Opini
Badai Ijazah Jokowi: Jujur atau Manuver Politik?

Polemik tentang ijazah Joko Widodo (Jokowi) kembali menghangat setelah laporan yang menyebutkan bahwa mantan Presiden Republik Indonesia ini melaporkan tuduhan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025. Menanggapi laporan tersebut, Jokowi yang mengenakan batik coklat, tegas menghadap pihak kepolisian bersama kuasa hukumnya, memerangi tuduhan yang memicu kerusuhan massa yang datang ke rumahnya di Solo. Roy Suryo, yang menjadi salah satu terlapor, mengklaim bahwa persoalan ini lebih kepada kejujuran, bukan politik. Namun, meskipun ada klaim tersebut, dampak politik dari tuduhan ini sangat jelas dan berpotensi mengguncang stabilitas politik Indonesia.
Roy Suryo dalam sebuah dialog daring di Kompas TV menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk memastikan kejujuran, dengan meminta Jokowi menunjukkan ijazah aslinya guna menyelesaikan polemik. Ia menggunakan metode forensik digital, seperti analisis error level dan face comparison untuk memverifikasi keaslian dokumen, termasuk skripsi Jokowi yang menurutnya menunjukkan kejanggalan pada font dan hilangnya lembar pengesahan. Berdasarkan temuan ini, Roy mempublikasikan temuan tersebut di platform media sosial, yang kemudian menyulut debat publik yang rentan terhadap politisasi. Klaim bahwa ini adalah pencarian kebenaran ilmiah semakin diragukan karena dampak yang muncul jelas berhubungan erat dengan politik, terutama terkait dengan legitimasi politik Jokowi.
Namun, apakah masalah ini akan berakhir jika Jokowi sekadar menunjukkan ijazah aslinya? Roy menyatakan bahwa kejujuran sederhana akan mengakhiri spekulasi. Namun, dalam kenyataannya, Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai institusi penerbit ijazah, telah mengeluarkan keterangan resmi yang mengonfirmasi keabsahan ijazah Jokowi, yang bahkan dikonfirmasi oleh rektor. Meski demikian, Roy tetap tidak puas, bahkan menolak keterangan resmi tersebut, yang menunjukkan ketidakpercayaan terhadap otoritas yang sah. Hal ini mengarah pada pertanyaan besar: apakah Roy akan menerima begitu saja jika Jokowi menunjukkan ijazahnya? Sebab bahkan pernyataan UGM saja dia tolak.
Langkah Jokowi untuk membawa masalah ini ke ranah hukum, seperti yang tercatat dalam laporan ke Polda Metro Jaya, bisa jadi adalah keputusan yang tepat. Rifai Kusumanegara, kuasa hukum Jokowi, menyebutkan bahwa kliennya telah menunjukkan ijazah asli dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMA, hingga S1, serta menyertakan 24 bukti untuk memperkuat posisinya. Proses hukum ini, meski memakan waktu, menawarkan kepastian yang lebih kredibel daripada debat di media sosial yang semakin memanas. Proses ini tidak hanya untuk membuktikan keaslian ijazah Jokowi, tetapi juga sebagai langkah untuk mengakhiri politisasi yang terus berkembang. Pasalnya, meskipun klaim Roy berkutat pada soal kejujuran, jelas bahwa isu ini menjadi bola panas politik yang bisa mempengaruhi kredibilitas Jokowi dan keluarga politiknya, terutama menjelang Pemilu 2029.
Meskipun proses hukum berjalan, Roy tetap mempertahankan posisinya dengan mengatakan, “Biar masyarakat yang menilai,” yang mengindikasikan bahwa isu ini akan terus berlanjut di ranah publik, bahkan jika pengadilan sudah memberikan keputusan. Ini mengarah pada pemahaman bahwa pengadilan tidak akan mengakhiri polemik ini secara definitif, karena politisasi terus berkembang melalui media sosial dan opini publik. Bahkan jika proses hukum berjalan lancar, dampak yang ditimbulkan dalam lingkaran politik tidak akan langsung sirna. Hal ini menggambarkan betapa berbahayanya isu-isu yang dapat dipolitisasi, khususnya ketika sudah menyentuh reputasi dan integritas tokoh-tokoh penting dalam politik Indonesia.
Polemik ini jauh dari hanya masalah administrasi pendidikan, karena menyentuh fondasi karier politik Jokowi. Tuduhan ijazah palsu ini telah muncul berulang kali sepanjang karier politiknya, sejak beliau menjabat sebagai Presiden RI selama dua periode. Dampaknya jelas tidak hanya pada reputasi pribadi Jokowi, tetapi juga pada keluarga politiknya, termasuk anak-anaknya, Gibran Rakabuming Raka yang kini menjabat sebagai Wali Presiden, serta Kaesang Pangarep yang menjadi ketua Partai PSI.
Dampak politik dari tuduhan ini menjadi semakin signifikan menjelang Pilpres 2029, dengan Gibran sebagai salah satu calon potensial. Isu ini, meski tidak langsung terkait dengan Gibran, dapat dimanfaatkan oleh lawan politik untuk menggoyang integritas keluarganya, menciptakan spekulasi yang bisa merusak citra Gibran di mata publik. Roy, dengan klaim bahwa ini adalah soal kejujuran, tampaknya tidak menyadari (atau menyadari) bahwa dampak politik yang ditimbulkan lebih besar dari sekadar isu administrasi. Meskipun tujuan awalnya mungkin ingin menegakkan kebenaran, dampak sosial-politik yang mengalir sangat terasa di tengah masyarakat.
Dampak lain yang juga tak bisa dihindari adalah terhadap penyelenggara pemilu, yang sebelumnya meloloskan Jokowi. Legitimasi lembaga pelaksana pemilu akan menjadi cacat ketika ijazah Jokowi ternyata palsu. Bahkan partai yang sebelumnya mengusung Jokowi pun tak luput dari getahnya. Sebab akan dianggap lalai, karena tak melakukan pengecekan dengan benar terkait ijazah tersebut. Yang lebih fatal, mereka bisa saja dituduh berkolusi dengan Jokowi terkait ijazah yang palsu itu. Ini menunjukkan bagaimana polemik ini tidak hanya menjadi soal individu, tetapi juga menyentuh keberlanjutan partai politik dan integritas lembaga negara.
Di sisi lain, keberadaan PSI yang dipimpin oleh Kaesang juga terancam, mengingat citra keluarga Jokowi yang menjadi andalan partai tersebut. Jika skandal ini tidak segera terselesaikan, PSI berisiko kehilangan dukungan dari pemilih muda yang menjadi basis utama partai tersebut. Dalam dunia politik Indonesia, di mana persepsi publik sangat menentukan, skandal ini berpotensi melemahkan daya tarik PSI di mata konstituen mereka menjelang Pemilu 2029. Untuk sebuah partai yang sedang berusaha membangun citra dan kredibilitasnya di kalangan generasi muda, isu ini bisa menjadi bumerang yang mengancam eksistensinya.
Selain itu, Roy juga menyoroti dugaan maladministrasi yang melibatkan UGM, dengan mengkritik keterangan yang diberikan oleh universitas dan menuduhnya tidak memadai. Padahal, pihak UGM telah memberikan klarifikasi yang jelas, yang diterima oleh banyak pihak sebagai bukti sah. Kritik Roy terhadap UGM yang hanya menyediakan fotokopi hitam-putih dan bukan dokumen asli menunjukkan upaya untuk menggoyahkan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan yang telah memberikan legitimasi terhadap ijazah Jokowi. Ini membuka ruang bagi spekulasi lebih lanjut yang merugikan reputasi akademik salah satu universitas terkemuka di Indonesia.
Dalam konteks ini, Roy mungkin bertindak dengan niat untuk mencari kebenaran, namun tak bisa dipungkiri bahwa narasi yang dibangunnya memperburuk polarisasi sosial di Indonesia. Publik yang sudah terbelah dalam politik nasional semakin terbawa dalam perdebatan ini, terutama di era media sosial yang mempercepat penyebaran informasi dan spekulasi. Dengan menggunakan platform seperti X (Twitter), Roy turut memperpanjang dan memperburuk dampak politik dari tuduhan ini, memperuncing perpecahan di kalangan masyarakat yang sudah terpolarisasi.
Tuduhan yang disampaikan oleh Roy dan rekan-rekannya, seperti Tifauzia Tyassuma dan Rismon Sianipar, berpotensi membawa konsekuensi hukum yang sangat serius. Jika terbukti ijazah Jokowi palsu, maka ia bisa menghadapi sanksi pidana berdasarkan Pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman penjara hingga enam tahun. Namun, jika terbukti sah dan ijazahnya asli, Jokowi dapat menggugat pencemaran nama baik dan mengajukan tuntutan sesuai dengan Pasal 310-311 KUHP.
Akhirnya, klaim Roy Suryo bahwa tuduhan ini hanya soal kejujuran dan bukan politik, sejauh ini tampaknya lebih sebagai fatamorgana. Ketika dampak dari isu ini sudah merembet ke ranah politik, dengan potensi menggoyang stabilitas politik keluarga Jokowi, maka klaim kejujuran tersebut terlihat semakin kabur. Tentu saja, proses hukum akan memberikan kepastian, namun polarisasi yang muncul akibat skandal ini akan terus hidup di ruang publik, memperpanjang dan memperburuk dampaknya. Terutama dampak domino dari badai politik yang ditimbulkan, yang terus menggerus kepercayaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh politik yang terlibat.