Connect with us

Opini

AS & Demokrasi: Bebas Bicara, Tapi Tidak untuk Palestina

Published

on

Mahasiswa di Amerika Serikat akhirnya menemukan kebenaran hakiki tentang demokrasi: bahwa kebebasan berbicara hanya berlaku selama tidak menyinggung kepentingan tertentu. Dalam laporan terbaru, pemerintah AS menunjukkan sikap tegasnya terhadap mahasiswa yang berani menyuarakan tragedi kemanusiaan di Palestina. Bukannya berdiskusi atau menanggapi tuntutan, mereka justru memilih cara klasik: penangkapan dan represifitas.

Kebebasan berpendapat memang hak asasi, selama pendapat itu selaras dengan kebijakan pemerintah. Jika menyuarakan hak asasi Palestina dianggap terlalu kontroversial, maka mahasiswa sebaiknya fokus pada isu yang lebih aman, seperti perubahan iklim tanpa menyebut dampak industri perang AS. Demokrasi adalah permainan kata-kata yang manis di pidato, tetapi pahit di jalanan bagi mereka yang menuntut keadilan.

Tentu saja, pemerintah AS sangat menghargai demonstrasi damai. Selama demonstrasi itu tidak menyasar sekutu mereka atau kebijakan luar negeri yang menyokong pendudukan. Ketika mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan Palestina, tiba-tiba demokrasi menjadi konsep yang fleksibel, bisa diregangkan dan dipersempit sesuai kebutuhan politik yang sedang berjalan.

Para mahasiswa ini bukan sekadar anak muda emosional yang asal teriak. Mereka tahu aturan, mereka paham batasan hukum. Mereka melakukan protes dengan cara yang damai, tetapi justru itulah yang membuat mereka berbahaya. Pemerintah tidak menyukai kebenaran yang diucapkan dengan tenang, karena sulit untuk diabaikan atau dibungkam dengan tuduhan radikalisme.

Jika demokrasi adalah nilai tertinggi yang dijunjung oleh Amerika, maka respons represif terhadap demonstrasi damai ini adalah paradoks yang menggelikan. Bukankah demokrasi seharusnya menerima semua suara, bahkan yang tidak nyaman bagi penguasa? Ataukah demokrasi hanya berlaku untuk opini yang mendukung narasi pemerintah? Mungkin inilah saatnya bagi mahasiswa untuk mengajukan petisi agar demokrasi didefinisikan ulang.

Tindakan keras ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah ada tangan-tangan tak terlihat yang mengatur kebijakan ini? Namun, tanpa bukti yang konkret, spekulasi seperti itu bisa dianggap sebagai teori konspirasi. Yang pasti, pemerintah AS secara terang-terangan membuktikan bahwa ketika kepentingan mereka terusik, demokrasi bisa disimpan di laci dan represifitas menjadi alat utama.

Mahasiswa tidak meminta banyak, hanya kejelasan sikap dari pemerintah atas tragedi kemanusiaan di Palestina. Namun, tampaknya pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab dengan jujur. Daripada memberikan klarifikasi, lebih mudah bagi pemerintah untuk membungkam suara-suara ini dengan penangkapan dan ancaman hukum. Cara klasik yang selalu efektif di negara yang katanya bebas.

Demonstrasi ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi AS. Jika mereka benar-benar memegang teguh prinsip demokrasi, mereka akan mendengarkan suara mahasiswa, bukan membungkamnya. Jika kebebasan berpendapat adalah hak yang tak bisa diganggu gugat, maka tindakan represif ini adalah bukti bahwa hak tersebut hanya slogan belaka. Atau mungkin demokrasi di AS memang selektif?

Reaksi keras terhadap mahasiswa yang menyuarakan Palestina memperlihatkan kepanikan pemerintah terhadap sesuatu yang sebenarnya sederhana: kebenaran. Jika demonstrasi damai saja dianggap ancaman, itu artinya ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Mungkin AS bukan takut pada mahasiswa, tetapi takut pada suara yang terus bergema tanpa bisa dihentikan.

Dunia menyaksikan. Dunia melihat bagaimana demokrasi yang diagung-agungkan ternyata begitu rapuh di hadapan sekelompok mahasiswa dengan poster dan mikrofon. Jika pemerintah AS benar-benar percaya pada kebebasan, mereka harus membuktikannya. Jika tidak, maka tidak perlu lagi berpura-pura menjadi mercusuar demokrasi. Dunia sudah melihat wajah aslinya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *