Connect with us

Opini

AS dan Sensor Digital: Ancaman Baru untuk Kebebasan

Published

on

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang saling terhubung, sebuah pengumuman dari US Citizenship and Immigration Services (USCIS) mencuri perhatian: imigrasi AS kini akan meneliti akun media sosial pelamar visa dan menolak mereka yang dianggap memposting konten “anti-Semit” oleh pemerintahan Donald Trump. Kebijakan ini, yang langsung berlaku, menargetkan postingan yang diinterpretasikan mendukung “terorisme anti-Semit,” termasuk aktivitas terkait Hamas, Hizbullah, dan Houthi—kelompok yang oleh AS dicap teroris. Tricia McLaughlin dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menegaskan, “Tidak ada tempat bagi simpatisan teroris di sini,” sembari menolak gagasan bahwa Amandemen Pertama melindungi advokasi kekerasan.

Langkah ini memang mengatasnamakan keamanan nasional, namun membuka luka pertanyaan: ke mana arah kebebasan berpendapat di dunia yang semakin terpantau? Di balik kekhawatiran akan radikalisme, ada bahaya lain yang tak kalah besar—pengikisan hak dasar manusia karena ketakutan dan kepentingan politik.

Kebijakan ini bukanlah kejutan dalam konteks Trump. Sejak menjabat kembali, ia telah mempercepat deportasi, mengerahkan militer ke perbatasan, dan memperluas fasilitas detensi untuk 30.000 migran—semua sesuai janji kampanyenya untuk memperketat imigrasi. Mahasiswa asing yang ikut protes anti-Israel di kampus AS sudah menjadi sasaran, dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio mencabut visa 300 pelajar dalam sebulan terakhir. Universitas ternama seperti Harvard dan Columbia pun kehilangan jutaan dolar pendanaan federal karena dianggap gagal menangani anti-Semitisme selama protes pro-Palestina terkait perang Gaza.

Fokus pada “anti-Semitisme” ini tampak tajam, tapi ketidakseimbangannya mencolok: mengapa tidak ada penyebutan Islamofobia, rasisme, atau bentuk kebencian lain dalam filter imigrasi ini? Jika keamanan memang jadi prioritas, mestinya semua bentuk ekstremisme mendapat perlakuan serupa.

Di balik narasi keamanan nasional, ada aroma kepentingan geopolitik yang kuat. AS dan Israel telah lama menjalin aliansi strategis, ditopang oleh miliaran dolar bantuan militer dan dukungan diplomatik. Kebijakan ini, dengan penekanan pada kelompok seperti Hamas—yang menguasai Gaza—dan Hezbollah, musuh bebuyutan Israel, terasa seperti perpanjangan dari solidaritas itu. Tapi definisi “anti-Semit” di sini terlalu lentur, mengundang risiko penyalahgunaan.

Kritik terhadap blokade Israel di Gaza, yang menurut PBB telah menyebabkan 80% penduduknya bergantung pada bantuan kemanusiaan, bisa dengan mudah dikira sebagai dukungan tersirat untuk Hamas. Padahal, simpati pada 34.000 warga Palestina yang tewas dalam konflik terbaru—data dari Kementerian Kesehatan Gaza—tidak selalu berarti anti-Yahudi. Ini persoalan moral, bukan ideologis.

Ketidakjelasan ini memperburuk situasi. USCIS menyatakan akan mempertimbangkan konten media sosial yang “mendukung atau mempromosikan terorisme anti-Semit” sebagai faktor negatif. Namun tak ada panduan konkrit tentang batasannya. Seorang pelajar yang memposting tentang krisis air di Gaza—di mana 97% air tidak layak minum menurut WHO—bisa ditafsirkan mendukung Hamas hanya karena konteksnya. Ini bukan lagi soal keamanan, melainkan kontrol narasi.

McLaughlin menegaskan bahwa Amandemen Pertama tidak melindungi mereka yang “mengadvokasi kekerasan anti-Semit,” tapi siapa yang menentukan “advokasi” itu? Petugas imigrasi dengan kuasa subjektif, atau algoritma yang tak memahami nuansa? Ini wilayah abu-abu yang berbahaya.

Lebih jauh, kebijakan ini melanggar esensi hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 19 menjamin kebebasan berekspresi. Tapi di sini, hak itu dikorbankan demi alasan keamanan yang kabur. Bayangkan seorang mahasiswa Mesir yang ingin kuliah di AS, tapi visanya ditolak karena pernah memuji perjuangan Palestina di Twitter. Atau seorang pekerja Lebanon yang kehilangan green card karena mengutip laporan Human Rights Watch tentang pemukiman ilegal Israel.

Ini bukan hanya pelanggaran individu, tapi juga sinyal global: berbicara tentang Palestina bisa memutus akses Anda ke “dunia bebas.” Ironis, mengingat AS sering mengklaim diri sebagai benteng kebebasan.

Dampaknya tidak berhenti di perbatasan AS. Jika AS boleh menyaring pelamar berdasarkan pandangan mereka, negara lain berhak membalas. China bisa menolak warga AS yang memuji demokrasi Taiwan—di mana 68% warga AS mendukung hubungan erat dengannya menurut Pew Research 2023. Iran bisa memblokir mereka yang memuji Israel. Arab Saudi mungkin menargetkan kritik terhadap monarki. Rusia sudah membatasi warga Barat yang mendukung Ukraina, dengan 1.200 visa ditolak sejak 2022 menurut data Kementerian Luar Negeri mereka.

Ini bukan lagi soal satu kebijakan, tapi preseden yang mengancam kebebasan bergerak dan berpikir di seluruh dunia.

Lihatlah data yang ada. Pada 2024, Statista mencatat 4,9 miliar pengguna media sosial global—lebih dari separuh populasi dunia. Jika setiap postingan bisa menjadi alasan penolakan visa, miliaran orang berisiko. Di AS saja, 1,1 juta visa pelajar diterbitkan pada 2023 menurut Departemen Luar Negeri, dan ribuan di antaranya kini terancam oleh kebijakan ini. Protes pro-Palestina di kampus AS, yang melibatkan 200.000 mahasiswa menurut perkiraan CNN, sudah memicu deportasi.

Apa berikutnya? Warga AS yang mengkritik Trump diblokir masuk Eropa karena dianggap “mengganggu harmoni sosial”? Kemungkinan itu tidak lagi terasa jauh.

Ini adalah kemunduran, bukan kemajuan. Dunia modern dibangun atas gagasan bahwa ide-ide harus bersaing bebas, bahwa perjalanan dan dialog lintas budaya memperkaya pemahaman. Tapi kebijakan ini—dan potensi balasannya—membangun tembok digital yang lebih tinggi dari tembok fisik mana pun. Globalisasi, yang menurut Bank Dunia meningkatkan perdagangan dunia dari 39% PDB global pada 1990 menjadi 58% pada 2019, bergantung pada mobilitas manusia. Jika mobilitas itu dibatasi oleh jejak digital, kita mundur ke era paranoia nasionalisme, bukan maju ke kolaborasi global.

AS mungkin berdalih ini soal keamanan, tapi ketidakseimbangan mencurigakan. Mengapa hanya anti-Semitisme yang jadi sorotan, padahal FBI melaporkan kejahatan kebencian anti-Muslim naik 67% antara 2014–2020? Jika ini tentang terorisme, mengapa tidak ada filter untuk pendukung supremasi kulit putih, yang menurut ADL menyebabkan 75% kematian ekstremis di AS sejak 2010?

Fokus tunggal pada anti-Semitisme, yang memang serius—dengan 2.031 insiden pada 2023 menurut ADL—tapi tidak unik, menunjukkan motif lain: melindungi Israel. Dan itu mengorbankan prinsip yang lebih besar.

Kita berada di persimpangan berbahaya. Jika negara-negara mengikuti jejak AS, kebebasan berpendapat akan hancur di bawah alasan “kedaulatan.” Seorang jurnalis Inggris yang menulis tentang Gaza bisa dilarang masuk AS, sementara seorang blogger AS yang mengkritik Xi Jinping ditolak China. Dunia akan terpecah bukan oleh perbatasan fisik, tapi oleh algoritma pengawasan yang menghukum pikiran.

Data Freedom House 2023 sudah memperingatkan: 70% populasi global hidup di bawah penurunan kebebasan digital. Kebijakan ini mempercepat tren itu, mengubur harapan akan dunia yang lebih terbuka.

Pada akhirnya, kebijakan ini bukan hanya tentang imigrasi—ini tentang masa depan ekspresi manusia. Dengan menjadikan media sosial sebagai senjata penolakan, AS membuka kotak Pandora yang bisa ditiru siapa saja. Kemajuan sejati ada pada keberanian menerima perbedaan, bukan menyensornya demi sekutu atau keamanan semu. Jika tidak, kita semua akan hidup dalam sangkar digital, diam demi visa, dan itu adalah dunia yang jauh dari cita-cita kebebasan yang pernah diperjuangkan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *