Connect with us

Opini

AS-Israel: Arsitek Penderitaan Sipil di Yaman dan Gaza

Published

on

Di sudut Sanaa, asap mengepul dari puing-puing rumah yang baru saja hancur, mencampur bau tanah hangus dengan jeritan duka. Di kejauhan, Gaza meratap dalam simfoni kehancuran serupa—sekolah roboh, pasar lenyap, dan nyawa-nyawa tak berdosa terputus. Laporan mengerikan dari kedua belahan dunia ini bukan sekadar berita, melainkan cermin gelap dari tindakan dua kekuatan: Amerika Serikat dan Israel. Mereka, dengan tangan besi dan dalih mulia, menciptakan neraka bagi warga sipil, menjelma sebagai penjahat perang yang tak tersentuh hukum.

Laporan dari Sanaa menceritakan serangan udara AS yang menghantam wilayah sipil—Hamdan, Bani Hushaysh, Faj Attan, hingga Nuqum—meninggalkan lubang di hati rakyat Yaman. Lebih dari sepuluh serangan dalam satu malam, menurut Al Mayadeen, menghancurkan lahan pertanian dan rumah warga, menewaskan puluhan jiwa, termasuk anak-anak. Di Hodeidah, 11 warga sipil tewas dalam satu serangan, darah mereka menodai klaim AS tentang “operasi presisi.” Ini bukan insiden tunggal, melainkan pola yang berulang sejak eskalasi serangan terhadap Ansarullah, yang mereka tuduh mengancam pelayaran global. Namun, apa yang global di sini? Kapal-kapal terkait Israel, yang menjadi target Ansarullah sebagai protes terhadap pembantaian di Gaza, adalah inti masalahnya.

Gaza, di sisi lain, adalah lukisan tragis yang lebih mengerikan. Lebih dari 40.000 jiwa, sebagian besar warga sipil, telah terkubur di bawah puing-puing akibat serangan Israel, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsi dibom dengan alasan menargetkan Hamas, tetapi yang tersisa adalah tubuh anak-anak dan tangis ibu-ibu. Laporan Amnesty International mencatat pelanggaran hukum perang—bom fosfor, penghancuran sistematis infrastruktur sipil—yang menyerupai hukuman kolektif. Pemimpin Ansarullah, Abdul Malik al-Houthi menegaskan bahwa serangan mereka di Laut Merah adalah tanggapan atas “genosida” ini, sebuah istilah yang kini bergema di banyak hati, meskipun pengadilan dunia masih berdebat tentang definisinya.

Mengapa Ansarullah bertindak? Mereka melihat Gaza sebagai luka terbuka umat manusia, di mana Israel, dengan dukungan penuh AS, menghapus nyawa demi nyawa. Serangan rudal dan drone mereka ke kapal-kapal Israel atau wilayah Israel adalah upaya untuk menekan, untuk berteriak bahwa dunia tidak boleh diam. Namun, AS merespons dengan kekerasan yang lebih besar, menghujani Yaman dengan bom yang tak pandang bulu. Laporan The Cradle menyebutkan biaya kampanye AS mendekati 1 miliar dolar, namun Ansarullah tetap tegak, bahkan mengklaim kemampuan mereka meningkat. Sementara itu, warga sipil Yaman—petani, pedagang, anak-anak—menjadi korban, terperangkap dalam permainan kekuasaan yang tak mereka ciptakan.

Permainan ini adalah catur geopolitik, dengan AS dan Israel sebagai pemain utama. AS, dengan armada kapal perangnya seperti USS Harry S. Truman, mengklaim melindungi pelayaran global. Tetapi, seperti yang dilaporkan Al Mayadeen, kapal ini sendiri menjadi target Ansarullah, sebuah simbol arogansi kekuatan yang gagal menaklukkan semangat perlawanan. Di balik retorika keamanan, AS melindungi Israel, sekutu yang menerima miliaran dolar bantuan militer setiap tahun. Veto AS di PBB berulang kali memblokir kecaman terhadap Israel, memungkinkan bom-bom di Gaza terus jatuh. Ketika Ansarullah menyerang kepentingan Israel, AS tidak hanya membela sekutunya, tetapi juga menegaskan hegemoni atas Timur Tengah, menekan Iran yang dituduh mendukung Ansarullah.

Israel, sementara itu, bertindak dengan impunitas yang mencengangkan. Gaza bukan sekadar medan perang; itu adalah laboratorium kehancuran. Laporan menunjukkan bahwa lebih dari 60% bangunan di Gaza hancur, meninggalkan jutaan orang tanpa tempat tinggal. Al-Houthi memperingatkan bahwa Israel tidak hanya ingin menghapus Hamas, tetapi juga identitas Palestina, dengan rencana pemindahan paksa yang kini didukung terbuka oleh AS. Pernyataan Donald Trump tentang pemindahan warga Gaza ke Sinai, seperti dilaporkan, adalah bukti bahwa agenda ini bukan isapan jempol. Warga sipil Gaza, seperti di Yaman, bukan kerusakan tambahan; mereka adalah korban utama dari strategi yang tampaknya dirancang untuk mematahkan semangat sebuah bangsa.

Apa yang membuat AS dan Israel layak disebut penjahat perang? Hukum internasional menuntut pembedaan antara kombatan dan non-kombatan, serta proporsionalitas dalam serangan. Namun, di Yaman, bom-bom AS menghancurkan desa-desa tanpa bukti target militer yang jelas. Di Gaza, Israel menggunakan bom 2.000 pon untuk “menghabisi” dugaan markas Hamas, tetapi yang hancur adalah lingkungan padat penduduk. Kedua negara ini melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, namun menghindari akuntabilitas karena kekuatan mereka. Mahkamah Pidana Internasional menyelidiki Gaza, tetapi AS menolak yurisdiksinya, sementara Israel menyebutnya bias. Sementara itu, darah terus mengalir, dan puing-puing terus menumpuk.

Sejarah memperkuat tuduhan ini. Ingat Irak, ketika AS menyerbu dengan dalih senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan? Ratusan ribu warga sipil tewas, kota-kota hancur, dan negara itu terjerumus ke dalam kekacauan. Di Yaman, pola yang sama muncul: dalih “keamanan global” menutupi agenda yang lebih dalam—melindungi Israel dan menekan musuh-musuhnya. Al-Houthi menegaskan bahwa serangan AS hanya memperkuat Ansarullah, bukan melemahkannya, sebuah ironi yang menunjukkan kegagalan strategi militer. Di Gaza, setiap bom Israel menciptakan lebih banyak kemarahan, lebih banyak perlawanan, bukan kedamaian yang mereka klaim kejar.

Warga sipil adalah korban sejati dari ambisi kekuasaan ini. Di Sanaa, seorang petani kehilangan ladangnya karena serangan AS yang tak dijelaskan. Di Gaza, seorang ibu meratapi anaknya yang terkubur di bawah runtuhan rumah sakit. Mereka tidak memilih perang, tidak memegang senjata, tetapi merekalah yang membayar harga. Laporan New York Times mengungkap kekhawatiran Pentagon bahwa stok amunisi AS menipis karena Yaman, mengorbankan kesiapan untuk konflik lain, mungkin dengan Tiongkok atau Iran. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kehancuran, prioritas AS adalah kekuasaan, bukan kemanusiaan.

Namun, dunia tidak sepenuhnya diam. Demonstrasi di al-Sabeen Square, Sanaa, menurut laporan, menunjukkan rakyat Yaman menolak agresi AS. Di seluruh dunia, jutaan orang turun ke jalan untuk Gaza, menuntut gencatan senjata. Tetapi suara-suara ini sering kali tenggelam di bawah gemuruh jet tempur dan ledakan bom. AS dan Israel, dengan kekuatan militer dan pengaruh diplomatik mereka, menciptakan ilusi bahwa tindakan mereka tak terhindarkan, bahwa warga sipil adalah “korban yang tak bisa dielakkan.” Ini adalah kebohongan yang harus ditolak.

Keadilan tidak akan datang dengan sendirinya. Tekanan nyata—boikot ekonomi, sanksi internasional, atau penegakan hukum oleh badan seperti ICC—diperlukan untuk menghentikan siklus ini. Tanpa itu, Sanaa akan terus berasap, Gaza akan terus berdarah, dan AS serta Israel akan tetap berdiri di atas puing-puing, mengklaim kemenangan sementara dunia menghitung korban. Mereka bukan sekadar pelaku; mereka adalah arsitek penderitaan, penjahat perang yang menulis sejarah dengan darah orang tak berdosa.

 

Sumber:

  1. https://english.almayadeen.net/news/politics/yaf-missiles–drones-target-uss-truman–american-warships-in
  2. https://english.almayadeen.net/news/politics/us-aggression-won-t-weaken-our-military-capabilities–al-hou
  3. https://thecradle.co/articles/us-bombs-civilian-infrastructure-in-fresh-round-of-attacks-against-yemen

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *