Connect with us

Opini

AS Panik! Serang Yaman, Fitnah Iran

Published

on

Pejabat-pejabat Amerika Serikat tampaknya mengalami kebingungan akut. Bocornya komunikasi internal mereka baru-baru ini membuktikan satu hal yang sudah lama menjadi bahan tertawaan di Timur Tengah: mereka tidak paham bagaimana perlawanan bekerja. Mereka berkhayal bahwa semua perlawanan di dunia ini dikendalikan Iran, seolah-olah ada tombol di Teheran yang bisa mengaktifkan rudal di Yaman, Lebanon, atau Irak. Kenyataan yang mereka tolak mentah-mentah adalah bahwa poros perlawanan bukanlah struktur militer komando. Tidak ada pusat komando tunggal. Tidak ada yang memberi perintah dan diperintah. Mereka bergerak dengan satu kesamaan: ideologi dan tujuan yang sama. Dan inilah yang benar-benar membuat Washington frustasi.

Ambil contoh serangan Yaman ke Bandara Ben Gurion. Dua rudal, satu Zulfiqar dan satu Palestina-2, melesat dengan presisi yang cukup untuk mengguncang pusat transportasi udara utama entitas zionis. Yaman melakukannya atas nama Palestina, bukan atas nama Iran. Mereka tidak menunggu instruksi dari Teheran, mereka tidak butuh izin siapa pun. Tetapi di ruangan gelap Pentagon, para jenderal dan analis mereka yang hidup dalam dunia khayalan langsung menyimpulkan: ini ulah Iran. Seolah-olah Houthi adalah boneka yang digerakkan oleh dalang di Iran, bukan kekuatan perlawanan independen yang sudah lebih dari satu dekade menghancurkan intervensi asing di tanah mereka sendiri.

Kesalahan analisis ini membawa Washington pada tindakan yang lebih bodoh. Mereka menyerang Yaman dengan dalih menjaga keamanan jalur maritim internasional. Tetapi kenyataan berbicara lain: kapal-kapal milik AS dan sekutunya yang justru menjadi sasaran tembak. Yaman membalas dengan rudal balistik anti-kapal dan drone serang, bahkan menyasar kapal induk USS Harry S. Truman. Ini bukan tindakan kelompok yang dikendalikan oleh negara lain, ini adalah respons dari negara yang telah cukup lama digempur dan sekarang menggempur balik. Dan setiap kali AS membalas, mereka hanya menegaskan satu hal: mereka tidak lagi memiliki kendali atas Laut Merah.

Kebocoran chat ini semakin memperjelas kebodohan kolektif mereka. Salah satu pesan yang bocor menunjukkan bagaimana para pejabat AS membahas strategi serangan terhadap Yaman dengan asumsi bahwa Iran akan merespons. Tentu saja Iran tidak melakukan apa pun, karena mereka memang tidak perlu. Yaman sendiri yang mengurus urusan mereka. Tetapi AS tidak bisa menerima kenyataan ini. Mereka butuh Iran sebagai kambing hitam. Tanpa Iran, semua dalih mereka runtuh. Bagaimana mereka bisa menjual perang ini kepada publik jika mereka harus mengakui bahwa mereka sebenarnya berperang melawan negara kecil yang bahkan tak punya angkatan udara modern?

Ini bukan pertama kalinya AS terjebak dalam kesalahan analisis strategis yang fatal. Di Irak, mereka mengira bahwa menggulingkan Saddam Hussein akan menyelesaikan masalah. Yang terjadi justru sebaliknya, perlawanan tumbuh lebih besar, lebih kuat, lebih militan. Di Afghanistan, mereka mengira bisa menanam demokrasi dengan senapan, dan dua puluh tahun kemudian, mereka pergi dengan ekor di antara kaki, meninggalkan Kabul kepada Taliban yang bahkan lebih kuat daripada sebelumnya. Kini, mereka mengulangi kesalahan yang sama di Yaman. Mereka berpikir bahwa dengan menyerang beberapa target, mereka bisa melemahkan perlawanan. Yang terjadi justru sebaliknya: serangan itu menjadi bensin yang menyulut api perlawanan lebih besar lagi.

Lihat saja reaksi Yaman setelah serangan AS ke Saada. Bukannya tunduk, mereka malah meningkatkan serangan ke kapal-kapal AS di Laut Merah. Bukannya melemah, mereka justru semakin yakin bahwa perlawanan adalah satu-satunya jalan. AS mengklaim bahwa mereka menargetkan fasilitas militer, tetapi kenyataannya, mereka mengebom pusat pengobatan kanker. Sebuah tindakan pengecut yang dengan sendirinya membuktikan betapa rendahnya standar moral Washington. Ini bukan lagi perang terhadap milisi, ini adalah perang terhadap manusia yang sedang berjuang untuk hidup. Jika ini yang mereka sebut sebagai “membela demokrasi,” maka kita harus bertanya: demokrasi macam apa yang mereka bicarakan?

Kesalahan fatal AS dalam memahami Yaman juga mencerminkan kegagalan mereka dalam membaca realitas geopolitik baru di Timur Tengah. Dunia sudah berubah, tetapi Washington masih berpegang pada manual lama yang sudah usang. Mereka masih berpikir dengan pola Perang Dingin, seolah-olah semua konflik adalah bagian dari konspirasi besar antara kekuatan adidaya. Kenyataannya lebih kompleks dari itu. Perlawanan bukan lagi sekadar proksi, mereka adalah gerakan rakyat yang tumbuh dari penderitaan dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Tidak ada negara yang bisa mengontrol mereka sepenuhnya. Ini adalah kekuatan baru yang tidak bisa dikalahkan dengan sanksi atau serangan udara.

Dan inilah yang paling menakutkan bagi AS. Mereka bisa memahami negara-negara dengan sistem hierarkis yang jelas. Mereka bisa membeli pejabat, mereka bisa menekan pemerintah. Tetapi bagaimana mereka menghadapi gerakan yang tidak punya pemimpin tunggal, yang tidak bisa dipengaruhi dengan diplomasi konvensional? Mereka mencoba menggunakan strategi yang sama berulang kali, dan berulang kali mereka gagal. Mungkin sudah waktunya bagi Washington untuk menerima kenyataan: mereka tidak lagi berkuasa. Mereka tidak lagi bisa mendikte siapa yang berhak hidup dan siapa yang harus mati di Timur Tengah.

Tetapi AS tidak akan berubah. Mereka akan terus mengulang kesalahan yang sama. Mereka akan terus mencari alasan untuk menyerang. Mereka akan terus memburu bayangan Iran dalam setiap konflik. Dan dalam prosesnya, mereka akan terus menggali kuburan mereka sendiri. Karena dunia sudah tidak lagi seperti yang mereka bayangkan. Dan semakin cepat mereka menyadari hal ini, semakin sedikit penghinaan yang harus mereka telan di masa depan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *