Connect with us

Opini

AS Hadapi Dampak Boomerang Kebijakan Tarif Trump

Published

on

Nobel laureate Joseph Stiglitz sudah memberi peringatan, tapi siapa peduli? Dengan percaya diri, Donald Trump mengayunkan pedang tarifnya ke segala arah, seolah dunia ini papan catur di mana AS selalu menang. Sayangnya, pedang bermata dua ini akhirnya berbalik menghantam kepala sendiri. Kini, investor mulai kabur, harga barang meroket, dan perang dagang jadi tontonan absurd.

Dulu, Trump berkoar soal “Make America Great Again,” sekarang yang terjadi justru “Make America Pay Again.” Tarif demi tarif diberlakukan, konon untuk melindungi industri dalam negeri. Tapi apa yang terjadi? Baja dan aluminium jadi lebih mahal, biaya produksi melambung, dan pekerja Amerika malah meratap karena lapangan kerja yang dijanjikan tak kunjung datang.

Elon Musk mungkin sibuk memangkas birokrasi, tapi siapa yang mau berinvestasi di negeri yang tak bisa memegang janji? Kontrak dagang yang sudah diteken dengan Kanada dan Meksiko dilanggar semaunya. Apakah dunia ini taman bermain bagi Trump? Investor kini menghindari AS seperti wabah. “Tempat yang menakutkan untuk berinvestasi,” kata Stiglitz. Benar sekali!

Ketika ekonomi mulai goyah, Trump mengalihkan perhatian dengan membidik musuh lama: China. Tarif 10% untuk barang-barang China? Beijing langsung membalas dengan tarif 15% untuk batubara AS. Taktik perang dagang ini bukan strategi catur brilian, melainkan aksi poker sembrono yang bisa membuat AS kehabisan kartu lebih cepat dari yang diperkirakan.

Lalu, siapa yang paling menderita? Tentu saja rakyat Amerika. Harga barang melonjak karena bahan baku impor dikenai pajak selangit. Sementara itu, produsen lokal yang diharapkan tumbuh malah kelimpungan menghadapi harga material yang tak masuk akal. Kebijakan yang katanya protektif ini justru membuat ekonomi AS lebih rentan dari sebelumnya.

Trump berdalih bahwa semua ini demi “keadilan” dalam perdagangan. Tapi bagaimana bisa disebut adil ketika Uni Eropa, Kanada, dan China semua bersiap membalas? “Kami akan memberikan respons tegas dan proporsional,” ujar Ursula von der Leyen. AS bukan lagi raksasa yang ditakuti, melainkan anak nakal yang akhirnya dihukum di taman bermain global.

Efek boomerang ini begitu sempurna hingga AS kini diambang stagflasi—mimpi buruk bagi ekonomi. Inflasi meningkat, tetapi pertumbuhan melambat. Situasi ini mengingatkan pada era 1970-an, ketika AS terjebak dalam krisis minyak. Namun kali ini, musuhnya bukan Timur Tengah, melainkan keputusan ekonomis yang salah kaprah dari pemimpinnya sendiri.

Tarif ini seperti bom waktu yang tak butuh waktu lama untuk meledak. Sektor energi pun terkena imbasnya. China, salah satu importir utama LNG dan minyak AS, mulai melirik pasar lain. Washington menggali lubang sendiri dengan menggiring lawan-lawannya untuk saling bekerja sama menghadapi serangan dagang yang tak punya ujung.

Tapi tunggu dulu, ini semua mungkin hanyalah “strategi jangka panjang” yang hanya bisa dipahami oleh si jenius bisnis seperti Trump. Tentu saja, karena hanya di dunia Trump, ekonomi bisa maju dengan menakuti investor dan memperburuk hubungan dagang dengan sekutu. Mungkin nanti dia akan menyalahkan Biden, Obama, atau bahkan alien atas kekacauan ini.

Sementara itu, para pekerja Amerika terus menunggu janji yang tak kunjung ditepati. Pabrik yang diharapkan bangkit justru tenggelam dalam biaya produksi yang melejit. Investor mencari tempat lain yang lebih stabil. Dan dunia? Dunia hanya bisa tertawa melihat negeri adidaya yang kini tergagap menghadapi konsekuensi dari kesombongannya sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *