Opini
Ansarullah: Menjaga Perdamaian, Dicap Teroris

Ketika dunia mendambakan perdamaian, entah mengapa mereka justru gemar mengutuk siapa saja yang berusaha mewujudkannya. Ambil contoh Ansarullah, kelompok yang lebih dikenal sebagai Houthi, yang belakangan ini mendadak jadi “teroris” gara-gara terlalu serius menjaga gencatan senjata di Gaza. Ya, rupanya perdamaian bisa jadi masalah besar kalau yang menjaganya bukan pihak yang direstui oleh Barat.
Setelah gencatan senjata di Gaza mulai berlaku pada 19 Januari 2025, Ansarullah dengan lugas menyampaikan pesan kepada semua pihak: “Main-main dengan kesepakatan ini, maka kami tidak akan segan untuk mengembalikan eskalasi ke panggung.” Pernyataan itu tidak main-main. Mereka melangkah lebih jauh dibandingkan diplomasi meja perundingan dengan aksi nyata yang selama 15 bulan terakhir membuat zionis harus berkeringat dingin: meluncurkan rudal, drone, hingga memblokade Laut Merah. Bahkan, meskipun AS mengerahkan armada lautnya yang katanya “tak terkalahkan,” langkah ini tetap sukses memukul perdagangan zionis. Eilat, pelabuhan utama mereka, lumpuh total.
Tapi apa hasil dari perjuangan ini? Sebuah label baru dari Gedung Putih: “teroris.” Ya, dalam dunia yang katanya menjunjung tinggi keadilan, tampaknya menjaga perdamaian adalah kejahatan berat jika Anda tidak berada di pihak yang “benar.” Donald Trump, yang baru saja kembali ke panggung politik, bahkan mengambil langkah untuk memasukkan Ansarullah ke dalam daftar organisasi teroris asing. Karena ya, apa lagi yang bisa dilakukan jika Anda tidak bisa membalas dengan aksi? Cap teroris sepertinya selalu jadi pilihan favorit.
Namun, Abdul-Malik al-Houthi, pemimpin Ansarullah, tak terpengaruh. Dalam pidato yang disiarkan ke seluruh dunia, ia tidak ragu menyebut biang kerok dari semua keributan ini: “Amerika adalah sumber kejahatan, perang, dan penjajahan bangsa-bangsa. Arab dan Muslim harus sadar bahwa menjadi pengikut Amerika dan rezim Zionis hanya akan membuat mereka tetap menjadi budak.” Dan jangan salah, ini bukan sekadar kata-kata. Ansarullah bahkan sedang mempertimbangkan untuk melarang kapal AS melintasi Selat Bab al-Mandab sebagai balasan atas stempel “teroris” yang dilekatkan pada mereka.
Sementara itu, di panggung internasional, semua pihak yang katanya “peduli perdamaian” tampaknya lebih sibuk berbicara ketimbang bertindak. AS, seperti biasa, berjanji untuk melindungi sekutunya di kawasan. Negara-negara Arab lainnya sibuk dengan agenda masing-masing, entah mengurus investasi baru atau membuat aliansi kosong tanpa aksi. Tapi Ansarullah? Mereka tetap berdiri di garis depan, memastikan bahwa pelanggaran gencatan senjata tidak dibiarkan begitu saja.
Dan di sinilah ironi terbesar itu: pihak yang benar-benar bertindak untuk menjaga perdamaian malah dilabeli sebagai ancaman. Karena rupanya, dalam dunia ini, hanya mereka yang punya senjata besar dan mulut manis yang diizinkan bicara soal perdamaian. Sisanya? Ah, cukup diberikan label teroris.
Jadi, ketika Anda mendengar berita tentang Ansarullah dan cap terorisnya, coba tanyakan pada diri sendiri: siapa yang sebenarnya peduli pada perdamaian? Mungkin, jawabannya bukanlah mereka yang punya kekuatan besar, melainkan mereka yang tak takut untuk bertindak meski dunia berusaha membungkamnya.