Opini
AS Serang Yaman, Laut Merah Jadi Neraka bagi Musuh!

Ansarullah Yaman sekali lagi membuktikan bahwa ancaman dan serangan AS hanyalah gertakan kosong yang tak akan menggoyahkan mereka. Senjata-senjata canggih Amerika, yang selama ini diagung-agungkan sebagai simbol kekuatan hegemonik, ternyata hanya berfungsi sebagai pajangan mahal ketika berhadapan dengan rudal-rudal sederhana milik pejuang Yaman. USS Harry S. Truman, kapal perang kebanggaan AS, terpaksa melarikan diri sejauh 1.300 kilometer ke utara Laut Merah setelah dihujani serangan. Begitu ketakutannya, kapal ini memilih untuk menjauh daripada mengambil risiko lebih besar. Jika ini bukan penghinaan terbesar bagi militer AS, lalu apa?
Washington sepertinya tak pernah belajar dari sejarah. Menggunakan kekuatan militer untuk menundukkan Yaman hanya akan menghasilkan satu hal: perlawanan yang lebih keras. Sejak konflik dengan Saudi dan UEA dimulai, Ansarullah telah membuktikan bahwa mereka tak bisa ditaklukkan bahkan ketika berhadapan dengan aliansi negara-negara kaya minyak yang didukung penuh oleh AS dan Inggris. Seperti hantu yang tak bisa dikalahkan, mereka terus bangkit, menyerang, dan mengendalikan situasi sesuai keinginan mereka.
Sayyid Abdul-Malik al-Houthi telah dengan tegas menyatakan bahwa jika AS terus menyerang Yaman demi kepentingan zionis, maka mereka akan menghadapi eskalasi yang lebih besar. Ini bukan sekadar ancaman kosong. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa setiap kali AS meningkatkan serangan, Ansarullah merespons dengan serangan yang lebih berani dan lebih menghancurkan. Mereka tidak hanya melumpuhkan kapal perang Amerika, tetapi juga berhasil menggagalkan rencana serangan udara AS terhadap Yaman dalam beberapa jam saja. Lalu, siapa sebenarnya yang berada di posisi bertahan sekarang?
Bab al-Mandab kini telah berubah menjadi neraka bagi kapal-kapal dagang dan militer yang berafiliasi dengan AS dan sekutunya. Jalur vital ini tak lagi bisa mereka lalui dengan aman. Ketika AS berpikir bahwa mereka bisa menguasai perairan global dengan armada lautnya, Yaman justru mengajarkan kepada dunia bahwa satu-satunya hal yang dibutuhkan untuk melawan kekuatan besar adalah keberanian, strategi cerdas, dan kemauan untuk bertempur tanpa kompromi. Strategi perang asimetris telah menjungkirbalikkan superioritas militer AS di Laut Merah.
Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa kekuatan imperialisme tak pernah abadi. Napoleon jatuh, Inggris kehilangan jajahannya, Uni Soviet runtuh, dan kini AS menghadapi era di mana kekuatan hegemoniknya mulai terkikis. Jika Washington berpikir bahwa mereka masih bisa mengendalikan dunia seperti di era Perang Dingin, mereka harus segera bangun dari mimpi itu. Yaman adalah simbol baru dari perlawanan global, bukan hanya melawan dominasi AS, tetapi juga melawan ketidakadilan yang telah lama menjadi bagian dari sistem internasional yang dikendalikan oleh Barat.
Ekonomi dunia kini mulai merasakan dampaknya. Ketika kapal-kapal dagang harus memutar lebih jauh untuk menghindari Laut Merah, biaya logistik meningkat, rantai pasokan terganggu, dan harga barang melambung. Semua ini adalah efek dari kebijakan AS yang sembrono. Mereka menyerang Yaman dengan harapan dapat menunjukkan kekuatan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka semakin melemah, semakin tidak relevan, dan semakin kehilangan kendali atas dunia. Ketika ekonomi mereka sendiri mulai terguncang akibat kebijakan yang mereka buat sendiri, siapa yang sebenarnya sedang menembak kakinya sendiri?
Di sisi lain, narasi perlawanan yang diusung Ansarullah semakin menggema di seluruh dunia. Palestina, yang selama ini diperlakukan sebagai korban tanpa daya oleh komunitas internasional, kini mendapatkan sekutu yang berani menghadapi AS dan zionis secara langsung. Yaman tidak hanya membela diri, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka siap mengambil langkah lebih jauh jika rakyat Palestina dibiarkan mati kelaparan akibat blokade. Apa yang dilakukan AS dan sekutunya hanyalah upaya sia-sia untuk mempertahankan dominasi yang semakin goyah.
Washington seolah buta terhadap kenyataan bahwa perlawanan ideologis tidak bisa dihancurkan dengan bom dan rudal. Sebaliknya, setiap serangan hanya akan memperkuat semangat mereka yang melawan. Dari Vietnam hingga Afghanistan, dari Irak hingga Yaman, AS selalu jatuh ke dalam lubang yang sama: berpikir bahwa kekuatan militer bisa menyelesaikan segalanya. Kenyataannya, dunia telah berubah. Negara-negara yang dulu mereka sebut sebagai “lemah” kini justru menjadi ancaman eksistensial bagi kepentingan geopolitik mereka. Dan Yaman, dengan segala keterbatasannya, telah membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar lawan yang tangguh.
Kini pertanyaannya bukan lagi apakah AS bisa memenangkan perang ini, tetapi seberapa banyak mereka akan kehilangan sebelum akhirnya menerima kekalahan. Setiap rudal yang ditembakkan ke Yaman akan dibalas dengan serangan yang lebih berani. Setiap serangan udara yang mereka lancarkan akan semakin memperburuk posisi mereka di mata dunia. Dan setiap kali mereka mencoba menundukkan perlawanan ini, mereka justru semakin mempercepat kemunduran mereka sendiri. Yaman telah menjadi kutukan bagi AS dan sekutunya, sebuah luka yang tak akan pernah bisa mereka sembuhkan.
Sementara itu, pemimpin-pemimpin Barat masih mencoba menjual narasi bahwa mereka adalah “pembela kebebasan” dan “penjaga stabilitas dunia.” Ironisnya, justru merekalah yang menciptakan kekacauan dengan kebijakan agresif dan intervensi militer mereka. Mereka membom Yaman dengan dalih “keamanan regional,” tetapi justru menambah bahan bakar ke dalam api yang semakin membesar. Mereka berbicara tentang “hak asasi manusia,” tetapi mendukung genosida terhadap rakyat Palestina. Dunia semakin menyadari kemunafikan ini, dan tak butuh waktu lama sebelum hegemoni AS runtuh sepenuhnya.
Yaman bukan hanya medan pertempuran fisik, tetapi juga simbol dari sebuah perubahan besar dalam tatanan dunia. Jika dulu AS bisa mengatur segalanya dengan tekanan ekonomi dan kekuatan militer, kini mereka menghadapi musuh yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diancam, dan tidak bisa dihancurkan dengan mudah. Setiap langkah yang mereka ambil di Laut Merah hanya membawa mereka semakin dekat kepada kehancuran mereka sendiri. Dan ketika semua ini berakhir, sejarah akan mencatat bahwa salah satu pukulan terbesar terhadap imperialisme modern datang dari sebuah negara yang selama ini mereka remehkan.