Connect with us

Opini

AS, Penjahat Perang: Bantai Anak-anak Tanpa Hukuman

Published

on

Delapan anak mati. Beberapa lainnya terluka, dan ribuan orang kehilangan rumah mereka. Itu hanya angka kecil dalam catatan panjang pembantaian yang dilakukan oleh mesin perang paling canggih di dunia: Amerika Serikat. Tapi siapa yang peduli? Dunia akan menguap dalam keheningan, sementara media besar sibuk menyajikan drama selebritas atau propaganda lain yang lebih layak dikonsumsi masyarakat global ketimbang nyawa bocah-bocah yang tak berdosa.

Peter Hawkins dari UNICEF berdiri di depan dunia, menyampaikan laporan dengan wajah pucat. Ia berbicara tentang penderitaan, tentang orang-orang yang mengemis di jalanan Hodeidah, tentang tubuh kecil yang remuk akibat bom-bom Amerika. Tapi apakah pidato itu akan mengubah sesuatu? Tentu tidak. AS akan tetap beralasan bahwa itu adalah ‘kesalahan teknis’ atau ‘efek samping tak terhindarkan dari perang’. Seperti biasa, nyawa di dunia Timur hanyalah catatan kaki dalam sejarah kekejaman Barat.

Perhatikan betul, ini bukan pertama kalinya, dan tentu saja bukan yang terakhir. Di setiap konflik yang mereka ciptakan, Amerika selalu menyisakan jejak darah. Dari Afghanistan hingga Irak, dari Suriah hingga Libya, dan kini Yaman. Dalihnya selalu sama: melawan terorisme, menyebarkan demokrasi, atau melindungi kepentingan nasional. Nyatanya, mereka bukan sedang memerangi teroris, tetapi sedang memusnahkan seluruh generasi yang mereka anggap tak pantas untuk hidup.

Mereka memiliki drone paling canggih, satelit paling tajam, dan sistem intelijen yang bisa mendeteksi ancaman dari ribuan kilometer jauhnya. Tapi entah mengapa, setiap kali bom mereka jatuh, korban utamanya justru anak-anak dan perempuan. Betapa ironis. Sebuah kesalahan? Atau memang niat busuk yang mereka bungkus dengan narasi perang melawan kejahatan? Tidak ada yang mau menjawab pertanyaan itu. Karena jawabannya sudah jelas: pembunuhan massal ini adalah strategi.

Strategi untuk menciptakan kehancuran, ketakutan, dan kepatuhan. Sebab bagaimana mungkin sebuah bangsa yang kelaparan, kelelahan, dan dihancurkan bertahun-tahun bisa melawan hegemoni mereka? Bagaimana mungkin seorang ibu yang kehilangan tiga anaknya dalam satu malam masih punya tenaga untuk mengangkat kepalan menentang kebiadaban ini? Amerika tidak pernah berperang untuk menang secara militer, mereka berperang untuk membunuh harapan, merobek masa depan, dan memaksa setiap orang tunduk pada kepentingan mereka.

Dunia, tentu saja, akan tetap bungkam. Para pemimpin global hanya akan mengeluarkan pernyataan kosong berisi ‘keprihatinan mendalam’ yang tak lebih dari sekadar ocehan. Dewan Keamanan PBB? Lelucon terbesar abad ini. Mereka tidak akan pernah mengadili AS, karena yang duduk di sana adalah anjing-anjing mereka sendiri. Apa yang mereka sebut sebagai hukum internasional hanyalah omong kosong yang hanya berlaku untuk negara lemah. Amerika adalah raja, kebal dari hukum, dan tak akan pernah diadili atas kejahatan yang mereka lakukan.

Dan lihatlah, dunia Islam pun diam seribu bahasa. Para penguasa Arab yang sibuk mencium tangan Washington tak akan pernah berani menuduh AS sebagai penjahat perang. Sebab mereka sendiri menikmati aliran dolar dan perlindungan dari sang majikan. Mereka akan membungkam rakyatnya yang berani bersuara, menutup media yang berani memberitakan kebenaran, dan justru sibuk menormalisasi hubungan dengan musuh-musuh umat Islam. Dengan kata lain, mereka tidak lebih dari pengkhianat yang dengan senang hati menjual harga diri mereka demi bertahan di singgasana.

Sementara itu, rakyat biasa yang peduli hanya bisa marah di media sosial, menuliskan kecaman, atau mungkin turun ke jalan dalam demonstrasi kecil yang tak akan mengguncang apa pun. Mungkin ada beberapa suara dari organisasi kemanusiaan, beberapa laporan yang menggambarkan betapa mengerikannya situasi di Yaman, tetapi semua itu hanya akan berakhir sebagai arsip. Dunia sudah mati rasa terhadap pembantaian yang dilakukan AS. Darah orang Timur Tengah bukanlah berita menarik. Itu hanya angka di layar statistik.

Bagian yang paling menjijikkan dari semua ini adalah betapa AS tak pernah peduli untuk menyembunyikan kejahatannya. Mereka membunuh di siang bolong, di depan kamera, dengan laporan dari badan dunia seperti UNICEF sekalipun, dan mereka tetap bisa lolos. Mereka bisa menyerang sekolah, rumah sakit, kamp pengungsi, dan tetap berdalih bahwa itu adalah bagian dari strategi militer. Bahkan ketika mereka mengakui telah membunuh anak-anak, tidak ada satu pun konsekuensi yang mereka terima. Dunia hanya akan menghela napas, lalu kembali ke rutinitasnya.

Dan kita masih bertanya, mengapa kebencian terhadap AS begitu besar di berbagai penjuru dunia? Mengapa ada orang yang bersedia mengangkat senjata dan mempertaruhkan nyawa untuk melawan mereka? Ini bukan lagi soal ideologi, ini bukan sekadar politik. Ini adalah balas dendam yang lahir dari penderitaan, dari darah yang tertumpah, dari anak-anak yang dibunuh tanpa alasan. Ketika sebuah negara menjadikan pembantaian sebagai kebijakan luar negeri, mereka tidak bisa berharap dicintai atau dihormati.

Apa yang harus dilakukan dunia? Pertama, berhenti melihat AS sebagai negara adidaya yang tak tersentuh. Mereka bukan pahlawan, mereka adalah penjahat perang. Dunia harus mulai menyebut mereka demikian, harus mulai memperlakukan mereka seperti kriminal yang mereka memang pantas disebut demikian. Setiap langkah AS di Timur Tengah adalah invasi, setiap kebijakan luar negeri mereka adalah penjajahan, dan setiap bom yang mereka jatuhkan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kedua, tekanan diplomatik dan hukum harus mulai dilakukan, meski sulit. Jika PBB tak bisa diandalkan, maka harus ada blok negara yang berani menuntut AS di berbagai forum internasional. Setiap negara yang menjadi korban agresi AS harus bersatu, bukan hanya dalam retorika, tetapi dalam aksi nyata untuk menolak dominasi militer mereka. Jika mereka bisa menyatukan kekuatan, maka AS akan kehilangan pijakan yang selama ini membuat mereka besar.

Ketiga, kesadaran publik global harus dibangun. Media independen harus mengangkat fakta-fakta ini ke permukaan, jangan biarkan propaganda Barat mendominasi narasi. Jika dunia terus membiarkan AS mengendalikan opini global, maka pembantaian seperti ini akan terus terjadi. Setiap manusia yang memiliki hati nurani harus bersuara, bukan hanya di media sosial, tetapi dalam setiap aspek kehidupan politik dan sosial.

Tapi pertanyaannya, apakah dunia cukup berani untuk melawan? Atau kita akan terus menjadi saksi bisu dari setiap pembantaian yang mereka lakukan? Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih untuk melawan, atau sekadar menjadi generasi yang diam melihat kejahatan merajalela.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *