Connect with us

Opini

AS Sembunyikan Kekalahan di Yaman: Narasi yang Dipoles

Published

on

Di bawah langit Yaman yang berdebu, di mana asap serangan udara menyatu dengan jeritan rakyat sipil, Amerika Serikat menjalankan Operasi Rough Rider—sebuah nama yang terdengar gagah, namun menyisakan aroma kegagalan yang disembunyikan. The Intercept melaporkan pada 3 Mei 2025 bahwa Gedung Putih, CENTCOM, dan Pentagon menutup rapat informasi soal korban militer AS. Lebih dari 1.000 serangan udara telah dilancarkan, ratusan warga Yaman tewas, termasuk anak-anak dan migran, tapi jumlah prajurit AS yang gugur atau luka? Rahasia negara. Ada yang busuk di sini, dan bau itu tak bisa ditutupi dengan jargon “keamanan nasional”. Ketidaktransparanan ini bukan sekadar birokrasi malas, melainkan narasi kekalahan yang dipoles agar publik tak curiga.

Bayangkan: sebuah jet F/A-18 Super Hornet senilai $60 juta terjun dari dek USS Harry S. Truman, kapal induk yang berbelok mendadak menghindari misil Yaman. Satu pelaut terluka, dan Pentagon hanya mengedikkan bahu ketika ditanya. The Intercept mencatat, pertanyaan mereka dipingpong dari Pentagon ke CENTCOM, lalu ke Gedung Putih, yang memilih diam seribu bahasa. Ini bukan sekadar permainan birokrasi; ini adalah tarian penutupan informasi, koreografinya dirancang untuk menyembunyikan fakta bahwa AS mungkin tak sekuat yang diklaim di medan Yaman. Di Indonesia, kita paham betul soal “tutup-tutup informasi”—ingat betapa pemerintah kadang menyensor data demi “stabilitas”. Bedanya, di Yaman, taruhannya nyawa dan harga diri sebuah adidaya.

Operasi Rough Rider, yang dimulai Maret 2025, menargetkan Ansarullah, kelompok yang oleh Barat disebut “Houthi” tapi di Yaman dikenal sebagai kekuatan rakyat. Mereka menyerang kapal-kapal terkait Israel di Laut Merah sejak November 2023, protes atas genosida di Gaza. Respons AS? Bombardir tanpa henti, dengan biaya nyaris $1 miliar dalam tiga minggu, menurut CNN. Hasilnya? Angkatan bersenjata Yaman (YAF) masih berdiri tegak, malah makin populer. Ironis, bukan? AS, dengan segala Tomahawk dan JASSM-nya, tak mampu menundukkan kelompok yang bertempur dengan sandal dan semangat. Ini seperti kisah Daud melawan Goliat, tapi Goliat kali ini sibuk menyembunyikan luka-lukanya.

Ketidaktransparanan ini bukan tanpa preseden, tapi kontrasnya mencolok. Di era Biden, data korban dan serangan di Timur Tengah dirilis rutin, kata The Intercept. Kini, di bawah Trump, informasi macam itu lenyap bagai ditelan gurun. Mengapa? Mungkin karena fakta akan mempermalukan. Bayangkan headline: “AS Kehilangan Prajurit di Yaman, Tapi Ansarullah Masih Mengibarkan Bendera.” Publik AS, yang dijanjikan Trump akan “mengurangi perang sia-sia”, pasti akan marah. Di sini, kita bisa tersenyum miris—janji politik memang sering cuma angin lalu, seperti janji “reformasi” yang kerap kita dengar di negeri sendiri.

Laporan The Cradle menambahkan lapisan ironi. USS Harry S. Truman, yang seharusnya pulang ke Virginia, diperpanjang tugasnya untuk kedua kalinya pada 2 Mei 2025, atas perintah Menteri Pertahanan Pete Hegseth. Dua kapal induk AS kini berjaga di kawasan itu—langkah yang jarang terjadi, menandakan betapa seriusnya ancaman YAF. Tapi serius bukan berarti sukses. New York Times mengutip pakar militer James R. Holmes: “Kekuatan udara tak bisa menguasai wilayah.” Yaman bukan Irak atau Afghanistan; ini medan di mana semangat rakyat lebih kuat dari bom. AS seolah lupa pelajaran Vietnam—atau pura-pura lupa.

Lebih parah, serangan AS justru membunuh warga sipil. Pada 18 April, 80 orang tewas di pelabuhan Ras Isa. Pada 28 April, 68 migran Afrika dihancurkan di pusat penahanan Saada. Ini bukan “kerusakan kolateral”; ini tragedi yang mempermalukan klaim AS sebagai pembela kebebasan. Di Indonesia, kita tahu betul soal korban sipil—ingat konflik di Aceh atau Papua, di mana “operasi keamanan” sering meninggalkan duka. Tapi di Yaman, skala dan sikap acuh AS membuat darah mendidih. Dan ketika ditanya soal korban prajuritnya sendiri? Diam. Seolah nyawa Yaman tak berarti, dan nyawa prajurit AS terlalu berharga untuk diakui.

Ada sindiran halus di balik semua ini. Trump, yang pernah berkoar soal “America First” dan menarik pasukan dari konflik asing, kini terjebak dalam perang yang tak hanya mahal tapi juga memalukan. The Cradle mencatat, Michael Waltz, eks-penasihat keamanannya, dipecat karena terlalu agresif mendorong serangan ke Iran dan bersekongkol dengan Netanyahu. Ini menunjukkan kekacauan internal: Trump ingin tampak kuat, tapi tak mau terlihat kalah. Jadi, solusinya? Sembunyikan fakta. Publik AS dibiarkan dalam gelap, sementara rakyat Yaman membayar harga dengan darah.

Di Indonesia, kita bisa membayangkan betapa absurdnya situasi ini. Bayangkan pemerintah kita menyensor data korban militer di operasi luar negeri sambil membiarkan warga sipil asing mati. Media sosial pasti ramai, dari cuitan sarkastik sampai meme pedas. Tapi di AS, narasi dikontrol ketat. Erik Sperling dari Just Foreign Policy bilang, “Menutupi informasi membuat media sulit menyoroti pelanggaran janji Trump.” Ini manipulasi informasi kelas kakap, tapi dengan eksekusi yang agak… kikuk. Seperti pejabat yang ketahuan korupsi tapi bersikeras “semua baik-baik saja”.

Lalu, apa tujuan semua penutupan ini? Melindungi citra Trump, tentu. Tapi juga menutupi fakta bahwa AS, dengan segala kehebatan militernya, tak bisa menang melawan Ansarullah. YAF, yang awalnya hanya ingin menghentikan genosida di Gaza, kini jadi simbol perlawanan. New York Times bahkan bilang, serangan AS justru memperkuat posisi Ansarullah di Yaman dan dunia. Ini ironi terbesar: AS, yang ingin menghancurkan “musuh”, malah membuatnya lebih kuat. Seperti petani yang menyiram gulma dengan pupuk, lalu heran kenapa tanamannya tak tumbuh.

Kita, sebagai pengamat dari jauh, bisa tersenyum miris. Di Indonesia, kita tahu soal perjuangan melawan kekuatan besar—ingat perjuangan kemerdekaan kita. Ansarullah, dengan segala kekurangannya, punya semangat serupa. Tapi di balik senyum itu, ada kegelisahan. Ketidaktransparanan AS bukan cuma soal Yaman; ini soal bagaimana adidaya memainkan narasi untuk menutupi kelemahan. Ro Khanna dan Pramila Jayapal, yang menuntut keterbukaan, adalah suara langka di tengah kepalsuan. Mereka mengingatkan bahwa demokrasi butuh kejujuran, sesuatu yang kini langka di Washington.

Akhirnya, Operasi Rough Rider adalah cermin. Ia memperlihatkan adidaya yang gagap menghadapi realitas, memilih menyembunyikan kekalahan ketimbang mengakuinya. Di Yaman, rakyat terus menderita, sementara di AS, publik diberi dongeng bahwa semua terkendali. Kita bisa bertanya: sampai kapan narasi ini bertahan? Sampai kapan Gedung Putih bisa menyembunyikan bau busuk kegagalan? Mungkin, seperti di Indonesia, kebenaran akan bocor—lewat bisik-bisik, lewat media, lewat hati nurani yang tak bisa dibungkam. Dan ketika itu terjadi, dunia akan melihat: kekalahan bukan cuma soal medan perang, tapi juga soal keberanian menghadapi cermin.

 

Daftar Pustaka:

  1. The Cradle. (2025a, May 3). White House covering up US casualties in Yemen war: Report. https://thecradle.co/articles/white-house-covering-up-us-casualties-in-yemen-war-report
  2. The Cradle. (2025b, May 3). Pentagon orders USS Truman to remain in Red Sea amid ineffective Yemen bombing campaign. https://thecradle.co/articles/pentagon-orders-uss-truman-to-remain-in-red-sea-amid-ineffective-yemen-bombing-campaign
  3. The Intercept. (2025, May 3). U.S. military casualties in Yemen operation concealed by White House, Pentagon. https://theintercept.com/
  4. Cable News Network. (2025, April 19). Yemen’s Houthis vow to continue attacks after more than 70 killed in US airstrikes on port. https://www.cnn.com/2025/04/19/middleeast/yemen-houthis-us-airstrikes-ras-isa-intl[](https://www.cnn.com/2025/04/18/middleeast/dozens-killed-us-airstrikes-yemen-intl-hnk/index.html)
  5. Schleifer, T., & Stewart, P. (2025, March 16). Trump launches large-scale strikes on Yemen’s Houthis, at least 31 killed. Reuters. https://www.reuters.com/world/middle-east/trump-launches-large-scale-strikes-yemens-houthis-least-31-killed-2025-03-16/[](https://www.reuters.com/world/middle-east/trump-launches-strikes-against-yemens-houthis-warns-iran-2025-03-15/)
  6. Schmitt, E., & Almosawa, S. (2025, March 27). Houthis in Yemen won’t be defeated by airstrikes alone, experts say. The New York Times. https://www.nytimes.com/2025/03/27/world/middleeast/houthis-yemen-us-airstrikes.html[](https://www.nytimes.com/2025/03/27/world/middleeast/houthis-yemen-us-strikes-reality.html)
  7. Schmitt, E., & Almosawa, S. (2025, April 28). U.S. military says its air campaign has hit more than 800 targets in Yemen. The New York Times. https://www.nytimes.com/2025/04/28/world/middleeast/us-airstrikes-yemen-houthi-targets.html[](https://www.nytimes.com/2025/04/27/us/politics/military-targets-houthis-yemen.html)
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *