Opini
AS Ingin Lebanon Menjadi Suriah Kedua?

Di sebuah negeri dengan lanskap pegunungan hijau dan laut biru yang memesona, ketegangan kembali menggelayut seperti kabut yang enggan sirna. Lebanon, dengan kompleksitas politik dan sosialnya, kembali menjadi panggung konflik yang dipicu tekanan eksternal. Laporan The Cradle mengabarkan kunjungan Morgan Ortagus, utusan AS ke Lebanon, yang dalam wawancara dengan LBCI (6 April) menegaskan desakan agar pemerintah segera melucuti senjata Hizbullah dan seluruh milisi. Namun, di balik retorika diplomatik itu, tersirat pesan sepihak: menekan satu pihak sambil menutup mata atas pelanggaran yang dilakukan Israel.
Sikap ini mengungkap ketidakseimbangan mencolok dalam kebijakan luar negeri AS. Di satu sisi, Washington mencap Hizbullah sebagai “organisasi teroris” dan bahkan disebut oleh Ortagus sebagai “kanker yang harus dipotong.” Di sisi lain, ketika ditanya soal agresi Israel yang telah melakukan lebih dari 2.000 pelanggaran gencatan senjata sejak November 2024—termasuk serangan drone dan pembunuhan di wilayah selatan Lebanon—ia hanya menjawab, “Saya tidak berbicara untuk Israel.”
Data menunjukkan Israel terus melanggar kesepakatan dan mempertahankan pendudukan di lima titik perbatasan Lebanon selatan. Sementara itu, Hizbullah menegaskan bahwa urusan senjata adalah persoalan internal yang akan dibahas dalam strategi pertahanan nasional. Sekjen Hizbullah, Naim Qassem, menyatakan bahwa mereka masih memberi ruang pada diplomasi, namun tak akan diam selamanya jika pelanggaran terus terjadi.
Presiden Joseph Aoun, di sisi lain, berbicara tentang pentingnya monopoli kekuatan negara, namun tetap menyerukan dialog nasional guna menghindari konflik sipil. Ini kontras dengan pendekatan Ortagus yang cenderung ultimatum, bukan mediasi. Al-Akhbar bahkan menyebut kunjungannya sebagai penyampaian ancaman: jika Hizbullah tak dilucuti, Israel akan melancarkan operasi militer baru dengan restu Washington.
Aliansi strategis AS-Israel telah lama membentuk lanskap Timur Tengah. Dengan miliaran dolar bantuan militer setiap tahun dan dukungan diplomatik yang solid, AS memandang Hizbullah sebagai kepanjangan tangan Iran—musuh bebuyutan Tel Aviv dan Washington—yang harus disingkirkan, meski artinya menekan kedaulatan Lebanon.
Cermin dari skenario ini bisa dilihat di Suriah. Setelah kekuatan pemerintah digulingkan kelompok oposisi, Israel lebih leluasa melakukan serangan udara tanpa perlawanan berarti. Jika Lebanon kehilangan kekuatan seperti Hizbullah, siapa yang akan menjadi penahan terakhir agresi Israel di perbatasan utara?
Lebanon memang bukan Suriah. Struktur masyarakatnya adalah mozaik sektarian yang rapuh, dengan banyak kelompok selain Hizbullah juga memiliki senjata, seperti Amal dan Druze. Bahkan kepemilikan senjata pribadi tersebar luas di tengah warga sipil. Dalam konteks ini, pelucutan senjata bukan hanya masalah teknis, tapi soal stabilitas nasional. Elijah Magnier, seorang analis militer, mencatat bahwa pelucutan senjata total adalah mimpi tanpa konsensus nasional dan pemerintahan yang kuat—dua hal yang saat ini sulit diwujudkan.
AS tampaknya mengabaikan realitas ini. Ketika ditanya soal risiko perang saudara akibat pelucutan senjata yang tergesa-gesa, Ortagus hanya mengulang narasi “kanker yang harus diangkat.” Retorika seperti ini bukan saja menyederhanakan masalah, tetapi juga bisa menyulut api baru dalam masyarakat yang sedang berjuang pulih dari krisis ekonomi dan politik.
Sebaliknya, pendekatan Hizbullah justru menunjukkan kesediaan untuk berdialog dalam kerangka pertahanan nasional, seperti dinyatakan oleh MP Ihab Hamadeh. Dalam wawancara 9 April, ia menegaskan bahwa isu senjata bukan hal baru, dan telah dibahas dalam berbagai pernyataan pemerintah. Artinya, ada ruang internal untuk penyelesaian, tanpa perlu tekanan sepihak dari luar.
Pertanyaannya: mengapa AS tidak menekan Israel dengan intensitas yang sama? Jawabannya sederhana—karena Israel adalah mitra strategis utama. Menekan Tel Aviv berarti berisiko mengguncang keseimbangan geopolitik yang selama ini dijaga Washington di kawasan. Maka tak heran jika pelanggaran gencatan senjata oleh Israel atau pendudukannya atas wilayah Lebanon nyaris tidak mendapat teguran.
Lebih jauh, AS memfasilitasi negosiasi tidak langsung antara Lebanon dan Israel, tapi tekanan hanya diarahkan pada implementasi Resolusi 1701 yang menuntut Hezbollah mundur ke utara Sungai Litani. Sebaliknya, Israel tak didesak untuk sepenuhnya mundur dari wilayah Lebanon atau menghentikan serangan udaranya—termasuk serangan terbaru di Beirut selatan yang disebut Qassem sebagai pelanggaran serius.
Situasi ini menimbulkan kecurigaan yang sah bahwa AS lebih berminat pada pelemahan Lebanon daripada perdamaian sejati. Jika Hizbullah dilucuti tanpa jaminan bahwa Israel akan menghentikan agresinya, Lebanon hanya akan menjadi negara lemah yang tak mampu membela diri. Fakta bahwa lebih dari 3.000 pelanggaran gencatan senjata terjadi tanpa reaksi tegas dari AS menunjukkan siapa sebenarnya yang sedang didorong ke sudut.
Di tengah tekanan ini, Lebanon berusaha menjaga kehormatan dan kedaulatannya. Ia ingin menyelesaikan urusan senjata lewat proses internal. Tapi selama tekanan sepihak dan agresi eksternal terus berlangsung, yang dipertaruhkan bukan hanya keamanan nasional, tetapi juga masa depan kawasan. Dan sejauh ini, kebijakan AS tampaknya lebih berpihak pada kekuatan yang memperkeruh keadaan—bukan menyelesaikannya.
*Sumber:
https://thecradle.co/articles/us-envoy-presses-lebanon-to-disarm-hezbollah-as-soon-as-possible
https://x.com/ejmalrai/status/1910046698551832787