Connect with us

Opini

AS: Sang Maha Raja di Atas Hukum

Published

on

Karim Khan kini merasakan bagaimana rasanya menjadi musuh nomor satu sang Maha Raja Dunia. Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ini mendapat kehormatan langka: sanksi dari Amerika Serikat, negeri yang menentukan siapa yang boleh dihukum dan siapa yang kebal dari hukum. Presiden AS Donald Trump, dalam kebijakan khasnya yang angkuh, memutuskan bahwa keadilan tak boleh menyentuh kaki Zionis.

Bagaimana tidak? ICC, pengadilan yang katanya “internasional,” berani-beraninya mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant. Wah, ini jelas kriminalitas tingkat tinggi! Berani mengusik sahabat tercinta Washington, lembaga ini pantas mendapat hukuman. Kini, Khan dan keluarganya tak bisa mengunjungi Disneyland, asetnya bisa dibekukan, dan nama baiknya bisa dicemarkan.

Ini bukan pertama kalinya AS bertindak seperti tuan tanah yang marah karena budaknya memberontak. Mereka telah lama menginjak-injak hukum internasional dengan sepatu bot perang dan tumpukan dolar. Hukum dibuat hanya untuk mereka yang lemah. Jika hukum berani menantang mereka, maka hukum itu sendiri yang akan dikriminalisasi. Brilian, bukan?

Netanyahu pun tertawa puas. Ia menyebut ICC sebagai “skandal.” Tentu saja, karena pengadilan ini tiba-tiba lupa aturan main: Zionis tak boleh disentuh! Siapa ICC hingga berani menyentuh negeri yang punya hak ilahi untuk membunuh, membombardir, dan melaparkan rakyat Palestina? Bukankah itu bagian dari agenda pertahanan “demokrasi” ala mereka?

AS dan Israel adalah mitra dalam kejahatan, dan mereka tak butuh hakim, jaksa, atau pengadilan yang bisa mengusik kenyamanan mereka. Hukum itu hanya ada untuk negara dunia ketiga, untuk pemimpin Afrika, untuk musuh-musuh Barat. Tak heran, hampir semua yang pernah dihukum ICC berasal dari negara yang tak punya jet tempur atau veto di PBB.

Kini, dunia kembali diberi pelajaran penting: Keadilan itu fleksibel. Jika AS setuju, maka hukum bisa berlaku. Jika AS tak setuju, maka hukum adalah ancaman. Apa yang akan terjadi jika ICC tetap bersikeras? Sanksi lebih keras, ancaman lebih brutal, atau mungkin pasukan “pembawa demokrasi” siap dikerahkan untuk mengajari mereka bagaimana dunia seharusnya bekerja.

Para pemimpin dunia yang waras tentu tahu bahwa ini bukan sekadar intervensi politik, melainkan arogansi tingkat dewa. AS bertindak layaknya dewa penentu takdir, dan dunia harus tunduk. Siapa pun yang berani membangkang, bersiaplah: sanksi, propaganda, atau mungkin serangan drone akan mengetuk pintu rumah Anda.

Tentu, ada yang akan berkata bahwa ini hanyalah “upaya AS membela demokrasi.” Kata-kata indah untuk menyamarkan kejahatan. Nyatanya, ini adalah ancaman bagi tatanan hukum internasional. Jika ICC bisa diserang karena menjalankan tugasnya, maka siapa lagi yang bisa menegakkan keadilan di dunia ini? PBB? Jangan bercanda.

Ironisnya, dunia hanya bisa mengecam. “Kami prihatin,” kata negara-negara Eropa yang diam-diam masih berharap bisa menjaga hubungan baik dengan Washington. “Ini berbahaya bagi hukum internasional,” kata mereka, sembari tetap menandatangani kontrak dagang dan pembelian senjata dengan AS. Pada akhirnya, uang tetap berbicara lebih keras daripada prinsip.

Maka, mari kita semua akui saja kenyataan ini: AS adalah hukum. ICC hanya boleh mengadili mereka yang tidak masuk dalam daftar sekutu Washington. Jika ICC ingin tetap eksis, mungkin mereka harus mengganti nama menjadi “Pengadilan Kriminal Dunia Ketiga” agar tak lagi membuat AS marah.

Untuk Khan dan rekan-rekannya di ICC, selamat datang di dunia nyata! Hukum internasional adalah mitos jika bertabrakan dengan kepentingan imperium. Jika Anda benar-benar ingin menegakkan keadilan, bersiaplah menghadapi hukuman dari mereka yang tak ingin melihat keadilan itu tegak. Dunia ini milik mereka, bukan milik hukum.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *