Connect with us

Opini

Badai Sunyi di Jepang: Populasi Terus Menurun

Published

on

Di jantungan kota-kota Jepang, neon berkelip menyapa malam, namun di balik gemerlap itu, sebuah keheningan merayap. Data resmi baru-baru ini dari Kementerian Dalam Negeri Jepang, seperti dilansir DW, mengungkapkan penurunan populasi warga negara sebesar 898.000 jiwa, menjadi 120,3 juta per Oktober 2024—rekor terbesar sejak 1950. Angka kelahiran yang merosot, salah satu terendah di dunia, menyeret Jepang ke jurang krisis demografi. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan masa depan yang kian rapuh.

Penurunan ini bukanlah kejutan baru, melainkan kelanjutan dari tren yang telah menghantui Jepang selama 13 tahun berturut-turut. Bahkan dengan menyertakan warga asing, populasi total turun 550.000 jiwa menjadi 123,8 juta—penurunan ke-14 secara beruntun. Hanya Tokyo dan Saitama yang mencatat kenaikan populasi, sementara 45 prefektur lain, terutama Akita, terpuruk dalam penyusutan. Populasi Jepang memuncak pada 2008, dan sejak itu, angka kelahiran yang rendah terus menggerus fondasi demografinya. Laporan ini menegaskan bahwa tanpa intervensi serius, Jepang berjalan menuju jurang yang lebih dalam.

Budaya Jepang, dengan segala keindahannya, turut membentuk labirin krisis ini. Jam kerja yang panjang dan ekspektasi loyalitas mutlak mencuri waktu dari kehidupan pribadi. Banyak generasi muda menunda pernikahan, terhimpit oleh norma sosial yang menuntut stabilitas finansial sebelum berkeluarga. Data dari OECD menunjukkan tingkat fertilitas total Jepang hanya 1,26 anak per wanita pada 2023, jauh di bawah angka pengganti 2,1. Wanita, yang masih sering menanggung beban ganda antara karier dan keluarga, semakin enggan memiliki anak. Fenomena seperti hikikomori dan soshoku danshi—pria yang menghindari hubungan romantis—memperparah rendahnya angka pernikahan. Budaya ini, meski kaya, menjadi belenggu yang perlu dilonggarkan.

Namun, krisis ini bukan sekadar soal budaya; ekonomi memainkan peran besar. Biaya hidup yang tinggi, terutama di kota-kota besar, membuat anak terasa seperti kemewahan. Upah stagnan bagi pekerja muda, dengan 40% di antaranya berstatus kontrak pada 2022 menurut Kementerian Tenaga Kerja Jepang, menciptakan ketidakpastian finansial. Pemerintah, seperti disampaikan Yoshimasa Hayashi, berupaya membantu dengan kenaikan upah dan dukungan pengasuhan anak. Namun, alokasi 3,5 triliun yen per tahun untuk kebijakan pro-keluarga, seperti yang diumumkan Fumio Kishida pada 2023, belum menunjukkan hasil signifikan. Tanpa reformasi struktural, janji-janji ini hanyalah tambal sulam.

Jika krisis ini dibiarkan, konsekuensinya akan menghantam seperti tsunami. Dalam satu dekade, populasi Jepang bisa merosot di bawah 110 juta, berdasarkan proyeksi Institut Nasional Penelitian Populasi dan Jaminan Sosial. Tenaga kerja yang menyusut akan melumpuhkan industri, dari teknologi hingga perawatan lansia. Pada 2024, 29% populasi Jepang berusia di atas 65 tahun, dan rasio ini diprediksi mencapai 35% pada 2040. Sistem pensiun dan kesehatan akan kolaps di bawah beban lansia, sementara pajak yang melonjak akan mencekik generasi muda. Ekonomi Jepang, yang sudah bergulat dengan deflasi, berisiko stagnasi permanen.

Daerah pedesaan, seperti Akita, adalah gambaran suram masa depan. Penurunan populasi di prefektur ini adalah yang terparah, dengan sekolah dan rumah sakit tutup karena kekurangan warga. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa 1.700 desa di Jepang berisiko lenyap pada 2040. Warisan budaya lokal, dari festival tradisional hingga kerajinan tangan, terancam punah. Sementara itu, kota-kota besar seperti Tokyo mungkin bertahan lebih lama, tetapi kepadatan yang tak seimbang akan memperburuk ketimpangan regional. Jepang bukan hanya kehilangan orang, tetapi juga jiwanya.

Imigrasi sering disebut sebagai solusi, namun Jepang tetap setia pada kebijakan ketatnya. Pada 2023, warga asing hanya menyumbang 2,4% dari populasi, jauh lebih rendah dibandingkan 13% di Jerman atau 20% di Kanada, menurut data OECD. Pemerintah mengizinkan pekerja asing sementara, terutama di sektor konstruksi dan perawatan, tetapi tanpa jalur menuju residensi permanen, mereka bukan solusi jangka panjang. Resistensi terhadap imigrasi berakar pada kekhawatiran akan identitas budaya, tetapi tanpa keterbukaan, Jepang akan kesulitan mengisi kekosongan demografinya. Integrasi yang bijaksana bisa menjadi jalan tengah.

Teknologi, seperti otomatisasi dan AI, menawarkan harapan parsial. Jepang sudah memimpin dalam robotika, dengan 47% robot industri dunia diproduksi di sana pada 2022, menurut Federasi Robotika Internasional. Robot perawatan lansia dan otomatisasi manufaktur bisa mengurangi tekanan tenaga kerja. Namun, teknologi tidak bisa menggantikan konsumen atau menghidupkan kembali komunitas yang sepi. Inovasi harus berjalan seiring dengan reformasi sosial, bukan sebagai pengganti. Mengandalkan mesin semata adalah pelarian dari akar masalah.

Pemerintah Jepang bukan tanpa usaha. Kebijakan seperti subsidi pengasuhan anak dan cuti orang tua adalah langkah awal. Namun, keberhasilannya bergantung pada perubahan budaya kerja yang lebih dalam. Budaya lembur yang mengakar, dengan rata-rata 180 jam lembur per tahun bagi pekerja Jepang menurut Kementerian Tenaga Kerja, harus dikurangi. Fleksibilitas kerja, seperti yang diterapkan di negara seperti Swedia, bisa memberi ruang bagi kehidupan keluarga. Selain itu, kesetaraan gender dalam tanggung jawab domestik harus didorong untuk mengurangi beban wanita. Tanpa langkah ini, kebijakan hanya akan menguap di udara.

Masyarakat Jepang juga harus berperan. Kampanye sosial yang mengubah persepsi tentang pernikahan dan anak bisa membantu. Data dari Badan Statistik Jepang menunjukkan bahwa 25% pria dan 15% wanita berusia 30-an tidak ingin menikah, angka yang melonjak dari dekade sebelumnya. Mendorong penerimaan terhadap keluarga tanpa tekanan finansial besar adalah kunci. Sekolah dan media bisa memainkan peran dalam menanamkan nilai bahwa membesarkan anak adalah investasi bersama, bukan beban individu.

Krisis ini bukan hanya ancaman, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Jepang masih memiliki waktu, tetapi jendelanya menyempit. Jika tidak ada reformasi berani—dari kebijakan pro-keluarga hingga imigrasi dan perubahan budaya—negara ini berisiko menjadi bayangan dirinya sendiri. Ekonomi yang dulu perkasa bisa merana, dan warisan budaya yang kaya bisa memudar di desa-desa kosong. Namun, dengan langkah yang tepat, Jepang bisa menemukan keseimbangan antara tradisi dan modernitas, menjaga jiwanya tetap hidup di tengah badai demografi.

Kini, di persimpangan ini, Jepang harus memilih: bertahan dengan cara lama yang perlahan mencekik, atau berani melangkah ke arah baru. Data DW adalah peringatan keras—898.000 jiwa hilang dalam setahun bukan sekadar statistik, tetapi sinyal bahwa waktu hampir habis. Dengan keberanian dan visi, Jepang bisa membalikkan nasibnya, membuktikan bahwa bahkan di tengah krisis, sebuah bangsa dapat menemukan jalan untuk bangkit kembali.

 

Sumber:

  1. DW, “Japan sees record drop in population,” https://www.dw.com/en/japan-sees-record-drop-in-population/a-72239612
  2. OECD, “Fertility Rates,” 2023
  3. Kementerian Tenaga Kerja Jepang, “Labor Force Survey,” 2022
  4. Institut Nasional Penelitian Populasi dan Jaminan Sosial Jepang, “Population Projections,” 2023
  5. Federasi Robotika Internasional, “World Robotics Report,” 2022
  6. Badan Statistik Jepang, “Marriage and Family Survey,” 2023
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *