Connect with us

Opini

AS: Sekutu Beracun bagi UE dalam Pusaran Toxic Global

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk diplomasi global, sebuah pernyataan pedas dari Scott Bessent, Menteri Keuangan AS, menggoyahkan fondasi hubungan transatlantik. Dengan nada tegas, ia memperingatkan Uni Eropa bahwa mendekat ke China sama dengan “memotong tenggorokan sendiri.” Ucapan ini, menyusul usulan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez untuk kerja sama lebih erat dengan Beijing, terasa seperti cambuk. Aliansi yang seharusnya harmonis kini terasa keruh, mirip lagu Toxic dari BoyWithUke—memikat namun merusak. Hubungan AS dan UE, yang terjalin erat selama puluhan tahun, kini diwarnai tekanan, menimbulkan pertanyaan: apakah AS telah menjadi racun bagi sekutunya sendiri?

Pernyataan Bessent bukan sekadar kata-kata kosong. Ini mencerminkan kebijakan perdagangan AS yang kian proteksionis, dengan tarif baru mencapai 125% untuk China dan jeda 90 hari untuk 75 negara lain pada tarif 10%. UE, mitra dagang utama AS dengan perdagangan barang senilai €1,1 triliun pada 2023, terjebak dalam dilema. Sanchez menegaskan perang dagang merugikan semua pihak, didukung fakta: tarif AS-China pada 2018-2019 menekan perdagangan bilateral hingga 15% dan menaikkan harga konsumen. Namun, AS tampak tak peduli, mendesak UE menyesuaikan diri dengan agenda mereka, seolah kemitraan ini lebih tentang kepatuhan daripada kerja sama.

Nada keras Bessent terasa seperti benturan dalam hubungan yang seharusnya setara. UE, blok ekonomi dengan PDB €18,4 triliun, bukan entitas kecil. Namun, AS sering memandang sekutunya sebagai pelengkap strategi mereka. Ketika Sanchez menyinggung peluang dengan China—mitra dagang terbesar kedua UE dengan perdagangan €739 miliar pada 2023—AS langsung bereaksi, seolah Eropa tak boleh menentukan jalannya sendiri. Data menunjukkan ketergantungan UE pada China: 20% impor mereka, dari elektronik hingga farmasi, berasal dari sana. Mengabaikan hubungan ini, seperti yang diinginkan AS, bisa mengacaukan rantai pasok Eropa, yang masih rapuh pasca-krisis global.

Kemitraan sejati bertumpu pada kepercayaan, tapi AS tampak meragukan kemampuan UE untuk menyeimbangkan kepentingannya. Bessent menyebut China sebagai pengganggu perdagangan global, menuding subsidi mereka—diperkirakan OECD sebesar $650 miliar per tahun—merusak pasar. Namun, AS juga punya andil: tarif mereka pada 2019 menaikkan harga barang impor hingga 10%, membebani konsumen dan sekutu. Dengan mendesak UE memusuhi China, AS mengesampingkan kebutuhan Eropa akan hubungan pragmatis dengan Beijing untuk pertumbuhan ekonomi, yang hanya 0,8% pada 2024 menurut IMF. Ini seperti meminta sekutu mengorbankan kepentingan demi prioritas sepihak.

Ketegangan ini bukan hal asing, tapi kini terasa lebih menyengat. Perselisihan soal Irak pada 2003 sempat mengguncang hubungan, namun nilai bersama memulihkannya. Kini, pendekatan AS yang transaksional, dengan doktrin “America First,” menciptakan jarak. Bessent menyebut negosiasi dengan Jepang dan Vietnam sebagai bukti keberhasilan, tapi UE bukan mitra yang bisa dibujuk begitu saja. Dengan ekspor ke AS senilai €520 miliar pada 2023, mereka punya pengaruh besar. Namun, tekanan AS membuat Eropa merasa terkekang, seperti dalam aliansi yang menawarkan stabilitas tapi menuntut pengorbanan otonomi.

Racikan ketidaknyamanan ini makin terasa saat AS mengabaikan aspirasi UE untuk mandiri. Eropa telah menggelontorkan €8 miliar untuk dana pertahanan guna mengurangi ketergantungan pada NATO, yang didominasi AS. Namun, langkah UE menjajaki perdagangan dengan China disambut dengan cercaan. Bessent mengecam model bisnis China, tapi data Eurostat menunjukkan ekspor China hanya 9% dari impor Eropa, jauh di bawah AS. Dengan memaksakan narasi bahwa China adalah ancaman utama, AS mendorong UE ke posisi sulit, seperti sekutu yang didesak menyesuaikan diri tanpa ruang untuk berpendapat.

Dampaknya nyata: kepercayaan merosot. Studi Pew Research mencatat hanya 39% warga Eropa yang yakin pada kepemimpinan AS, turun drastis dari dekade lalu. Ketika AS mendesak UE membentuk front melawan China, mereka mengabaikan kepentingan Eropa—like ekspor mobil Jerman ke China senilai €96 miliar per tahun. Desakan ini menciptakan hubungan tak seimbang, di mana UE merasa seperti menari mengikuti irama AS, meski nadanya tak selaras dengan kebutuhan mereka. Ini bukan kolaborasi, melainkan tekanan yang menyamar sebagai aliansi.

Tekanan AS juga memicu ketegangan di dalam UE. Negara-negara seperti Polandia, yang bergantung pada AS untuk keamanan melawan Rusia, cenderung akomodatif. Sebaliknya, Prancis dan Spanyol mendorong otonomi, dengan ekspor ke China masing-masing €30 miliar dan €10 miliar pada 2023. Perpecahan ini melemahkan kohesi UE, seperti aliansi yang retak karena salah satu pihak memaksakan kehendak. Jika terus berlanjut, ini bisa merusak kemampuan Eropa untuk bersikap tegas di panggung global, membuat mereka rentan di antara raksasa seperti AS dan China.

Lalu, apakah ada harapan untuk hubungan yang lebih sehat? Kemitraan sejati membutuhkan kompromi. AS bisa mengurangi retorika keras dan menawarkan insentif, seperti keringanan tarif untuk sekutu yang mendukung agenda bersama. UE, dengan kekuatan ekonominya, bisa menegosiasikan kesepakatan yang menghormati kedaulatan mereka, misalnya melalui pakta perdagangan baru. Namun, jika AS tetap memaksa—menuntut UE mengabaikan China, yang menyumbang 15% impor teknologi Eropa—kepercayaan bisa hancur. Data Eurostat menegaskan ketergantungan ini krusial untuk industri seperti 5G dan AI.

China, meski tampak sebagai alternatif, tak menawarkan solusi bebas masalah. Sanksi Beijing terhadap anggota parlemen UE pada 2021 atas isu hak asasi menunjukkan hubungan mereka juga bisa bermasalah, hanya dengan dinamika berbeda. Investasi China di Eropa turun 22% pada 2022 karena kekhawatiran ketergantungan, menandakan kewaspadaan UE. Namun, tekanan AS mendorong Eropa mempertimbangkan opsi ini, seperti sekutu yang mencari jalan keluar dari aliansi yang menyesakkan, meski tahu langkah baru punya risiko sendiri.

Hubungan AS-UE, seperti lagu Toxic, memikat dengan janji kebersamaan namun penuh jerat. Eropa terikat oleh ekonomi—ekspor ke AS mencapai 18% perdagangan mereka—dan keamanan melalui NATO. Tapi ikatan ini tak boleh jadi alasan untuk menerima tekanan. Akankah AS dan UE mampu mengubah relasi mereka dari paksaan menjadi kolaborasi sejati? Jawabannya bergantung pada kemauan untuk saling mendengar, bukan sekadar memerintah. Tanpa perubahan, racun ini bisa merenggut harmoni aliansi, meninggalkan Eropa mencari nada baru di tengah badai global.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *