Opini
Bagaimana Israel Memburu dan Mengeksekusi Tenaga Medis Palestina

*Oleh Eva Bartlett, jurnalis independen asal Kanada yang telah bertahun-tahun meliput di wilayah konflik Timur Tengah, terutama di Suriah dan Palestina (di mana ia tinggal hampir empat tahun).
Tentara Israel telah mengeksekusi 15 tenaga medis Palestina di Gaza, mengubur mereka, lalu berbohong bahwa mereka adalah “teroris.” Bagi mereka yang mengikuti perkembangan, kebiadaban ini bukan hal baru, melainkan kejahatan perang terbaru yang dilakukan Israel dalam daftar panjang kejahatan perang selama beberapa dekade.
Kombinasi dari fakta bahwa para tenaga medis itu diikat, dieksekusi, lalu dikubur dalam kuburan massal begitu mengerikan hingga media global yang biasanya acuh pun melaporkannya—meski tanpa kemarahan yang biasanya muncul bila pelaku adalah musuh Barat.
Pada 31 Maret, Jonathan Whittall, Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina (OCHA), menulis di X (Twitter):
“Para petugas tanggap darurat seharusnya tidak pernah menjadi sasaran. Namun hari ini @UNOCHA mendukung @PalestineRCS dan Pertahanan Sipil untuk mengambil kembali rekan-rekan mereka dari kuburan massal di #Rafah #Gaza, yang ditandai dengan lampu darurat dari salah satu ambulans mereka yang hancur.”
Dalam utasnya, ia menjelaskan bahwa pada 23 Maret, kontak dengan sepuluh petugas Palang Merah Bulan Sabit Palestina (PRCS) dan enam petugas Pertahanan Sipil hilang, yang masing-masing berada di lima ambulans dan satu truk pemadam kebakaran. Mereka dikirim untuk mengevakuasi korban luka. “Selama beberapa hari, OCHA berupaya menjangkau lokasi, tetapi akses baru diberikan lima hari kemudian.”
Saat mereka akhirnya mencapai lokasi, mereka “menemukan jasad 8 petugas PRCS, 6 Pertahanan Sipil, dan 1 staf PBB,” tulisnya. “Mereka dibunuh saat mengenakan seragam, mengendarai kendaraan yang jelas-jelas bertanda, memakai sarung tangan, dan sedang dalam perjalanan untuk menyelamatkan nyawa. Ini seharusnya tidak pernah terjadi.”
Juru bicara Pertahanan Sipil Palestina, Mahmoud Basal, menyatakan, “Salah satu petugas ditemukan dengan kaki terikat, yang lain bagian atas tubuhnya telanjang, yang lain lagi dipenggal. Dari seluruh jenazah, yang paling sedikit luka pun tertembak 20 peluru di dada.”
Menurut PRCS, satu petugas medis lainnya hilang dan diyakini ditangkap.
PBB, Palang Merah, dan OCHA semuanya telah mengeluarkan pernyataan kecaman atas pembunuhan ini. Sekretaris Jenderal Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), Jagan Chapagain, mengatakan:
“Mereka mengenakan lambang yang seharusnya melindungi mereka; ambulans mereka diberi tanda dengan jelas. Mereka seharusnya pulang ke keluarga mereka, tapi tidak. Aturan Hukum Humaniter Internasional tidak bisa lebih jelas lagi – warga sipil harus dilindungi; pekerja kemanusiaan harus dilindungi. Layanan kesehatan harus dilindungi.”
Menurut Chapagain, 30 relawan dan staf PRCS telah terbunuh sejak Oktober 2023.
OCHA menyebut pembunuhan ini sebagai “pukulan besar bagi kami” dan menyatakan, “tindakan menjijikkan ini menuntut pertanggungjawaban.” Menurut PBB, “408 pekerja bantuan, termasuk lebih dari 280 staf UNRWA, telah terbunuh di Gaza sejak perang dimulai pada 7 Oktober 2023.”
Tom Fletcher, Wakil Sekjen PBB untuk urusan kemanusiaan dan bantuan darurat, menulis, “Mereka dibunuh oleh pasukan Israel saat mencoba menyelamatkan nyawa. Kami menuntut jawaban dan keadilan.”
Kesaksian Langsung dan Serangan terhadap Ambulans Sejak 2009
The Guardian mengutip Dr. Bashar Murad dari PRCS, yang sempat berbicara dengan salah satu paramedis dari konvoi tersebut:
“Ia mengatakan bahwa dirinya terluka dan meminta bantuan, dan ada orang lain yang juga terluka. Beberapa menit kemudian, saat panggilan masih berlangsung, terdengar suara tentara Israel datang, berbicara dalam bahasa Ibrani. ‘Kumpulkan mereka di dinding dan bawa tali untuk mengikat mereka.’ Ini menandakan banyak tenaga medis masih hidup saat itu.”
Juru bicara militer Israel, Letkol Nadav Shoshani, seperti biasa membantah tuduhan dan menyalahkan Hamas, mengklaim bahwa ambulans “bergerak secara mencurigakan” menuju pasukan Israel. Ia menyatakan bahwa eksekusi para tenaga medis itu adalah penghapusan “seorang anggota militer Hamas, bersama delapan teroris lain dari Hamas dan Jihad Islam.”
Namun, pengamat di X membantah pernyataan Shoshani, dengan menyebut bahwa tentara Israel telah menyerang ambulans sejak lama.
Saya sendiri mengalaminya langsung. Pada perang Israel atas Gaza Januari 2009, saya bersama sekelompok kecil relawan internasional mendampingi ambulans PRCS untuk mendokumentasikan pekerjaan mereka dan para korban.
Malam pertama invasi darat Israel, kami berada di pusat PRCS di Ezbet abed Rabbo, timur Jabaliya, dengan gempuran Israel di sekitar. Pagi harinya kami harus dievakuasi. Di akhir perang, pusat itu nyaris hancur.
Saya bisa bersaksi bahwa ambulans dan rumah sakit telah menjadi sasaran langsung, terhadap petugas medis tak bersenjata yang tak membawa perlawanan apa pun, hanya mengevakuasi korban luka dan syahid, termasuk warga lanjut usia.
Dalam satu kasus, penembak jitu Israel menembakkan setidaknya 14 peluru ke arah petugas medis dan ambulans yang saya tumpangi, mengenai salah satu petugas medis di kaki dan merusak kendaraan—padahal itu terjadi di masa jeda tembak.
Sepekan sebelumnya, seorang paramedis yang saya dampingi dalam misi malam di barat laut Gaza tewas keesokan harinya setelah ambulansnya dihantam peluru flechette (peluru anak panah) dari tentara Israel, yang menewaskannya seketika. Para saksi mata menyatakan tidak ada perlawanan di sana, hanya petugas medis serta korban luka dan tewas.
Seminggu kemudian, rumah sakit al-Quds dibombardir Israel berkali-kali, membuat para medis harus pindah ke rumah sakit al-Shifa, dengan risiko ditembak saat evakuasi. Saya bersama mereka dan menyaksikan langsung kerusakan dan kebakaran akibat serangan itu.
Saya juga mencatat kesaksian para paramedis PRCS lainnya yang diserang Israel, sebagian lebih dari sekali.
Dua petugas medis menceritakan bagaimana mereka sudah mendapat izin dari Israel melalui Palang Merah Internasional (ICRC) untuk mengevakuasi korban. Namun tiga ambulans dan satu mobil ICRC justru diserang Israel di Gaza utara.
“Kami berbicara dengan tentara Israel lewat telepon, mereka beri petunjuk jalan. Tapi saat kami mendekati korban, tentara mulai menembaki. Saya bilang, ‘Kami punya koordinasi,’ dan mereka menyuruh tunggu. Tapi mereka malah menembak lagi.”
Menurut Pusat HAM Palestina (PCHR), pada hari yang sama, pasukan Israel menembaki konvoi 11 ambulans yang dipimpin kendaraan ICRC di Gaza tengah, melukai staf ICRC dan merusak kendaraan.
Petugas medis lain ditembak di kaki saat bertugas untuk PRCS pada Mei 2008, dan dua kali disasar penembak jitu Israel selama perang 2009. Ia juga berada dalam gedung yang dibom saat membantu evakuasi korban.
“Saya bersama Dr. Issa Saleh turun dari lantai enam gedung apartemen di Jabaliya, membawa jenazah syahid, saat gedung itu kembali dibom. Israel tahu kami ada di dalam, melihat seragam kami dan ambulans di luar.” Dr. Saleh tewas, kepalanya terpenggal akibat bom.
Kesaksian lain menunjukkan banyak kasus serupa: para medis diserang saat hendak menyelamatkan korban. Laporan lain menyebut ada perintah tertulis dalam bahasa Ibrani yang ditemukan di Gaza, menyuruh tentara Israel untuk “tembak juga regu penyelamat.”
Pada 2007, di Tepi Barat, saat invasi Israel ke Nablus, saya menyaksikan tentara Israel menyandera relawan dari Palestinian Medical Relief, menutup mata dan memborgolnya, serta menggunakannya sebagai tameng manusia.
Penangkapan dan penahanan petugas medis saat itu sudah menjadi hal umum, sebagai bentuk hukuman kolektif bagi mereka yang memberikan layanan darurat kepada warga Palestina. Bila tidak ditangkap, mereka tetap dilarang masuk ke zona darurat, menghalangi perawatan korban.
Penyerangan Sistematis terhadap Sistem Kesehatan Gaza
Tahun 2023–2024, tentara Israel berulang kali membom rumah sakit di Gaza, menduduki dan menghancurkannya, serta secara rutin membunuh petugas medis, dokter, dan pekerja darurat.
Jelas bahwa bagi tentara Israel, membunuh tenaga medis adalah kebijakan. Entah di ambulans atau rumah sakit. Dan juga jelas bahwa meski kadang terdengar kata “kecaman” dari negara-negara Barat, Israel tak pernah benar-benar dimintai pertanggungjawaban.
Menghalangi Akses Perawatan Kesehatan
Januari lalu, saya menulis tentang Dr. Hussam Abu Safiya, dokter Palestina dari Gaza utara yang diculik dan dipenjara tentara Israel pada Desember. Dalam tulisan itu saya sebutkan tiga dokter Gaza telah disiksa hingga tewas di penjara Israel tahun lalu, dan ada kekhawatiran besar atas nasib Dr. Abu Safiya.
Sejak itu, para sandera Palestina yang dibebaskan mengonfirmasi bahwa Dr. Abu Safiya disiksa. Baru-baru ini, pengadilan Israel di Beersheba mengeluarkan perintah tahanan administratif enam bulan untuknya—bentuk penahanan tanpa dakwaan yang kerap digunakan Israel terhadap warga Palestina.
Penculikan dan penyiksaan dokter Palestina adalah bagian dari serangan total Israel terhadap sistem kesehatan Gaza. Ini bagian dari kebijakan sistematis untuk melemahkan rakyat Palestina, termasuk melarang masuknya alat medis dan makanan, membuat mereka kelaparan setelah selamat dari bom dan tembakan.
Saya ulang pertanyaan retoris yang sudah sering saya lontarkan: Apa reaksi dunia bila yang membunuh tenaga medis berseragam dan tak bersenjata ini adalah Rusia?
Media Barat akan menjerit siang-malam, wajah para korban dipajang di mana-mana, tuntutan sanksi bergema. Tapi Israel melakukannya berulang kali selama puluhan tahun, dan yang didapat Palestina hanya kata-kata setengah hati dan ajakan penyelidikan. Tidak ada keadilan.
Artikel ini telah diterbitkan oleh media daring RT dan diterjemahkan serta disunting oleh tim Vichara.id.