Opini
Ansarullah Menulis Ulang Hukum di Laut Merah

Sebuah kapal kargo berbendera Liberia, Eternity C, ditembaki di Laut Merah. Dua kru terluka, dua lainnya hilang. Sehari sebelumnya, kapal lain bernama Magic Seas diserang dan ditenggelamkan. 22 awaknya terpaksa meninggalkan kapal di tengah hantaman drone, peluru, dan roket. Kedua kapal itu milik Yunani, bagian dari lalu lintas dagang global yang selama ini menganggap Laut Merah hanya sebagai koridor untung-rugi. Tapi rupanya, tak semua melihatnya begitu datar. Ada yang memandang laut sebagai panggung perlawanan. Dan namanya: Ansarullah.
Tak lama setelah serangan itu, jet-jet tempur Israel menggempur pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Houthi di Yaman. Mereka mengklaim pelabuhan itu digunakan untuk menyuplai senjata dari Iran. Mereka juga menyerang kapal Galaxy Leader, yang telah lama mereka tinggalkan, tapi kini dianggap “mengancam” karena jadi pusat radar maritim. Israel, dalam gaya dramatis khasnya, menyebut tindakan itu sebagai “memotong tangan siapa pun yang mengangkat tangan pada kami.” Entah itu metafora atau sekadar ancaman standar rezim yang gemar memutilasi hukum internasional.
Dunia pun kembali gaduh. Tapi anehnya, bukan karena kapal dagang dipersenjatai atau karena genosida di Gaza masih berlangsung, melainkan karena Houthi—atau Ansarullah, begitu mereka menyebut diri mereka—berani menembak kapal dagang. Ya, dunia tak pernah benar-benar peduli soal siapa yang terbunuh di Khan Younis, tapi sangat gelisah jika satu kapal pengangkut kontainer disulut roket di Bab al-Mandab. Betapa dunia ini begitu murah hati pada investasi, dan begitu pelit pada nilai-nilai.
Mereka menyebut Ansarullah sebagai pelanggar hukum internasional. Tapi kita tahu, itu hanya bahasa sopan untuk mengatakan: “kalian tak punya izin dari Barat.” Karena pelanggaran hukum internasional yang sesungguhnya—seperti pembantaian di Gaza, pendudukan brutal di Tepi Barat, atau embargo kolektif atas jutaan orang Yaman—itu semua dianggap “kompleks,” “sensitif,” atau yang paling klise: “memerlukan pendekatan diplomatik.”
Barat, dengan seluruh perangkat moral dan medianya, menatap Laut Merah bukan dengan rasa malu, melainkan dengan amarah. Bagi mereka, sungguh keterlaluan bila ada kelompok bersenjata yang mengacaukan lalu lintas dagang global hanya demi membela rakyat Palestina. Bagi mereka, Gaza itu penting… tapi tidak sepenting jalur pelayaran yang mengangkut kontainer berisi iPhone, kargo baja, dan kedelai transgenik dari Asia. Empati Barat, seperti juga hukumnya, punya hierarki: investasi dulu, kemanusiaan nanti.
Ansarullah paham itu. Mereka tahu bahwa dunia tak akan bergerak hanya karena melihat anak-anak Gaza terbakar fosfor. Tapi jika sebuah kapal komersial terkena roket, maka wartawan CNN langsung siaga, para menteri luar negeri langsung gelisah, dan Pentagon langsung rapat darurat. Maka mereka menembak bukan sekadar untuk menenggelamkan kapal, tapi untuk mengguncang absurditas dunia yang telah lama beku di dasar hipokrisi.
Mereka tak sedang bermain-main dengan senjata. Mereka sedang memainkan satu-satunya kartu yang dimiliki orang-orang tertindas: keberanian untuk berkata “tidak” meski tahu konsekuensinya bisa mematikan. Mereka tahu akan dibombardir, diberi sanksi, dicap teroris, bahkan diburu dengan rudal dari langit. Tapi mereka tetap maju. Karena diam lebih memalukan daripada kalah.
Sementara itu, Washington—ibu kota dari segala standar ganda—terus menari dengan kebingungan moralnya. Di satu sisi, mereka bicara soal “keamanan maritim global,” di sisi lain, mereka mendanai mesin pembunuh yang menghancurkan Rafah dan Shujaiyah. Mereka mengirim kapal induk untuk “menjaga stabilitas,” tapi tak pernah mengirim satu pun bantuan kemanusiaan ke Gaza tanpa embel-embel kepentingan. Demokrasi, bagi mereka, adalah paket ekspor yang hanya berlaku untuk negara yang mau menandatangani kontrak dagang.
Ansarullah tak meminta pengakuan. Mereka tahu, dalam dunia ini, pengakuan hanya diberikan kepada mereka yang tunduk. Maka mereka memilih untuk tak tunduk. Di tengah gelombang opini, propaganda, dan tekanan militer, mereka justru mengokohkan diri sebagai kekuatan yang mengklaim satu hal: Laut Merah bukan milik korporasi global. Di sana, kata mereka, berlaku hukum kami—hukum solidaritas, hukum pembalasan, hukum pembelaan terhadap Gaza.
Tentu saja, dunia boleh saja tidak sepakat. Mereka boleh mengutuk, menyindir, mengintervensi, atau sekadar mengeluh karena jalur dagangnya jadi tidak nyaman. Tapi dunia tak bisa menyangkal bahwa inilah bentuk paling jujur dari perlawanan di abad ini. Bukan lewat lobi, bukan lewat resolusi PBB yang mati di meja rapat, melainkan lewat aksi nyata yang mengguncang ketenangan palsu globalisme.
Dari perspektif lokal, langkah Ansarullah ini menyentuh satu titik yang kerap dilupakan oleh umat Islam di negeri-negeri jauh: keberanian untuk bertindak ketika mayoritas memilih untuk berdoa saja. Di saat sebagian negara Arab sibuk mencuci tangan dan ikut menormalisasi kejahatan, kelompok kecil dari Yaman ini justru memilih untuk menciptakan gangguan sistemik terhadap zionisme dan pendukungnya. Dan itu dilakukan bukan dari hotel mewah, tapi dari gunung dan pelabuhan yang dikepung blokade.
Apakah mereka sempurna? Tentu tidak. Tapi kesempurnaan bukan syarat untuk membela yang tertindas. Yang dibutuhkan hanya keberanian—dan itu yang mereka miliki lebih banyak daripada para pemimpin dunia yang penuh kalkulasi.
Maka jika hari ini Anda merasa risih karena kapal dagang Yunani tenggelam, tapi tak pernah merasa risih karena rumah sakit di Gaza dihancurkan, mungkin masalahnya bukan di Houthi, tapi di hati Anda. Karena kadang, dunia ini tak butuh lebih banyak analisis—ia hanya butuh sedikit lebih banyak keberpihakan.
Ansarullah mungkin bukan pahlawan dalam versi CNN atau BBC, tapi di mata banyak orang yang telah lelah dengan kemunafikan global, mereka adalah suara paling keras yang masih berani berteriak saat dunia memilih diam. Di tengah debu pelabuhan Hodeida dan dentuman rudal Israel, mereka berdiri sambil berkata: “Jika dunia tidak membela Palestina, maka kami akan membuat dunia merasa bersalah karena diam.”
Pingback: Pengkhianatan Laut Merah: Drama Mesir-Turki untuk Israel - vichara.id