Connect with us

Opini

AS & Israel Gagal Total: Hizbullah Tetap Berkuasa di Lebanon

Published

on

Seperti biasa, Amerika Serikat datang dengan membawa janji kemenangan mutlak atas musuh-musuhnya, kali ini di Lebanon. Dengan penuh percaya diri, utusan Gedung Putih berdiri di istana kepresidenan dan mengumumkan bahwa “reign of terror” Hizbullah telah berakhir. Ah, betapa indahnya dunia dalam fantasi Washington! Namun sayangnya, kenyataan di Beirut tidak sejalan dengan delusi mereka.

Mereka mengira bisa mengusir Hizbullah dari pemerintahan dengan ancaman kosong dan pidato murahan. Morgan Ortagus, sang utusan, bahkan dengan polosnya berterima kasih kepada Israel karena telah “mengalahkan” Hizbullah. Sebuah klaim yang begitu luar biasa hingga layak mendapatkan penghargaan fiksi terbaik tahun ini. Padahal, kenyataannya justru sebaliknya: Hizbullah tetap bercokol, tetap berkuasa, tetap menertawakan kepanikan AS dan Israel.

Di sudut lain, Presiden Lebanon, Joseph Aoun, mendengarkan pidato itu sambil menahan tawa. Bagaimana tidak? Beberapa jam setelahnya, kantornya buru-buru mengklarifikasi bahwa omongan Ortagus itu hanya “pendapat pribadi” dan bukan sikap resmi Lebanon. Artinya, semua pernyataan AS itu tak lebih dari ocehan yang tak berpengaruh sedikit pun terhadap realitas politik Lebanon.

Seakan belum cukup mempermalukan diri sendiri, AS juga mengaitkan semua ini dengan rencana penarikan pasukan Israel dari Lebanon. Dengan bangga mereka mengumumkan bahwa pasukan Zionis akan ditarik pada 18 Februari—tentu saja, setelah memastikan Hizbullah benar-benar tersingkir dari selatan. Sayangnya, ada satu masalah kecil: Israel telah melanggar kesepakatan lebih dari 1.300 kali.

Jadi, siapa yang sebenarnya mengancam stabilitas Lebanon? Hizbullah yang membela negaranya dari pendudukan, atau Israel yang berulang kali melanggar batas dan menghancurkan infrastruktur di selatan? Namun tentu saja, bagi AS dan sekutunya, fakta tidak pernah menjadi hambatan untuk terus menyebarkan propaganda. Mereka tetap menuding Hizbullah sebagai biang kerok semua kekacauan di kawasan.

Sementara itu, Nawaf Salam, sang perdana menteri yang didorong ke kursi panas, tengah berusaha menyusun kabinetnya. Dan apa hasilnya? Hizbullah dan sekutunya tetap mendapatkan lima kursi kementerian. Sebuah tamparan keras bagi AS yang mati-matian mencoba menggiring narasi bahwa Hizbullah telah tersingkir. Realitas berbicara: upaya mereka gagal total.

Bahkan, ketua parlemen Lebanon, Nabih Berri, masih memiliki pengaruh besar dalam kabinet. Namun Washington tetap saja memaksakan fantasinya. Mereka bersikeras bahwa Hizbullah telah kalah, meskipun kelompok itu masih memegang posisi strategis dalam pemerintahan. Apakah AS benar-benar tidak tahu situasi, atau mereka hanya pura-pura buta demi mempertahankan muka?

Yang lebih menggelikan adalah betapa yakinnya mereka bahwa tekanan ekonomi dan diplomasi bisa meruntuhkan Hizbullah. Mereka lupa satu hal: Hizbullah tidak hanya organisasi politik, tetapi juga gerakan perlawanan yang lahir dari kezaliman dan pendudukan. Semakin ditekan, semakin kuat ia menjadi. Sejarah telah membuktikannya berkali-kali.

Israel sendiri tampaknya mulai frustrasi dengan kebohongan yang mereka ciptakan. Mereka tahu bahwa Hizbullah bukanlah kelompok yang bisa dihapus dengan propaganda atau embargo. Maka, seperti biasa, mereka kembali ke kebiasaan lama: menghancurkan infrastruktur, membom desa-desa, dan membunuh warga sipil dengan dalih perang melawan terorisme. Apakah itu akan membuat Hizbullah menyerah? Tentu saja tidak.

Sementara di Washington, para pejabat AS mungkin sedang bersulang dengan anggur mahal, merayakan “kemenangan” mereka yang tidak pernah terjadi. Mereka mungkin berpikir bahwa dunia akan percaya begitu saja pada narasi mereka. Tapi di Beirut, di jalanan Lebanon, rakyat tahu betul siapa yang sebenarnya menang. Mereka melihat bahwa ancaman dan intimidasi AS hanyalah omong kosong belaka.

Pada akhirnya, AS dan Israel harus menghadapi kenyataan pahit: mereka tidak bisa menghilangkan Hizbullah dari Lebanon, sama seperti mereka tidak bisa menghapus sejarah perlawanan. Dan setiap kali mereka mencoba, mereka hanya akan mempermalukan diri sendiri. Karena di dunia nyata, bukan pidato kosong yang menentukan kekuatan, melainkan keberanian untuk melawan hingga akhir.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *