Connect with us

Opini

Apakah Kalian Para Jurnalis Masih Punya Nurani?

Published

on

Abed Shaat terbangun oleh ledakan di Khan Younis. Tenda jurnalis di depan Rumah Sakit Nasser—markas daruratnya bersama rekan-rekan dari Palestine Today—ludes oleh serangan udara zionis. Ia menyaksikan Hilmi al-Faqaawi terbakar hidup-hidup, Hassan Eslaih terluka parah, dan lebih dari 200 jurnalis gugur sejak Oktober 2023. Tapi dunia diam. “Apakah ada yang peduli?” tanyanya—suara yang menembus puing-puing Gaza menuju telinga dunia yang tuli, nyaman, dan terlalu sibuk untuk merasa bersalah.

Bayangkan menjadi Shaat: tangan terbakar, kamera hangus, mata baru saja melihat kolega berubah jadi obor manusia. Ia bertanya, “Apa ada yang lebih mengerikan dari ini yang bisa menggerakkan dunia?”—kepada semesta yang lebih terguncang oleh putusnya pasangan selebriti daripada 50.700 nyawa—sepertiganya anak-anak—yang dikubur di bawah reruntuhan Gaza. Tapi betapa nyamannya kita di luar Gaza, menyeruput kopi sambil menonton kematian seperti serial Netflix: selalu ada episode baru, tapi tak ada air mata.

Kepada kalian—jurnalis dunia yang duduk di kantor ber-AC, menulis opini ringan soal tren TikTok dan debat capres, dengarkan jeritan Shaat sebagai tamparan keras. Lebih dari 207 jurnalis terbunuh. Angka itu bukan statistik, tapi mayat yang kalian abaikan. Zionis membakar al-Faqaawi dan Yousef al-Khazindar, melukai Eslaih yang punya 571.000 pengikut—tapi tak satu pun headline besar muncul. Tak ada suara menggema. Hanya keheningan yang memalukan.

Kalian—yang bangga dengan lencana “kebebasan pers” di konferensi mewah, dengan latar belakang spanduk human rights—di mana kalian saat Rumah Sakit Nasser dibombardir? Ketika Committee to Protect Journalists menyebut 70% jurnalis yang tewas di dunia 2024 berasal dari Gaza, kalian masih sibuk mengejar engagement lewat skandal influencer. IDF bilang itu demi “menangkap” Eslaih—tapi bom tak tanya identitas, dan kalian tak tanya apa pun.

Shaat, dengan luka bakar dan trauma yang tak akan sembuh, berlari menyelamatkan rekan-rekannya dari api. Sementara kalian di London, New York, atau Jakarta, menulis berita ringan soal cuaca ekstrem dan gaya hidup sehat. Shaat menyaksikan kebenaran yang dia junjung dibakar hidup-hidup, sementara kalian memilih bungkam—seolah 207 nyawa itu tak lebih dari angka di papan presentasi tahunan.

Kata Jad Shahrour dari Samir Kassir Foundation, ini adalah pola penargetan jurnalis. Tapi kalian, para “penjaga demokrasi”, menuliskan klaim IDF mentah-mentah, tanpa satu pun kata “bukti.” Mobil media, rumah wartawan, tenda berlogo pers—dihancurkan. Tapi tak ada petisi massal, tak ada tekanan global, tak ada pena kalian yang bergerak untuk rekan seprofesi. Di manakah nyali kalian?

Bayangkan ini terjadi di kota kalian—tenda media dibom di Times Square atau Trafalgar Square, tubuh rekan kerja hangus di depan kalian, dan dunia diam. Kalian akan berteriak “pelanggaran HAM!”—tapi untuk Gaza, kalian hanya berbisik, atau lebih parah: mengganti saluran.

Reporters Without Borders sedang menyelidiki. Syukurlah ada yang bekerja. Tapi kalian? Tak ada editorial, tak ada mogok simbolik, tak ada ancaman boikot, seolah Gaza terlalu “tidak menguntungkan” untuk dijadikan pembelaan.

Shaat bertanya, untuk siapa ia bertaruh nyawa? Jawabannya seharusnya: untuk kalian—jurnalis global yang punya mikrofon, kamera, dan platform. Tapi kalian pakai itu untuk drama ringan, bukan untuk jeritan 571.000 pengikut Eslaih yang kini kehilangan mata. Kalian punya panggung, tapi kalian lebih tertarik jadi pemandu sorak sistem yang membungkam rekan sendiri.

207 jurnalis tewas dalam 18 bulan. Lebih dari 10 per bulan. Di medan kerja mereka. Itu bukan kecelakaan. Itu strategi. Zionis tak suka kebenaran. Dan kalian bantu mereka dengan diam kalian. “Kami tak tahu siapa giliran berikutnya,” kata Shaat. Tapi kalian tahu. Kalian hanya tak cukup peduli untuk membuatnya berhenti. Tak cukup peduli untuk menulis sampai dunia tak bisa berpaling.

Oh, betapa heroiknya kalian saat Hari Kebebasan Pers—posting di Instagram dengan caption berbunga: “Freedom is not free.” Tapi Gaza menunjukkan: yang tidak gratis itu nyawa, bukan kuota internet kalian. Palestinian Journalists Syndicate menyerukan akuntabilitas. Tapi kalian? Sibuk deadline artikel clickbait dan berita soal selebritis.

Shaat tak bisa memegang kamera lagi. Tapi kalian masih bisa. Masih bisa merekam, menulis, menyebar. Tapi kalian pilih aman. Gaza dianggap “terlalu rumit,” “terlalu politik,” atau “tak laku.” Padahal jika kalian bersatu—dari BBC, CNN, sampai media kampus—dunia pasti dengar. Tapi kalian pilih diam. Dan diam kalian, adalah suara paling keras dalam pembantaian ini.

Shaat melihat api memakan kebenaran. Kalian memakan privilege. Dia mempertaruhkan nyawa untuk cerita. Kalian mempertaruhkan cerita demi kenyamanan. “Apakah ada yang lebih mengerikan dari ini?” tanyanya.

Saya jawab: ya. Ketidakpedulian kalian.

Yang membiarkan 207 nyawa hilang tanpa gaung. Tanpa perlawanan. Tanpa setetes tinta solidaritas.

Ini bukan sekadar seruan. Ini tuduhan. Kalian, pemilik pena dan mikrofon dunia, gagal pada Shaat, al-Faqaawi, Eslaih, dan 204 lainnya. Gaza tak butuh simpati sambil lalu. Gaza butuh sorak solidaritas. Butuh tulisan yang menyentak. Butuh suara kalian—atau akui saja: kalian hanya pengamat pasif dalam pembantaian yang kalian sebut terlalu jauh untuk disentuh.

Jika 207 nyawa tak cukup menggerakkan kalian, apa lagi?

Shaat tak bisa bekerja lagi. Tapi kalian bisa—dan harus. Jangan biarkan pertanyaannya menggantung di langit Gaza: “Apakah ada yang peduli?”

Karena setiap detik diam kalian… adalah persetujuan diam-diam atas bom berikutnya.

 

*Sumber:

https://www.aljazeera.com/features/2025/4/7/targeted-killed-burned-alive-journalists-in-gaza-attacked-by-israel

https://www.theguardian.com/world/2025/apr/07/israeli-airstrike-on-camp-within-hospital-complex-in-gaza-kills-people

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *