Opini
AS Menuju Apartheid: Demokrasi Mati di Tangan Tirani

Mahmoud Khalil, seorang aktivis Palestina dan lulusan Columbia University, kini mendekam di pusat tahanan ICE di Louisiana. Green card-nya dicabut, visa pelajarnya ditarik, dan dia dijebloskan ke dalam sistem yang dirancang untuk menghancurkan hidup mereka yang berani berbicara. Amerika Serikat, negeri yang mengaku sebagai benteng kebebasan, kini mengadopsi metode yang biasa digunakan rezim apartheid. Dan seperti yang selalu terjadi dalam sejarah, mereka yang menjerit meminta keadilan justru diperlakukan sebagai kriminal.
Donald Trump, dengan penuh kemenangan, menyatakan bahwa penahanan Khalil adalah awal dari banyak kasus serupa. Tak butuh banyak analisis untuk melihat ke mana arah ini bermuara: apartheid, bukan sekadar di luar negeri dengan dukungan membabi buta kepada zionis, tetapi juga di dalam negeri. Ini adalah apartheid politik, di mana aktivisme tertentu dikriminalisasi dan oposisi dibungkam. Amerika Serikat bukan lagi negara demokrasi yang menjunjung kebebasan berekspresi, tetapi menjadi laboratorium eksperimen represi di mana undang-undang diubah untuk menyesuaikan kebutuhan penguasa.
Amerika kini bukan sekadar sekutu Israel, tetapi cerminan nyata dari kebijakan yang diterapkan di tanah pendudukan. Jika Israel menggunakan Emergency Regulations untuk menekan aktivis Palestina, AS kini memakai hukum imigrasi sebagai alat represi. Hukum bukan lagi instrumen keadilan, tetapi senjata untuk menindas mereka yang melawan narasi penguasa. Dengan membungkam suara pro-Palestina, AS tidak sekadar membela Israel, tetapi juga sedang menguji seberapa jauh mereka bisa mendorong kebijakan otoriter tanpa menimbulkan perlawanan berarti.
Konvensi PBB tentang Apartheid jelas menyebut diskriminasi sistematis sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Tapi AS selalu punya cara untuk berkelit. Mereka tak butuh pemisahan ruang fisik untuk menjalankan apartheid, cukup dengan mengendalikan siapa yang bisa berbicara dan siapa yang bisa diasingkan. Rezim Trump paham benar bahwa apartheid bisa dijalankan dengan hukum. Dengan satu kebijakan, mereka bisa membuat orang kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan hak-hak dasar mereka, semuanya dikemas rapi dalam bahasa legalisme yang terdengar sah.
Di Afrika Selatan, apartheid dijalankan dengan hukum segregasi. Di Israel, apartheid diterapkan melalui hukum kewarganegaraan dan izin tinggal. Di AS, apartheid sedang berkembang dalam bentuk lain: aturan imigrasi dan keamanan nasional yang dikendalikan untuk menarget mereka yang dianggap berbahaya bagi kepentingan negara. Dan siapa yang berbahaya? Mereka yang berteriak: Bebaskan Palestina. Mereka yang berani mengungkap kejahatan perang. Mereka yang tak ingin tunduk pada dogma kebijakan luar negeri AS yang harus selalu berpihak pada Israel.
Jika apartheid di Afrika Selatan memisahkan berdasarkan ras, apartheid di AS memisahkan berdasarkan ideologi dan asal-usul. Muslim, Arab, aktivis pro-Palestina, akademisi kritis—semua kini berpotensi menjadi target. Mahmoud Khalil hanyalah awal. Jika dunia diam, daftar nama akan bertambah. Apartheid dimulai dari satu kasus dan berkembang menjadi sistem yang normal. Dulu, Muslim di AS harus menerima pengawasan massal pasca-9/11. Sekarang, aktivis pro-Palestina harus siap menghadapi konsekuensi lebih buruk: kehilangan status hukum, dipenjara, atau dideportasi tanpa alasan yang jelas.
Sama seperti zionis yang menyebut setiap pejuang Palestina sebagai bagian dari Hamas, AS kini memakai retorika yang sama. Tanpa bukti, Trump dan Rubio menuduh Khalil memiliki keterkaitan dengan Hamas. Tentu saja, mereka tak butuh bukti. Mereka hanya butuh alasan untuk membungkam lawan politik. Apartheid tak pernah membutuhkan kebenaran, hanya butuh dalih. Begitu tuduhan dilemparkan, tak ada ruang bagi tersangka untuk membela diri. Sistem ini dirancang agar tak ada celah untuk keadilan.
Jika hari ini Mahmoud Khalil ditangkap, besok akan ada ratusan aktivis lain yang diciduk. Ini bukan paranoia, ini sejarah yang terulang. Apartheid tidak dibangun dalam semalam. Ia berkembang perlahan, dengan setiap undang-undang baru, dengan setiap pernyataan yang menyalahkan korban, dengan setiap pengalihan perhatian agar orang percaya bahwa ini demi keamanan nasional. Dan sementara dunia sibuk menonton berita selebriti atau pemilu palsu yang dikendalikan oleh oligarki, sistem ini terus berjalan tanpa hambatan.
Noam Chomsky sudah lama memperingatkan bahwa kekuasaan yang tak diawasi akan selalu menciptakan alat represi baru. Manufacturing Consent bukan lagi teori, tapi kenyataan yang dipertontonkan. Media besar diam atau malah menyebarkan narasi negara, seakan Mahmoud Khalil memang pantas ditangkap. Di era apartheid modern, media adalah pelayan penguasa. CNN, Fox News, dan The New York Times akan lebih sibuk membahas bagaimana Khalil ‘mungkin’ punya hubungan dengan kelompok ekstremis daripada mempertanyakan bagaimana sebuah negara bisa dengan begitu santainya melanggar hak asasi manusia seseorang.
Mereka bilang ini bukan apartheid, ini hukum yang berlaku. Mereka bilang Mahmoud Khalil bukan ditahan karena Palestina, tetapi karena alasan hukum. Tapi siapa yang menulis hukum? Siapa yang menentukan siapa yang dianggap berbahaya? Di setiap sistem apartheid, hukum selalu dijadikan alat untuk mengesahkan penindasan. Amerika kini tak jauh berbeda. Ini bukan sekadar masalah Mahmoud Khalil. Ini adalah preseden yang akan digunakan untuk membungkam setiap suara yang tak sejalan dengan kepentingan negara.
Tak butuh pagar dan tembok tinggi untuk menciptakan apartheid. Cukup dengan kebijakan diskriminatif yang diterapkan secara sistematis. Jika AS bisa mencabut visa dan green card karena seseorang mendukung Palestina, lalu apa bedanya dengan rezim yang mencabut hak warga karena mereka lahir sebagai Palestina? Apartheid tidak selalu memakai seragam militer. Terkadang, ia berjas dan berdasi, duduk di Gedung Putih, dan berbicara dengan penuh retorika tentang demokrasi sambil merancang kebijakan yang akan menghancurkan kehidupan orang-orang yang dianggap tidak diinginkan.
Apartheid tidak selalu muncul dengan kekerasan frontal. Kadang, ia berwujud keputusan administratif yang dingin dan terencana. Mahmoud Khalil tidak ditembak di jalan, tetapi haknya dicabut perlahan, lalu dikurung dengan dalih hukum. Inilah apartheid versi Amerika: bersih, legal, dan diterima publik karena dikemas dengan bahasa keamanan nasional. Sebuah sistem yang semakin mirip dengan model yang telah diterapkan Israel selama bertahun-tahun terhadap rakyat Palestina.
Sama seperti Israel yang menyebut setiap kritik sebagai antisemitisme, kini AS mulai menyebut kritik terhadap kebijakan zionis sebagai ekstremisme. Mereka tak perlu membunuh fisik para aktivis, cukup membunuh hak mereka. Apartheid tak selalu membutuhkan darah, cukup dengan sistem yang memastikan mereka yang berani berbicara akan dihancurkan secara perlahan. Masyarakat akan terbiasa, lalu diam, dan perlahan-lahan, tirani menjadi norma baru.
Hari ini, mereka menarget Mahmoud Khalil. Besok, mereka akan menarget siapa pun yang membela keadilan. Jika apartheid ini tak dilawan sekarang, maka pada titik tertentu, perlawanan tak akan lagi cukup. Sejarah mengajarkan, apartheid tidak pernah runtuh dengan sendirinya. Ia tumbang karena ada perlawanan yang tak bisa lagi dibungkam.