Opini
Antara Damaskus dan Sweida: Apa yang Tersisa dari Sebuah Revolusi?

Ketika suara tembakan bergema di selatan Suriah, di Sweida, dan dentuman ledakan membelah malam, dunia seolah diam. Tidak ada headline besar, tidak ada breaking news di layar kaca. Namun pada Jumat yang muram itu, transisi politik yang digadang-gadang akan menyelamatkan negeri itu justru terseret lebih dalam ke dalam pusaran kekerasan. Pernyataan resmi dari Kepresidenan Transisi Suriah datang seperti sehelai kain putih di tengah medan perang: mengecam kekerasan, menyerukan hukum dan keadilan, mengutuk teror terhadap perempuan dan anak-anak. Tapi seruan moral seringkali terdengar terlalu sunyi di tengah deru senjata.
Pemerintah sementara Suriah menyebut bahwa yang bertanggung jawab atas kekacauan ini adalah kelompok-kelompok bersenjata di luar hukum. Mereka, menurut pernyataan tersebut, tak hanya mengancam nyawa warga sipil, tapi juga merobek tenunan sosial Suriah yang rapuh. Namun apakah cukup hanya dengan menunjuk pelaku? Apakah cukup dengan merilis kalimat-kalimat normatif di saat tubuh-tubuh warga masih terbujur di jalanan Sweida? Menariknya, pemerintahan transisi ini sendiri baru terbentuk tak lama setelah kejatuhan Bashar al-Assad pada Desember 2024, dalam satu peristiwa yang sebelumnya dirayakan sebagai titik balik sejarah Suriah.
Ahmad al-Sharaa, atau yang dikenal lebih luas sebagai Abu Jolani, tokoh kontroversial yang sebelumnya memimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), kini memimpin negara dalam status transisi. Banyak yang berharap dengan kejatuhan Assad, Suriah akan beranjak dari reruntuhan. Tetapi enam bulan berselang, Sweida justru menjadi simbol dari kegagalan kolektif itu. Dengan lebih dari 650 korban jiwa, dan laporan terbaru dari Syrian Observatory for Human Rights yang menyebut angka kematian sudah mencapai 718, krisis ini bukan hanya tentang konflik sektarian antara Druze, Badui, dan tentara pemerintah, tapi tentang porak-porandanya harapan rakyat akan masa depan.
Pemerintahan transisi, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa membalas kekacauan dengan kekacauan bukanlah jalan keluar. Bahwa hukum harus dibela dengan hukum, bukan dengan balas dendam. Tetapi pernyataan-pernyataan semacam ini, meski terdengar benar, tidak menjelaskan mengapa dalam sistem transisi yang mestinya menjanjikan kedamaian, justru kekerasan membuncah. Bahkan institusi keagamaan tertinggi seperti Dewan Fatwa Suriah ikut bersuara, menolak pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak, menyerukan persatuan, dan memperingatkan agar rakyat tidak mencari kekuatan melalui musuh: Israel. Ini adalah sinyal bahwa konflik bukan hanya berdimensi politik, tapi juga mengguncang moral kolektif.
Pada saat yang sama, utusan khusus Amerika Serikat untuk Suriah, Tom Barrack, mengumumkan tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Israel, Suriah, dan AS. Di masa lalu, kabar semacam ini akan terdengar mustahil—terutama di era Bashar al-Assad yang secara terbuka memusuhi Israel. Namun di era Ahmad al-Sharaa, yang lebih pragmatis dan cenderung membuka pintu normalisasi, hal ini tampaknya menjadi bagian dari poros diplomasi baru Suriah. Meski belum diumumkan secara terang-terangan, arah politik luar negeri Suriah kini tampak lebih lunak terhadap Zionis, dan hal itu menimbulkan beragam reaksi dari dalam negeri.
Tapi kenyataannya, kesepakatan itu diumumkan sebagai “terobosan diplomatik,” dan disebut didukung oleh Turki, Yordania, serta negara-negara tetangga Suriah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin gencatan senjata yang disebut sebagai hasil kompromi dengan Israel justru diterima dan dirayakan oleh pemerintahan transisi yang menolak intervensi asing? Apakah ini bentuk realisme politik baru, atau justru pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip kedaulatan?
Presiden interim al-Sharaa sendiri, dalam pidatonya, menyalahkan intervensi asing dan agresi Israel sebagai salah satu penyebab utama pecahnya kekerasan baru di Sweida. Ia menyebut bahwa Suriah mendapat tekanan internasional untuk bertindak, dan bahwa serangan Israel terhadap wilayah selatan dan Damaskus telah memperkeruh situasi. Namun kontradiksi muncul ketika di waktu yang sama, ia memuji peran Amerika Serikat dalam membantu mengamankan gencatan senjata. Maka publik bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang memegang kendali atas arah politik Suriah saat ini?
Tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat transisi berubah menjadi tragedi. Dalam konteks Indonesia, kita pernah punya masa transisi penuh gejolak pasca-Orde Baru, tapi setidaknya, ada jalan menuju stabilitas, meski tidak tanpa luka. Suriah tampaknya tidak seberuntung itu. Transisinya tidak dibangun oleh konsensus nasional, tidak ditopang oleh struktur sipil yang kuat, dan lebih buruk lagi—dinaungi oleh figur-figur yang lahir dari medan perang, bukan dari proses demokratis. Di titik ini, mungkin kita harus mulai bertanya, seperti yang banyak rakyat Suriah rasakan kini: apakah ini transisi, atau hanya pergantian seragam kekuasaan?
Sweida adalah salah satu wilayah yang dihuni mayoritas Druze, kelompok minoritas yang selama ini relatif netral dalam konflik panjang Suriah. Namun dalam beberapa tahun terakhir, wilayah ini mulai menjadi titik gesekan baru antara tentara pemerintah dan kelompok-kelompok lokal bersenjata. Kini, dengan keterlibatan faksi-faksi Badui dan milisi lainnya, serta intervensi militer oleh pasukan pemerintah, kawasan itu berubah menjadi arena pertempuran brutal. Bahkan Kementerian Penanganan Darurat Suriah menyebut situasinya sebagai bencana kemanusiaan.
Menurut laporan, pasukan khusus pemerintah kini mulai dikerahkan untuk menstabilkan kondisi, memfasilitasi akses bantuan, dan menengahi konflik. Tetapi dalam sejarah konflik Suriah, kehadiran pasukan negara tidak selalu membawa rasa aman. Dalam banyak kasus, justru menambah kompleksitas dan memicu perlawanan lebih besar. Sementara itu, rakyat sipil tetap menjadi korban utama. Anak-anak yang kehilangan orang tuanya, perempuan yang terpaksa mengungsi, warga yang hidup dalam ketakutan akan peluru nyasar atau bom dadakan. Semua ini menciptakan trauma kolektif yang belum tentu bisa sembuh meski perang mereda.
Ada yang menyebut bahwa ini bukan pengkhianatan terhadap revolusi Suriah, tapi lebih tepat disebut revolusi yang belum selesai. Revolusi yang belum menemukan arah kolektif, belum berhasil mengubah struktur kekuasaan dari akar, dan belum melibatkan rakyat sebagai subjek aktif dalam perubahan. Jika revolusi 2011 dimulai dengan tuntutan sederhana—roti, kebebasan, dan keadilan—maka kini, yang tersisa hanya puing-puing dari tuntutan itu. Dalam enam bulan terakhir, bukan hanya Assad yang tumbang. Harapan akan perubahan pun mulai ikut goyah.
Kita di Indonesia, dari jauh, sering kali melihat Suriah hanya sebagai potret konflik atau tema dalam khutbah Jumat. Tapi Suriah bukan sekadar narasi perang Timur Tengah. Suriah adalah cermin retak dari dunia modern: ketika transisi dilakukan tanpa landasan demokrasi, ketika rakyat hanya jadi alat dalam permainan geopolitik, dan ketika kekuasaan lebih sering diperebutkan dengan senjata daripada dengan pemilu. Apa yang terjadi di Sweida hari ini, adalah peringatan bagi siapa saja yang percaya bahwa pergantian rezim otomatis akan membawa kedamaian.
Maka kini, pertanyaan yang muncul bukan lagi: siapa yang menang? Tapi lebih dalam dari itu—apa yang tersisa dari revolusi? Dan siapa yang akan memikul beban sejarah ini ke depan? Sweida mungkin akan tenang lagi dalam beberapa minggu. Tapi luka itu tetap terbuka, dan revolusi, seperti yang dikatakan banyak aktivis muda Suriah, belum benar-benar dimulai. Sebab revolusi sejati bukan tentang menjatuhkan seorang diktator, tapi membangun sebuah masyarakat yang adil, setara, dan manusiawi—dan itu, sejauh ini, belum tampak di cakrawala Damaskus.
Sumber:
- https://english.almayadeen.net/news/politics/syrian-presidency-vows-to-restore-stability-through-law-in-s
- https://english.almayadeen.net/news/politics/us-special-envoy-says-ceasefire-reached-between-al-sharaa–n
- https://english.almayadeen.net/news/politics/syria-declares-sweida-ceasefire–al-sharaa-blames-israeli-ag