Connect with us

Opini

Apakah Ini Akhir Kejayaan Industri Otomotif Jerman?

Published

on

Ada sesuatu yang ironis dalam kabar dari Eropa: negeri yang selama puluhan tahun dielu-elukan sebagai kiblat rekayasa otomotif, kini justru menjadi panggung utama dari sebuah drama kehilangan. Jerman, dengan Mercedes-Benz, Volkswagen, Audi, BMW, Porsche—nama-nama yang dulu membuat kita terpana dan iri—kini harus menerima kenyataan pahit. Lebih dari 51 ribu pekerjaan lenyap hanya dalam waktu setahun. Angka itu bukan sekadar statistik kering. Itu adalah potret keluarga yang kehilangan mata pencaharian, anak-anak yang mendengar percakapan orang tuanya soal penghematan, dan generasi muda yang mendapati pintu industri impiannya semakin tertutup rapat.

Kita sering membayangkan Jerman sebagai mesin raksasa Eropa: presisi, kuat, nyaris tak tergoyahkan. Tetapi laporan terbaru dari EY membuka tabir bahwa mesin itu kini mulai batuk-batuk. Sejak 2019, sebelum dunia porak-poranda oleh pandemi, lebih dari 112 ribu pekerjaan di sektor otomotif Jerman lenyap, dan hampir setengahnya hilang hanya dalam 12 bulan terakhir. Artinya, kejatuhan ini bukan pelan, melainkan kian menukik curam. Saya rasa, bila ini sebuah pesawat, lampu tanda darurat sudah menyala, dan penumpang diminta bersiap dengan masker oksigen.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mengapa bisa sampai sejauh ini? Jawabannya ada di luar perbatasan Jerman, di dua pasar yang dulu menjadi penyelamat sekaligus kini menjelma bumerang: Amerika Serikat dan China. Amerika, yang selama ini menjadi pasar tunggal terbesar, kini mengatupkan pintunya lebih rapat dengan tarif baru 15 persen untuk mobil. Keputusan politik Presiden Donald Trump mungkin terdengar seperti permainan angka di meja perundingan dagang, tapi bagi buruh pabrik di Stuttgart, itu berarti ancaman kehilangan upah bulan depan. Di sisi lain, China yang dulu memberi margin besar untuk pabrikan Jerman, kini berbalik arah. Pasar yang dulunya seperti tambang emas, kini menjadi gurun pasir.

China bukan lagi pembeli setia, melainkan kompetitor sengit. Mobil listrik murah, efisien, dan diproduksi dengan kecepatan yang membuat kepala pusing, kini mendominasi jalanan Beijing, Shanghai, hingga kota-kota kelas dua yang dulu dipenuhi sedan Jerman. Ketika Eropa masih sibuk berdebat soal regulasi transisi energi, China sudah memimpin parade mobil listrik. Jadi, yang terjadi bukan sekadar penurunan permintaan, melainkan pergeseran paradigma. Dan Jerman—yang selama ini bangga dengan mesin pembakaran internal—seperti tersandung dalam perlombaan baru.

Ironinya semakin terasa ketika pemangkasan biaya besar-besaran justru dimulai dari dalam negeri, bukan dari pabrik-pabrik luar negeri. Mercedes-Benz, Volkswagen, Audi, Bosch, Continental, ZF, Porsche—semua meluncurkan program penghematan. Dan yang pertama kali terkena imbas adalah pusat-pusat riset, manajemen, dan rekayasa di Jerman sendiri. Artinya, bukan hanya buruh kasar di pabrik yang terancam, tetapi juga insinyur-insinyur brilian yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa. Jika otak industri pun ikut dipangkas, maka siapa yang akan menyalakan kembali mesin inovasi itu?

Saya tidak bisa tidak membayangkan situasi ini dengan analogi sederhana: rumah besar yang megah, dengan tiang kokoh dan dinding elegan, tetapi atapnya bocor parah. Alih-alih memperbaiki atap, sang pemilik malah menjual perabotan mewah di dalam rumah untuk menutup biaya sehari-hari. Begitulah industri otomotif Jerman sekarang: memotong biaya di dalam negeri, sementara ancaman dari luar kian deras.

Yang paling getir adalah dampaknya bagi generasi muda. EY memperingatkan bahwa pasar kerja untuk insinyur muda kini kian sempit. Pabrik yang dulu menyerap lulusan universitas dengan cepat, kini menutup pintunya rapat-rapat. Ada kalimat yang menohok: “Kita akan melihat pengangguran di kalangan lulusan universitas, sesuatu yang Jerman sudah lama tidak alami.” Bayangkan, negara yang dulu dianggap surga bagi insinyur kini bisa menelurkan lulusan tanpa masa depan. Betapa ironis, sebuah bangsa yang terkenal dengan “Ingenieurkunst” (seni rekayasa) kini malah membuat para insinyurnya berdesakan mencari celah di pasar kerja.

Apakah ini berarti Jerman bangkrut? Tidak. Tetapi jelas ini adalah kemunduran struktural. Bukan resesi biasa, bukan badai musiman. Lebih tepat disebut sebagai krisis eksistensial dalam industri otomotifnya. Dan dalam sejarah, bangsa yang terlambat beradaptasi pada revolusi teknologi selalu terancam kehilangan kejayaannya. Inggris pernah kehilangan supremasi industrinya pada abad 20. Amerika kini cemas dikejar China dalam banyak bidang. Jerman, jika terus berjalan di jalur ini, bisa masuk dalam daftar bangsa yang kehilangan mahkota karena terlalu lama berpegang pada kejayaan masa lalu.

Mari kita tarik ke konteks lokal. Indonesia, dengan industri otomotif yang masih lebih banyak jadi pasar ketimbang produsen, mungkin merasa aman. Tapi sebenarnya, kita sedang menonton film trailer masa depan. Jika Jerman yang kuat saja bisa terjungkal, apa kabar negara lain yang masih berjuang membangun basis industri? Pelajaran terbesarnya jelas: jangan terlena dengan kejayaan yang sudah ada. Revolusi teknologi—mobil listrik, baterai, kecerdasan buatan—tidak menunggu siapa pun. Mereka yang bergerak lambat akan tersingkir, tanpa peduli seberapa besar nama mereka di masa lalu.

Saya rasa, inilah momen yang menuntut kejujuran brutal dari Jerman. Apakah mereka siap membongkar ulang strategi, berinvestasi besar di sektor baru, dan merelakan ego lama tentang mesin pembakaran yang megah? Atau mereka memilih mempertahankan status quo, sambil berharap pasar ajaib akan kembali? Pilihan pertama menyakitkan, penuh risiko, tapi memberi harapan. Pilihan kedua lebih nyaman, tetapi bisa membawa pada kehancuran perlahan.

Kita semua tahu, kejayaan tidak pernah abadi. Sama seperti pohon yang tumbuh besar lalu meranggas, industri pun punya siklus hidup. Pertanyaannya, apakah Jerman akan membiarkan dirinya meranggas sampai kering, atau menanam tunas baru sebelum terlalu terlambat? Saya pribadi ingin percaya bahwa bangsa yang pernah membangun kembali dirinya dari puing-puing Perang Dunia II tidak akan menyerah begitu saja. Tetapi keyakinan itu harus dibayar dengan langkah nyata, bukan sekadar nostalgia akan kejayaan masa lalu.

Dan bagi kita yang menonton dari jauh, ada pelajaran yang tak kalah penting: jangan pernah menganggap kokohnya hari ini akan menjamin esok. Dunia bergerak terlalu cepat. Satu dekade lalu, siapa sangka mobil listrik buatan China bisa menaklukkan pasar global? Siapa sangka tarif politik di Washington bisa mengguncang pabrik di Jerman? Semua hal yang dulu dianggap mustahil kini terjadi di depan mata.

Mungkin benar, ini bukan akhir total bagi industri otomotif Jerman. Tetapi jelas, ini adalah akhir dari sebuah bab kejayaan yang dulu seakan tak tergoyahkan. Bab baru telah dimulai, dan entah Jerman memilih menjadi protagonis atau hanya figuran, sejarah sedang menuliskannya hari ini.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer