Opini
Apakah Turki Mengulang Kesalahan Zionis di Suriah?

Di tengah kabut konflik Suriah yang tak kunjung reda, langkah Turki semakin menjadi sorotan. Serangan udara ke wilayah yang dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF) disebut-sebut sebagai langkah melindungi keamanan nasional. Namun, benarkah narasi ini cukup untuk membenarkan pelanggaran kedaulatan negara tetangga? Atau, apakah ini hanya pengulangan kisah lama yang sering kita saksikan di Timur Tengah?
Israel, atau lebih tepatnya rezim zionis, kerap menggunakan dalih keamanan nasional untuk menyerang Gaza, Lebanon, hingga Suriah. Serangan ini dianggap langkah pencegahan terhadap ancaman dari kelompok perlawanan. Namun, dunia tahu bahwa alasan ini sering kali digunakan untuk mengokupasi lebih banyak wilayah. Ironisnya, Turki kini tampaknya sedang berjalan di jalan yang sama.
Dalam retorika politiknya, Turki menegaskan bahwa SDF memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), organisasi yang dianggap teroris oleh Ankara. Dalih ini digunakan untuk membenarkan serangan lintas perbatasan. Tetapi, jika alasan keamanan nasional menjadi standar, maka apa bedanya Turki dengan zionis yang menghancurkan Gaza atas nama keamanan mereka?
Laporan-laporan internasional mencatat, serangan Turki telah menargetkan infrastruktur sipil. Bukankah ini juga sering kita dengar dari laporan serangan zionis ke Gaza? Penghancuran atas nama keamanan nasional selalu meninggalkan luka mendalam bagi penduduk sipil. Serangan ini juga menambah daftar panjang pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh negara-negara kuat terhadap yang lemah.
Jika alasan keamanan menjadi pembenaran, maka di mana batasnya? Zionis menyerang Gaza dengan alasan roket Hamas. Turki menyerang SDF dengan alasan ancaman PKK. Apakah dunia kini harus menerima bahwa pelanggaran kedaulatan dapat dibenarkan selama ada narasi ancaman? Jika ya, maka selamat datang di era hukum rimba yang diperhalus dengan retorika politik.
Langkah Turki juga menciptakan paradoks baru. Di satu sisi, Turki mengklaim sebagai pendukung utama perjuangan Palestina melawan agresi zionis. Namun, di sisi lain, mereka sendiri melanggar kedaulatan Suriah, sama seperti yang dilakukan zionis di Gaza. Apakah Turki lupa bahwa pelanggaran ini bisa menjadi preseden buruk yang menghancurkan kredibilitas mereka di mata dunia Islam?
Tidak hanya itu, serangan Turki juga memberikan keuntungan tak langsung bagi kelompok seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) yang kini menjadi penguasa de facto di Suriah. HTS, dengan ideologi ekstremisnya, jelas bukan sekutu yang diharapkan oleh Turki. Namun, dengan melemahkan SDF, bukankah Turki secara tidak langsung memperkuat posisi HTS? Paradoks ini membuat langkah Ankara semakin sulit untuk dibenarkan.
Seorang analis pernah berkata, jika alasan keamanan nasional dibiarkan tanpa batas, maka tidak ada lagi negara yang aman dari invasi. Zionis memulai pola ini di Gaza, dan kini Turki tampaknya melanjutkan di Suriah. Dengan dalih yang sama, siapa yang bisa menghentikan negara lain untuk melakukan hal serupa di masa depan?
Pertanyaan yang harus dijawab oleh Ankara adalah ini: apakah keamanan nasional benar-benar terancam, atau ini hanya langkah politik untuk memperkuat posisi domestik Erdogan? Dengan ekonomi Turki yang sedang tertekan, langkah agresif di Suriah tampaknya juga dirancang untuk mengalihkan perhatian dari masalah internal. Sebuah taktik yang lagi-lagi, terasa sangat familiar.
Jika Turki ingin membedakan dirinya dari zionis, mereka harus berhenti menggunakan dalih yang sama untuk melanggar hukum internasional. Keamanan nasional adalah isu penting, tetapi tidak bisa digunakan sebagai tameng untuk melanggar kedaulatan negara lain. Dunia Muslim butuh pemimpin yang konsisten, bukan yang menyerupai musuh yang mereka lawan.
Dalam catatan sejarah, agresi atas nama keamanan selalu meninggalkan luka yang dalam. Gaza telah menjadi bukti nyata bagaimana dalih ini menghancurkan kehidupan jutaan orang. Suriah kini menghadapi ancaman yang sama dari Turki. Dunia harus bertanya: apakah kita akan membiarkan sejarah kelam ini terus berulang? Atau, bisakah kita menghentikan roda kebohongan ini sebelum terlambat?