguntungkan. Dukungan finansial dan perdagangan dari China memungkinkan Moskow bertahan lebih lama dalam konflik ini. Sementara itu, Trump terus menekan sekutu-sekutu NATO untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan mereka sendiri. Jika ketegangan ini terus berlanjut tanpa resolusi diplomatik yang jelas, Jerman bisa berakhir dalam posisi yang semakin sulit: kehilangan daya saing ekonomi, menghadapi gelombang ketidakpuasan publik, dan tetap terjebak dalam perang yang tidak memberikan keuntungan langsung bagi negaranya.
Jalan Keluar: Diplomasi dan Rekonstruksi
Jerman masih memiliki pilihan lain. Alih-alih mengalokasikan €8,25 miliar untuk perang hingga 2029, dana ini dapat dialihkan untuk diplomasi dan rekonstruksi pascakonflik. Berlin bisa mengambil inisiatif dengan menggelar konferensi perdamaian di bawah payung Uni Eropa dan PBB, menawarkan solusi politik yang lebih berkelanjutan. Sebagai alternatif, Jerman dapat mengalokasikan dana €5 miliar untuk membangun kembali infrastruktur Ukraina pascaperang, sebuah investasi yang jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan terus mendanai perang tanpa akhir yang jelas.
Koordinasi dengan Prancis dan Polandia juga dapat mengurangi beban yang harus ditanggung Jerman sendirian. Jika Jerman tetap menjadi satu-satunya negara yang menanggung biaya utama perang ini, dampaknya akan semakin buruk bagi stabilitas ekonomi dalam negeri. Dengan membagi beban di antara negara-negara Eropa lainnya, Jerman dapat tetap berkontribusi tanpa harus mengorbankan kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Jika Berlin tidak mengubah kebijakannya, akibatnya bisa menjadi lebih serius. Ekonomi Jerman berisiko stagnasi, utang meningkat, dan demonstrasi publik bisa semakin besar. Pada 2026, bukan tidak mungkin setengah juta orang turun ke jalan di Berlin menuntut kebijakan yang lebih adil bagi rakyat mereka sendiri. Sementara itu, Rusia dan China bisa memperkuat dominasi mereka, meninggalkan Jerman dalam posisi lemah di panggung global.
Solidaritas Eropa memang penting, tetapi pertanyaannya adalah: solidaritas untuk siapa? Jika Jerman terus mengorbankan kepentingan domestiknya demi Ukraina, apakah itu benar-benar kebijakan yang bijak? Baerbock mungkin melihat kunjungannya ke Kyiv sebagai bentuk keberanian diplomatik, tetapi di dalam negeri, rakyat Jerman mulai bertanya-tanya apakah pemerintah mereka sedang membuat keputusan yang benar. Tanpa perubahan kebijakan yang signifikan—dari pengiriman senjata ke jalur diplomasi, dari pengorbanan ekonomi ke strategi pemulihan—Jerman berisiko menjadi pahlawan yang kehabisan tenaga di tengah badai yang tak kunjung reda. Waktu semakin menipis, dan keputusan Berlin dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan nasibnya di Eropa yang semakin rapuh.