Connect with us

Opini

AS Plinplan: Dari Anti-Teroris ke Berunding dengan Teroris

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Dulu, Amerika Serikat dengan bangga mengusung slogan: “Kami tidak akan bernegosiasi dengan kelompok teroris.” Itu adalah janji suci yang dipertahankan selama bertahun-tahun, sebagai pedoman moral dan kebijakan luar negeri yang tak tergoyahkan. Sebuah prinsip yang seolah menjadi landasan kesucian demokrasi dan moralitas internasional. Namun, seperti halnya tradisi mengubah warna kebijakan luar negeri sesuai dengan cuaca politik, kini kita melihat AS membalikkan badan, mengesampingkan segala prinsip itu, dan bergegas duduk bersama salah satu kelompok teroris paling terkenal di dunia: Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah.

Baru-baru ini, dilaporkan Middle East Eye, sekelompok diplomat top AS – termasuk Barbara Leaf, Roger Carstens, dan Daniel Rubinstein – bertemu dengan pemimpin HTS, Ahmed al-Sharaa (atau lebih dikenal dengan Abu Mohammed al-Jolani), dalam sebuah pertemuan yang sangat produktif, katanya. Mereka bahkan sampai berbicara soal masa depan politik Suriah pasca-Bashar al-Assad, seolah-olah HTS adalah aktor politik yang sah dalam peta kekuasaan negara tersebut. Jangan salah, mereka juga menegaskan bahwa AS tidak lagi mengincar hadiah $10 juta yang dulu dijanjikan untuk kepala al-Jolani. Itu semua karena al-Jolani kini dianggap “pragmatis.” Wah, betapa luar biasa pragmatisnya!

Pernahkah kita membayangkan bahwa prinsip utama kebijakan luar negeri AS yang selama ini dijunjung tinggi bisa langsung lenyap begitu saja? Kalau dulu AS dengan lantang mengatakan bahwa “teroris” tak layak duduk di meja perundingan, kini mereka malah menawarkan kursi di meja yang sama kepada kelompok yang sebelumnya mereka tuduh sebagai ancaman utama terhadap perdamaian global. Tampaknya, semua itu bisa digantikan dengan kata kunci baru: “kebutuhan geopolitik.”

Kita bisa bayangkan betapa bingungnya diplomat dan pakar keamanan AS yang dulu memperjuangkan ketegasan terhadap kelompok-kelompok teroris ini. Mereka yang dulu menulis buku panduan tentang bagaimana menghadapi ancaman terorisme mungkin sekarang bertanya-tanya apakah mereka perlu menulis bab baru berjudul “Bernegosiasi dengan Teroris: Panduan Praktis untuk Keamanan Nasional.”

Inilah masalah utama yang muncul dari kebijakan ini: AS telah memperdagangkan prinsip moralnya demi keuntungan geopolitik sementara. Kebijakan luar negeri, yang seharusnya didasarkan pada nilai-nilai universal seperti keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian, kini telah berubah menjadi permainan kalkulasi politik. Setelah bertahun-tahun menekan negara-negara dan kelompok yang mereka anggap sebagai teroris, tiba-tiba saja mereka memilih untuk mengabaikan label tersebut jika itu menguntungkan mereka. Apakah itu pragmatis? Mungkin, jika kita hanya berbicara tentang keuntungan jangka pendek. Namun, jika kita berbicara tentang konsistensi dan integritas, maka jawabannya jelas tidak.

Yang lebih ironis lagi adalah kenyataan bahwa kebijakan ini dapat merusak kredibilitas AS di panggung internasional. Bagaimana mungkin negara yang begitu gigih melawan kelompok-kelompok teroris sekarang membuka pintu negosiasi dengan mereka? Bukankah ini seperti memberikan gelar “pahlawan” kepada seseorang yang sebelumnya disebut sebagai “musuh bersama”? Lantas, bagaimana dengan negara-negara yang sudah lama setia kepada AS dan mengikuti kebijakan anti-terorisme dengan sepenuh hati? Apakah mereka sekarang harus berpikir ulang tentang apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh AS?

Di luar itu, kebijakan ini juga membuka pintu bagi kelahiran “standard ganda” dalam hubungan internasional. Kelompok teroris yang kuat dan memiliki pengaruh, seperti HTS, bisa dengan mudah menerima “maaf” atau bahkan pengakuan dari AS, sementara yang lain yang lebih kecil atau kurang berpengaruh tetap berada di luar radar, terpinggirkan dan terisolasi. Kebijakan ini memperjelas satu hal: tidak ada yang lebih penting bagi AS daripada kepentingan geopolitiknya sendiri.

Sekali lagi, kita menyaksikan bagaimana prinsip-prinsip yang dulu dipertahankan dengan gagah berani kini berubah menjadi sesuatu yang fleksibel, bisa disesuaikan dengan situasi. Mungkin di masa depan, kita akan melihat lebih banyak pertemuan dengan kelompok teroris lainnya, dengan alasan yang lebih “pragmatis.” Dan jika ada yang bertanya, “Bagaimana dengan moralitas?” jawabannya mungkin akan lebih sederhana: “Moralitas itu relatif, tergantung pada siapa yang kita ajak bernegosiasi.”

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *