Connect with us

Opini

Aturan Jam Malam: Solusi atau Masalah?

Published

on

Ketika Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan surat edaran tentang penerapan jam malam bagi pelajar, publik segera terbelah. Di satu sisi, ada yang mendukung dengan alasan perlindungan terhadap remaja dari bahaya pergaulan bebas dan aksi kriminalitas. Di sisi lain, tak sedikit yang mengecamnya, menyebutnya sebagai bentuk pembatasan kebebasan dan tidak menyentuh akar persoalan.

Saya termasuk yang mendukung kebijakan ini, meski tentu tidak menutup mata pada celah kelemahan dan tantangan implementasinya. Namun, saya juga percaya, membatalkan sebuah langkah awal hanya karena belum sempurna adalah sikap yang justru memperparah kebuntuan. Alih-alih mengkritik sambil berpangku tangan, kita seharusnya turut serta memperbaiki dan menguatkan kebijakan yang niat dasarnya baik: melindungi generasi muda dari jurang kenakalan yang semakin mengkhawatirkan.

Realitas yang Tak Bisa Diabaikan

Belakangan ini, media dipenuhi oleh berita mengenaskan soal kenakalan remaja yang tak lagi bisa dianggap sebagai kenakalan biasa. Tawuran yang melibatkan pelajar kini bukan hanya soal adu jotos, melainkan sudah menjurus ke kriminalitas berat. Mereka membawa senjata tajam, mengincar lawan, dan bahkan tak segan menghabisi nyawa. Beberapa waktu lalu, pelajar SD di Depok tercatat terlibat dalam aksi tawuran yang menghebohkan publik karena mereka menggunakan pedang dalam bentrokan yang seharusnya tidak terjadi di usia semuda itu.

Apakah kita masih bisa menganggap ini hal biasa? Apakah kita akan terus berdebat soal kebebasan tanpa memikirkan nyawa anak-anak yang bisa saja menjadi korban berikutnya?

Gubernur Dedi mungkin tidak punya semua jawaban. Namun yang pasti, ia tidak tinggal diam. Ia mengambil langkah konkret, meski bersifat sementara dan terbatas, untuk memutus mata rantai aktivitas remaja yang berpotensi menimbulkan kerawanan sosial pada malam hari. Dalam Surat Edaran Nomor 51/PA.03/Disdik, aturan tersebut diberlakukan dengan pengecualian untuk aktivitas yang positif dan terpantau, seperti kegiatan sekolah, keagamaan, atau jika anak sedang bersama orang tua. Artinya, aturan ini tidak membabi buta dan masih memberi ruang bagi aktivitas yang sehat.

Kritik Tanpa Alternatif Bukan Solusi

Sejumlah pihak yang menolak kebijakan ini seringkali hanya fokus pada sisi negatifnya. Mereka menyebut aturan ini otoriter, reaktif, bahkan tak punya dasar hukum kuat. Sebagian menganggapnya sebagai langkah populis yang tidak menyentuh akar masalah. Namun mari kita bertanya: apa alternatif nyata yang ditawarkan oleh para penolak kebijakan ini? Apa skema matang yang sudah mereka siapkan untuk mengatasi problem kenakalan remaja yang telah merenggut nyawa?

Kritik memang penting, tapi kritik yang membangun selalu datang bersama solusi. Sayangnya, banyak dari mereka yang menolak justru tidak menawarkan opsi konkret. Mereka hanya memprotes, menyalahkan, lalu pergi. Sementara anak-anak kita tetap berkeliaran di malam hari, sebagian berujung di rumah sakit atau kamar jenazah.

Saya tidak mengatakan bahwa jam malam adalah solusi utama atau satu-satunya. Tapi saya percaya ini adalah salah satu ikhtiar awal yang pantas dicoba. Lebih baik melakukan sesuatu daripada tidak sama sekali. Mereka yang menolak harus sadar bahwa penolakan tanpa tawaran jalan keluar sama artinya dengan membiarkan situasi tetap kacau.

Pemerintah Bergerak, Masyarakat Harus Terlibat

Kita tentu sadar bahwa menyelesaikan persoalan kenakalan remaja tidak bisa diserahkan kepada pemerintah semata. Perlu pendekatan yang lebih menyeluruh, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, tokoh masyarakat, hingga pemuka agama. Namun, ketika pemerintah sudah mengambil langkah awal, seharusnya masyarakat tidak hanya mengkritik, tetapi ikut serta memperkuat kebijakan tersebut.

Jam malam bagi pelajar sejatinya bukan bentuk represif, melainkan upaya pencegahan. Ini seperti menutup pagar rumah di malam hari, bukan karena kita tidak percaya anak-anak kita, tetapi karena dunia luar tidak selalu aman. Dan keamanan bukanlah soal membatasi, tetapi soal melindungi.

Tentu saja, pemerintah harus memastikan bahwa pelaksanaan aturan ini tidak menimbulkan kesewenang-wenangan aparat. Petugas di lapangan perlu diberi panduan yang jelas agar tidak salah sasaran atau bertindak semena-mena. Pendekatan yang humanis dan edukatif harus dikedepankan. Para pelajar yang terjaring razia sebaiknya diberi pembinaan, bukan sekadar ditakut-takuti atau dipermalukan.

Mendengar Suara Anak Muda

Kita juga tidak boleh menutup telinga terhadap keluhan dan aspirasi anak-anak muda. Beberapa pelajar merasa aturan ini terlalu membatasi aktivitas mereka yang positif, seperti olahraga malam atau diskusi komunitas. Kritik seperti ini justru menjadi bahan evaluasi yang penting. Pemerintah daerah harus mampu menyesuaikan aturan agar tetap fleksibel, misalnya dengan memperpanjang batas waktu hingga pukul 22.00 untuk aktivitas tertentu yang diawasi.

Tapi tetap, esensinya bukan soal pukul berapa seorang remaja boleh keluar malam, melainkan soal apa yang mereka lakukan di luar sana. Jika tidak ada pengawasan, tidak ada arahan, maka kebebasan itu bisa berubah menjadi bahaya.

Dari Reaksi ke Transformasi

Apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi bisa jadi hanya bersifat sementara, dan mungkin tak sempurna. Tapi yang tak boleh dilupakan, kebijakan ini muncul dari kekhawatiran yang nyata dan keresahan yang dirasakan banyak orang tua. Maka, daripada membatalkannya, lebih bijak jika kita menyempurnakan kebijakan tersebut.

Langkah awal ini perlu ditopang dengan program jangka panjang. Pendidikan karakter di sekolah, konseling keluarga, penguatan peran RT/RW, serta penyediaan ruang ekspresi bagi remaja perlu menjadi agenda lanjutan. Jangan biarkan pelajar hanya disuruh pulang malam, tapi tak punya ruang sehat untuk berkembang di siang hari.

Jam malam bisa jadi gerbang masuk untuk dialog yang lebih luas tentang bagaimana seharusnya kita mendampingi remaja tumbuh di tengah dunia yang makin kompleks. Ini bukan tentang kontrol semata, tetapi tentang kepedulian dan keberanian untuk bertindak.

Jangan Menunggu Sempurna untuk Bertindak

Kita bisa terus berdebat soal bentuk dan isi aturan. Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada krisis yang nyata: remaja kita semakin mudah terjerumus dalam kekerasan, bahkan kriminalitas. Jika kita terus menunggu aturan yang sempurna, maka yang kita dapati hanyalah penyesalan tanpa ujung.

Saya mengapresiasi langkah Gubernur Dedi Mulyadi yang berani mengambil keputusan di tengah kebingungan banyak pihak. Ia bergerak, saat banyak orang hanya berbicara. Kebijakan jam malam pelajar bukan akhir dari solusi, tapi awal dari sebuah ikhtiar bersama.

Kita harus berhenti berpikir dalam dikotomi hitam-putih: setuju atau tidak setuju. Yang kita butuhkan adalah keterlibatan semua pihak untuk memperbaiki kebijakan ini agar semakin tepat sasaran. Menolak hanya akan membawa kita kembali ke titik nol. Sementara itu, anak-anak kita terus berisiko.

Jika hari ini kita menolak langkah awal, maka jangan heran jika besok kita hanya bisa menghitung berapa lagi anak-anak yang pulang tinggal nama.

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *