Opini
Apakah AS Masih Peduli dengan Warganya?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Amerika Serikat, tanah kebebasan dan peluang, kini menjadi panggung komedi tragis yang memparodikan dirinya sendiri. Di satu sisi, kita menyaksikan kebanggaan seorang “pemimpin dunia” yang mengirimkan miliaran dolar untuk mendanai perang di Ukraina, seolah menjadi penjaga demokrasi global. Namun di sisi lain, di jalan-jalan kota besar seperti New York, Los Angeles, dan Chicago, rakyatnya sendiri tak memiliki tempat berteduh selain trotoar yang dingin dan berbau pesing. Ironis? Tentu saja. Menyakitkan? Lebih dari itu.
Tahun ini, angka tunawisma di Amerika melesat 18,1 persen, membawa total jumlah warga yang kehilangan tempat tinggal menjadi lebih dari 770 ribu. Jumlah ini bahkan belum menghitung mereka yang terpaksa tidur di sofa rumah teman atau saudara karena tak mampu membayar sewa yang kian tak masuk akal. HUD, badan yang bertanggung jawab atas perumahan, menyalahkan krisis ini pada bencana alam, migrasi, dan melonjaknya biaya hidup. Tapi apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah untuk menahan laju kehancuran ini? Jawaban mereka adalah kalimat-kalimat klise penuh janji kosong: “Kami berkomitmen untuk memastikan setiap keluarga memiliki akses ke perumahan yang terjangkau.” Komitmen macam apa yang membuat hampir 150 ribu anak-anak tidur di jalanan pada malam tertentu?
Namun tunggu, di tengah tangisan anak-anak yang kelaparan dan keluarga yang hancur, AS dengan bangga mengumumkan bantuan militer baru untuk Ukraina senilai $1,25 miliar. Ya, miliar. Angka yang cukup besar untuk membangun ribuan rumah, memberikan layanan kesehatan mental, atau bahkan sekadar membantu orang-orang ini berdiri kembali di atas kaki mereka sendiri. Tetapi tidak, bantuan itu diarahkan untuk membeli senjata canggih seperti Stinger dan HAWK, karena rupanya, keamanan Ukraina lebih penting daripada kehidupan rakyat Amerika.
Mengapa tunawisma merajalela? Kenapa keluarga-keluarga jatuh ke dalam jurang kemiskinan? Mungkin karena pemerintah lebih tertarik bermain perang daripada memperbaiki fondasi rumahnya sendiri. Sementara kota-kota besar menggusur para tunawisma dengan dalih “menciptakan lingkungan yang bersih,” mereka lupa bahwa orang-orang ini tidak lenyap begitu saja. Mereka hanya bergeser, lebih jauh dari pandangan, seolah-olah masalah itu selesai dengan menyingkirkan saksi mata.
Dan ketika kritik datang, para elit politik di Washington mengangkat bahu. Mereka mengutip alasan “keamanan nasional” atau “komitmen internasional,” seolah-olah rakyat biasa harus memahami bahwa mendukung Ukraina adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik. Investasi? Bukankah lebih masuk akal untuk berinvestasi pada orang-orang yang sudah ada di dalam perbatasan negara ini?
Ini bukan hanya masalah prioritas. Ini adalah soal moralitas. Sementara veteran perang yang dulu berjuang untuk negeri ini dibiarkan hidup dalam kemiskinan, pemerintah dengan ringan hati membuka buku cek untuk mendanai konflik yang jaraknya ribuan mil dari rumah. Ya, veteran tunawisma memang turun 8 persen tahun ini. Sebuah pencapaian kecil yang disambut dengan tepuk tangan meriah, sementara angka keluarga tunawisma melonjak hampir 40 persen. Tidak apa-apa, kan? Toh, selama statistik turun di satu kategori, kita bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Mungkin ini semua hanyalah pengalihan perhatian. Ketika masalah dalam negeri menjadi terlalu besar untuk diatasi, lebih mudah untuk memalingkan mata ke luar negeri. Ukraina menjadi simbol “kepahlawanan” Amerika di panggung dunia, sementara di panggung domestik, kita hanya melihat kebijakan yang setengah hati, penuh janji kosong, dan sama sekali tidak menyentuh akar masalah.
Jadi, apakah AS masih peduli dengan warganya? Pertanyaan ini lebih dari sekadar retorika. Jawabannya jelas terlihat di tenda-tenda darurat, shelter yang penuh sesak, dan anak-anak yang kehilangan harapan. Jika kebijakan luar negeri adalah cerminan dari prioritas pemerintah, maka rakyat Amerika hanyalah pemeran figuran dalam drama besar yang disebut “demokrasi global.” Bukankah ironi ini sangat Amerika?