Connect with us

Opini

Armada Amerika di Karibia, Ancaman Demokrasi

Published

on

Malam di Karibia mungkin tampak sama saja: laut gelap, ombak kecil, angin asin. Tetapi di bawah permukaan ketenangan itu, ada kapal-kapal perang raksasa yang mengintai. Mesin-mesin baja menggeram, rudal siap terpasang, ribuan marinir menghisap rokok sambil menunggu perintah. Ironi pun terasa pahit—karena alasan yang dikumandangkan begitu mulia: memerangi narkotika. Padahal, siapa pun yang membaca data dengan jernih tahu, narasi ini tidak lebih dari dalih klasik, kedok lama dengan baju baru.

Venezuela kini lagi-lagi berada di panggung besar, bukan karena pesta rakyat atau keberhasilan ekonomi, melainkan karena ancaman intervensi. Nicolás Maduro berbicara lantang, mengatakan ia siap mendirikan “republik bersenjata” bila serangan benar-benar datang. Kalimat itu terdengar bombastis, tapi justru itulah yang ia butuhkan: retorika yang mengubah krisis legitimasi menjadi semangat perlawanan. Apa yang lebih mudah mengikat rakyat selain ancaman asing? Kita di Indonesia juga tahu, kolonialisme dulu mempersatukan yang tercerai-berai. Dan Amerika tampaknya lupa, sejarah punya cara yang keras untuk mengajar.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Amerika Serikat mengirimkan kapal perusak USS Gravely, USS Jason Dunham, lalu USS Sampson dan USS Lake Erie, ditambah kapal amfibi dengan ribuan pasukan. Sebuah parade kekuatan yang disebut-sebut untuk melawan kartel narkoba. Namun, apakah benar begitu? Laporan PBB justru mengatakan 87% kokain keluar lewat Pasifik, hanya 5% lewat Venezuela. Kalau narkoba ibarat air yang bocor dari genteng, mengapa mereka mengepel lantai dapur sementara lubangnya di atap? Jawabannya sederhana: karena target sesungguhnya bukan narkoba, melainkan Maduro sendiri.

Maduro menyebut langkah AS sebagai “ancaman kriminal, berdarah, dan tidak bermoral.” Kalimat itu mungkin terdengar hiperbola, tetapi bukankah sejarah membuktikan? Invasi ke Irak dulu diawali dengan dalih senjata pemusnah massal yang ternyata tidak pernah ditemukan. Libya diledakkan atas nama demokrasi, kini hanya menyisakan reruntuhan dan perbudakan modern. Maka, ketika Washington berkata “kami datang demi keamanan,” wajar bila banyak yang memilih tertawa getir ketimbang percaya. Saya rasa, dunia sudah terlalu sering menyaksikan sandiwara semacam ini.

Di sisi lain, oposisi Venezuela tampak bersorak. María Corina Machado dengan penuh percaya diri menyebut langkah AS “pendekatan yang tepat.” Ironi yang sulit ditelan: perjuangan demokrasi seharusnya lahir dari rakyat, bukan dari kapal perang yang berlabuh di pantai. Demokrasi yang dipaksakan moncong meriam tidak pernah tumbuh sehat. Kita tahu itu dari Afghanistan, dari Irak, dari banyak negeri yang hancur berkeping-keping. Demokrasi, kalau dipaksakan dari luar, sering kali berubah jadi diktator baru dengan wajah asing.

Situasi ini makin rumit karena Trump menggunakan isu narkotika untuk kepentingan domestik. Fentanyl dan kartel dijadikan kambing hitam atas krisis sosial di kota-kota AS. Tentu saja, retorika seperti itu efektif untuk meraup simpati pemilih yang resah. Tetapi apakah benar narkoba yang jadi masalah? Atau justru kegagalan kebijakan sosial, ekonomi, dan kesehatan di dalam negeri? Mudah memang menyalahkan pihak luar, sulit untuk bercermin ke kaca sendiri. Ini mirip seperti seorang ayah yang menyalahkan tetangga karena anaknya malas belajar, padahal televisi di rumahnya tak pernah dimatikan.

Maduro mungkin bukan pemimpin ideal. Legitimasi politiknya dipertanyakan, ekonomi negerinya berantakan, dan jutaan rakyat memilih migrasi. Tetapi satu hal yang jelas: intervensi asing tidak pernah jadi obat mujarab. Bahkan bisa jadi racun yang mematikan. Venezuela berpotensi berubah menjadi ladang pertempuran baru, proxy war di Amerika Latin, tempat Washington dan mungkin Moskow atau Beijing saling mengukur kekuatan. Apa jadinya bila Karibia menjadi Ukraina kedua? Dampaknya bukan hanya bagi Caracas, tapi seluruh kawasan.

Yang lebih mencemaskan adalah efek domino. Ketegangan ini bisa memicu migrasi lebih besar ke Kolombia dan Brasil. Lalu, konflik sosial di negara tetangga pun bisa meningkat. Kita tahu, ketika gelombang pengungsi datang, selalu ada yang bersolidaritas, tapi juga ada yang menolak. Gesekan sosial tak terhindarkan. Dan ironinya, yang memicu semua ini justru negara yang paling sering berbicara tentang stabilitas: Amerika Serikat. Stabilitas macam apa yang ingin mereka jaga kalau awalnya saja sudah dengan mengirim kapal perusak?

Kita bisa melihat semua ini sebagai drama besar, di mana panggungnya Karibia, aktornya adalah Maduro dan Trump, sementara rakyat Venezuela menjadi penonton yang tak bisa keluar dari teater. Mereka dipaksa menonton, bahkan ikut membayar tiket dengan penderitaan. Sementara dunia internasional terbelah: ada yang ikut bersorak mendukung intervensi, ada yang menutup mata, ada pula yang hanya menghela napas panjang. Kita di Indonesia tentu paham rasanya jadi bangsa yang pernah dianggap tak berdaulat, dipermainkan oleh kepentingan asing. Maka, sulit rasanya untuk tidak bersimpati, meski kita pun tahu Maduro punya banyak dosa.

Saya rasa, apa yang terjadi di Venezuela adalah pelajaran pahit tentang betapa rapuhnya konsep kedaulatan ketika berhadapan dengan kekuatan militer global. Kita semua tahu, dalam peta besar geopolitik, negara kecil sering kali hanya bidak catur yang digeser sesuka hati. Dan ketika kapal-kapal perang sudah berlayar, ketika rudal sudah siap ditembakkan, diskusi tentang demokrasi dan hak asasi manusia mendadak tak lagi terdengar. Yang ada hanya suara mesin, desingan senjata, dan ratapan rakyat kecil.

Pada akhirnya, saya ingin menutup dengan sebuah ironi sederhana: Amerika datang dengan kapal perang atas nama melawan narkoba, sementara di jalanan kota-kota mereka sendiri, krisis fentanyl tetap merenggut nyawa setiap hari. Maduro berteriak soal kedaulatan, padahal legitimasi dirinya di mata rakyat juga pincang. Dunia pun terjebak dalam absurditas: siapa sebenarnya kriminal, siapa korban, siapa penyelamat? Pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah dijawab tuntas. Tapi satu hal yang pasti: setiap kali meriam berbicara, demokrasi justru makin sulit bernapas.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer