Opini
AS Pasok Senjata, Israel Lanjutkan Kejahatan di Gaza

Langit Gaza belum selesai berwarna merah. Asap belum sempat menyingkir dari puing-puing rumah sakit, ketika dunia justru menyaksikan perayaan lain di belahan bumi berbeda: pengesahan penjualan bom pintar senilai 510 juta dolar AS kepada negara yang sedang asyik-asyiknya membakar wilayah padat penduduk. Pentagon, dalam bahasa yang halus dan rapi, menyebutnya “peningkatan kemampuan pertahanan Israel menghadapi ancaman saat ini dan di masa depan.” Padahal yang lebih nyata adalah peningkatan jumlah jasad anak-anak Palestina yang terkubur tanpa nama, tanpa berita, dan seringkali tanpa tubuh yang utuh.
Tak sampai dua minggu sejak Israel meluncurkan serangan ke Iran—menargetkan ilmuwan, fasilitas nuklir, dan infrastruktur sipil—AS melangkah lebih jauh. Bukan menengahi, bukan menahan, tapi justru membuka gudang senjatanya untuk memastikan para sekutu Zionis tak pernah kehabisan peluru pintar untuk menghancurkan sekolah, rumah ibadah, tenda pengungsi, dan rumah sakit. Mereka menyebutnya diplomasi pertahanan. Kita menyebutnya: sponsor resmi genosida.
Jumlahnya bukan main: 56.531 jiwa telah hilang di Gaza sejak Oktober 2023. Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Seandainya semua korban itu dikumpulkan dalam satu stadion, maka akan terisi penuh—dengan isak tangis dan sisa-sisa pakaian yang tak pernah dijemput pemiliknya. Tapi ini bukan soal angka. Ini soal diam yang membunuh, soal wacana yang dimanipulasi, soal dunia yang sibuk memilih kata “konflik” agar tak perlu mengucap “penjajahan” atau “pemusnahan”.
Yang menarik—dan sekaligus menjengkelkan—adalah ketika tokoh seperti Donald Trump muncul dengan seruan “gencatan senjata segera” untuk Gaza. Sekilas tampak heroik. Tapi mari kita mundur sebentar. Lelaki yang sama ini adalah orang yang mencabut AS dari kesepakatan nuklir Iran, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan menutup kantor perwakilan Palestina di Washington. Kini dia bicara damai? Entahlah. Barangkali ini episode lain dari serial politik Amerika: “Siapa yang Mau Terlihat Manusiawi Hari Ini?”
Gencatan senjata seringkali hanya jeda untuk mengisi ulang senjata. Di Gaza, setiap gencatan senjata pendek biasanya diikuti oleh serangan yang lebih brutal. Seperti jeda iklan dalam acara horor. Kita tahu horor akan lanjut, bahkan dengan suara ledakan lebih besar. Dan ketika suara-suara seperti Trump berseru damai, kita patut curiga: damai untuk siapa? Damai dalam bentuk apa? Apakah damai yang berarti warga Gaza boleh hidup dua hari lebih lama sebelum dibom lagi?
Kehidupan di Jalur Gaza kini telah direduksi menjadi statistik kematian harian. Hari Senin saja, 28 orang tewas, termasuk tiga yang jasadnya baru berhasil ditarik dari reruntuhan. 223 lainnya luka-luka. Dalam satu jam, 40 nyawa melayang. Dan dalam satu sore, 15 orang dibantai saat menunggu bantuan kemanusiaan. Mereka tidak sedang menyerbu pos militer, tidak membawa roket. Mereka hanya membawa tubuh lapar dan harapan kecil akan sebutir roti atau sebotol air bersih.
Lucunya, dunia tetap menyebut ini sebagai “pertempuran.” Padahal yang satu bersenjata nuklir, drone tempur, dan dukungan satelit. Yang lain bersenjatakan senter kecil di lorong rumah sakit dan jaringan listrik seadanya. Israel menyebutnya “operasi anti-teror.” Kita menyebutnya: bagaimana cara membunuh lebih banyak warga sipil tanpa terlihat jahat di layar CNN.
Sementara itu, rumah sakit terus dibombardir. Al-Aqsa Martyrs Hospital telah diserang untuk ke-12 kalinya. Bayangkan sebuah rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru menjadi target. Bahkan tenda-tenda pengungsi yang berdiri di halamannya dibombardir, hanya beberapa meter dari ruang rawat. Dunia hanya mengangkat alis. PBB mengeluarkan pernyataan prihatin. Lalu kembali tidur nyenyak.
Pemerintah Gaza, dalam keputusasaan yang nyaris membatu, menyebut serangan itu sebagai “upaya sistematis untuk melenyapkan sistem kesehatan.” Tapi sejujurnya, siapa yang masih peduli pada sistem kesehatan sebuah wilayah yang dianggap ilegal oleh sebagian besar kekuatan besar dunia? Kalau yang dibom adalah rumah sakit di Paris atau Ottawa, mungkin baru mereka akan berteriak.
Bahkan tempat-tempat pengungsian—yang seharusnya jadi zona aman—telah disulap menjadi kuburan massal. Sekolah-sekolah yang diubah menjadi tempat perlindungan malah dijadikan sasaran. Di bulan Juni saja, 11 tempat pengungsian dibom. Ini bukan ketidaksengajaan. Ini peta dengan titik-titik merah yang sengaja dicentang satu per satu. Dan di baliknya, ada tanda tangan negara-negara besar, dengan tinta diplomasi dan stempel “kepentingan nasional.”
Narasi yang dikembangkan oleh para penguasa dunia telah begitu piawai memanipulasi realitas. Mereka menyebut korban sebagai “efek samping,” pemboman sebagai “operasi presisi,” dan setiap jeritan bocah yang tertimpa bangunan disebut “kerugian sipil yang disayangkan.” Dunia seolah diajak menonton dokumenter kebrutalan, tapi diminta untuk tetap netral dan rasional.
Di Indonesia, kita sering mendengar dalih: “Itu urusan luar negeri, jangan bawa ke sini.” Tapi Palestina bukan cuma urusan luar negeri. Ia adalah cermin kemanusiaan kita. Bila kita bisa menonton pembantaian berlangsung siang-malam tanpa rasa terganggu, maka ada yang mati juga dalam jiwa kita—meski kita masih bernapas.
Di media sosial, banyak yang bilang: “Yah, kita bisa apa?” Mungkin itu pertanyaan yang jujur. Tapi tak bertindak sama sekali bukan netralitas. Itu adalah keberpihakan terselubung kepada penindas. Setiap senyap yang kita pelihara adalah dukungan kepada roket yang akan diluncurkan ke sekolah anak-anak Gaza malam ini.
Dan kini, dengan penjualan baru senjata oleh AS, kita hanya tinggal menunggu daftar korban diperbarui. Bukan oleh algoritma, tapi oleh tangan manusia yang masih bisa mencatat meski matanya sembab, telinganya penuh teriakan, dan hidungnya masih mencium bau mayat dari tenda yang runtuh.
Entah sampai kapan kita akan terus membiarkan tragedi ini berlangsung sambil berdalih “itu jauh dari kita.” Gaza mungkin berada ribuan kilometer dari Jakarta, tapi rasa adil, nalar sehat, dan empati tak mengenal jarak. Di antara reruntuhan itu, ada seorang anak yang mungkin tak pernah tahu bagaimana rasanya sekolah, bagaimana rasanya tertawa. Tapi ia tahu bagaimana bunyi pesawat tempur. Dan ia tahu, bahwa dunia membiarkannya mati dengan perlahan—sambil sibuk menyusun proposal penjualan bom.
Sumber: