Opini
AS Terisolasi: Aturan Imigrasi Ancam Dunia Akademik Global

Di tengah gemerlap konferensi ilmiah yang biasanya memenuhi kota-kota besar Amerika, kini terasa ada keheningan yang tak biasa. Seorang kandidat doktor penyandang disabilitas dari Australia, Gemma Lucy Smart, memilih untuk tidak melangkah ke Seattle, menolak undangan bergengsi demi keselamatan. Keputusannya mencerminkan gelombang keresahan global: akademisi ragu melintasi perbatasan AS, terbentur tembok aturan imigrasi yang kian ketat. Kebijakan ini, tanpa disadari, mungkin sedang menggiring AS menuju isolasi akademik yang merugikan dirinya sendiri.
Smart bukan satu-satunya yang khawatir. Laporan dari The Guardian (21 Maret 2025) menyebutkan bahwa akademisi Australia kini memikirkan ulang rencana perjalanan ke AS, takut akan penahanan atau penolakan visa. Konferensi besar seperti yang diselenggarakan Society for Social Studies of Science beralih ke format hibrida, respons langsung terhadap “perubahan tak terduga” di perbatasan AS. Penyelenggara khawatir, terutama bagi peneliti dari komunitas marginal seperti trans dan penyandang disabilitas, yang merasa paling rentan.
Keresahan ini bukan tanpa alasan. Insiden seorang ilmuwan Prancis yang ditolak masuk di Houston pada 9 Maret 2025 memperkuat ketakutan tersebut. Menurut Le Monde (10 Maret 2025), ponsel ilmuwan itu diperiksa, mengungkap pesan kritis terhadap kebijakan Trump, yang oleh otoritas AS dianggap bermasalah. Meski Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) berdalih penolakan karena pelanggaran kerahasiaan data, narasi ini gagal meredam persepsi bahwa ekspresi akademik kini berisiko di perbatasan.
Jerman pun turut bereaksi. Kementerian Luar Negeri Jerman memperbarui saran perjalanan pada Maret 2025, menegaskan bahwa visa atau ESTA tak menjamin masuk ke AS (Deutsche Welle, 15 Maret 2025). Beberapa warga Jerman, termasuk pemegang kartu hijau, dilaporkan ditahan di bandara seperti Boston. Meski bukan peringatan resmi, langkah ini mencerminkan kecemasan yang sama: aturan imigrasi AS kian tak terprediksi, mendorong akademisi untuk menghindari perjalanan kecuali mendesak.
Aturan ketat ini, yang mungkin dimaksudkan untuk keamanan nasional, justru menciptakan efek domino yang merugikan. Konferensi ilmiah, tulang punggung kolaborasi global, kehilangan pesona jika diadakan di AS. Penyelenggara kini memilih format hibrida atau bahkan memindahkan acara ke luar negeri. Kanada, misalnya, mulai menarik perhatian sebagai tuan rumah alternatif, dengan kota seperti Toronto yang memiliki infrastruktur akademik kuat dan kebijakan imigrasi lebih ramah (Times Higher Education, 25 Maret 2025).
Kerugiannya bukan sekadar logistik. Konferensi tatap muka memupuk jaringan profesional yang tak tergantikan. Diskusi spontan di sela-sela sesi atau kunjungan ke laboratorium sering kali memicu terobosan. Virtual meeting, meski praktis, tak mampu menandingi kedalaman interaksi langsung. Menurut studi dari Nature (2023), 68% peneliti menyatakan kolaborasi paling produktif terjadi secara langsung. Jika AS terus dianggap “berisiko,” peneliti akan beralih ke pusat lain, seperti Singapura atau Berlin.
Ekonomi AS juga terdampak. Konferensi internasional menyumbang miliaran dolar setiap tahun melalui pariwisata dan belanja terkait. Data dari U.S. Travel Association (2024) memperkirakan bahwa acara akademik menyumbang $5,2 miliar untuk ekonomi kota-kota seperti San Francisco dan Boston. Jika acara ini berkurang, kota-kota tersebut kehilangan pendapatan, sementara negara seperti Inggris atau Jepang berpotensi meraup keuntungan dengan menarik peneliti global.
Lebih jauh, isolasi akademik mengancam posisi AS sebagai pemimpin inovasi. Universitas seperti MIT atau Stanford bergantung pada talenta internasional. Namun, jika peneliti enggan datang karena takut deportasi, aliran ide baru bisa tersendat. Laporan National Science Foundation (2024) menunjukkan bahwa 35% peneliti di universitas top AS adalah warga asing. Ketakutan akan aturan imigrasi dapat mendorong mereka ke negara lain, mempercepat pergeseran pusat inovasi ke Eropa atau Asia.
Sejarah menawarkan pelajaran. Pada 1980-an, pembatasan perjalanan era Perang Dingin sempat menghambat kolaborasi ilmiah AS-Uni Soviet, membuat Eropa Barat naik sebagai pusat pertukaran akademik. Kini, skenario serupa mungkin terulang. Australia, misalnya, telah meningkatkan pendanaan untuk konferensi internasional sebesar 15% sejak 2023 (Australian Research Council, 2024), menunjukkan ambisi untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS.
Ironisnya, kebijakan yang bertujuan melindungi justru bisa melemahkan. Penolakan masuk, seperti dialami ilmuwan Prancis, atau pemeriksaan perangkat yang dirasakan invasif, menciptakan narasi bahwa AS tak lagi ramah terhadap kebebasan akademik. Media internasional, dari The Guardian hingga Le Figaro, memperkuat persepsi ini, membuat peneliti dua kali berpikir sebelum memesan tiket ke AS. Ketakutan ini bukan sekadar spekulasi, melainkan respons rasional terhadap insiden nyata.
Mengembalikan kepercayaan tak akan mudah. Sekali negara lain seperti Kanada atau Jerman mengukuhkan diri sebagai tuan rumah konferensi global, momentum sulit diputar balik. Peneliti akan terbiasa dengan lingkungan yang bebas dari ancaman penahanan. Studi dari Chronicle of Higher Education (2024) menunjukkan bahwa 62% akademisi global memprioritaskan “keamanan perjalanan” dalam memilih lokasi konferensi. AS, dengan aturannya sendiri, berisiko kehilangan daya tarik ini.
Namun, isolasi bukan akhir yang pasti. AS masih memiliki universitas terbaik dunia dan dana penelitian yang tak tertandingi—$700 miliar pada 2024, menurut National Institutes of Health. Dengan kebijakan yang lebih terbuka, seperti mempermudah visa akademik atau menjamin perlindungan ekspresi ilmiah, AS bisa membendung arus keluar ini. Tapi waktu terus berjalan. Setiap konferensi yang dibatalkan, setiap peneliti yang memilih Eropa, adalah langkah menuju isolasi yang lebih dalam.
Kisah Gemma Lucy Smart adalah cerminan kecil dari tantangan besar. Keputusannya untuk tetap di Sydney bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan tanda bahwa dunia akademik sedang menjauh. AS, dengan segala kejayaannya, kini berdiri di persimpangan: apakah akan terus membangun tembok yang memisahkan, atau membuka gerbang untuk ide-ide yang telah lama menjadikannya pemimpin dunia? Aturan yang seharusnya melindungi, jika tak hati-hati, bisa menjadi rantai yang mengikat masa depannya sendiri.
Sumber:
- The Guardian, 21 Maret 2025
- Le Monde, 10 Maret 2025
- Deutsche Welle, 15 Maret 2025
- Times Higher Education, 25 Maret 2025
- Nature, 2023
- S. Travel Association, 2024
- National Science Foundation, 2024
- Australian Research Council, 2024
- Chronicle of Higher Education, 2024
- National Institutes of Health, 2024