Opini
Ansarallah: Perlawanan Pengguncang Hegemoni

Dentuman keras mengguncang udara kering di pegunungan Saada, serpihan logam berserakan di antara puing-puing rumah sakit yang belum selesai dibangun. Asap membumbung, menyatu dengan debu cokelat yang terangkat dari tanah tandus, menciptakan tabir kelabu di langit terbuka. Lanskap Yaman membentang di kejauhan—keras, indah, dan penuh rahasia yang tersimpan dalam lipatan batu dan lembah terjal. Ansarallah berdiri di sana, tak tergoyahkan, mata mereka tertuju pada Laut Merah dan Tel Aviv, tangan memegang rudal buatan sendiri yang menentang logika perang modern.
Di Sana’a, ratusan kilometer dari Saada, suara jet tempur AS mengiris langit, meninggalkan gema yang memantul di dinding-dinding kota tua berlapis sejarah. Pepe Escobar, jurnalis yang baru melangkah di tanah ini, menyebut mereka “pejuang leluhur,” sebuah kekuatan penuh keyakinan dan ketahanan yang sulit dipahami. Sementara itu, dari Oval Office, Pete Hegseth bersuara lantang, penuh percaya diri, menjanjikan kehancuran bagi “Houthi”—sebutan keliru untuk Ansarallah, entitas jauh lebih kompleks dari sekadar suku, yang kini menantang narasi kemenangan rapuh itu.
Ansarallah bukan Houthi, meskipun dunia Barat sering menyamakan keduanya. Houthi adalah suku di Yaman utara, sedangkan Ansarallah—berarti “Pendukung Tuhan”—adalah gerakan politik dan militer yang lahir dari ketidakadilan. Escobar menjelaskan bahwa Ansarallah muncul pada 1990-an di bawah Hussein Badreddin al-Houthi, menentang marginalisasi komunitas Zaydi Syiah di tengah korupsi pemerintahan Ali Abdullah Saleh dan intervensi asing. Setelah Hussein dibunuh pada 2004, gerakan ini tumbuh di bawah Abdul-Malik al-Houthi, menyatu dengan Angkatan Bersenjata Yaman (YAF). Mereka bukan sekadar pemberontak; mereka adalah simbol perlawanan terhadap koalisi Saudi yang, sejak 2015, menghancurkan Yaman dengan dukungan AS dan Eropa.
Di lapangan, klaim Hegseth bahwa AS telah menghancurkan “fasilitas bawah tanah, bunker, dan pasukan di tempat terbuka” Ansarallah terdengar kosong. Escobar, yang menyaksikan puing-puing bom Trump di rumah sakit Saada yang sedang dibangun, menegaskan bahwa CENTCOM “tidak punya petunjuk” tentang apa yang mereka bom. Serangan AS sejak Maret 2025 telah menewaskan lebih dari 70 orang, termasuk perempuan dan anak-anak, dan melukai 140 lainnya, namun gagal melemahkan Ansarallah. Sebaliknya, mereka menghancurkan fasilitas air di Hodeidah, merampas air bersih dari 50.000 warga, dan mengebom pemukiman di Sana’a—tindakan yang Escobar sebut sebagai “pengeboman buta” yang hanya menambah penderitaan sipil.
Ansarallah, bagaimanapun, tetap tak tergoyahkan. Escobar menggambarkan mereka sebagai pejuang yang menguasai medan pegunungan Yaman yang “indah namun keras.” Dengan pengalaman 10 tahun melawan koalisi Saudi, mereka menyembunyikan rudal balistik dan drone di lokasi yang tak terdeteksi satelit AS. Laporan mengkonfirmasi bahwa Ansarallah memproduksi senjata secara lokal—fakta yang bahkan Trump akui dengan kagum, meskipun ia keliru menganggapnya baru. Escobar menyoroti bahwa mereka menghindari teknologi modern seperti iPhone, menggunakan “dumb phones” untuk mengelabui pelacakan AS, sebuah taktik yang membuat intelijen CENTCOM “kurang dari nol.” Hasilnya, serangan rudal dan drone Ansarallah ke kapal AS di Laut Merah dan target di Israel terus berlangsung setiap hari.
Ketika Trump menyombongkan diri telah “mengeliminasi banyak pemimpin dan ahli rudal” Ansarallah, Escobar menertawakan klaim itu. Tidak ada nama tokoh Ansarallah yang disebut Washington sebagai korban, dan Sana’a pun bungkam tentang kerugian kepemimpinan. Ia menceritakan pertemuannya dengan Yahya Saree, juru bicara YAF, yang dengan berani muncul di hotel di Sana’a meski menjadi target utama. “Mereka tahu cara bergerak,” kata Escobar, menekankan bahwa Ansarallah tidak pernah menempatkan pasukan di tempat terbuka, bertentangan dengan narasi Hegseth. Sikap mereka yang “zen-like”—tenang, percaya diri, dan tidak terintimidasi—mencerminkan keyakinan pada kemampuan militer yang dikembangkan secara mandiri, hasil improvisasi dan pembelajaran dari insinyur Rusia, China, dan Iran.
Dukungan rakyat menjadi pilar kekuatan Ansarallah. Escobar menegaskan bahwa perjuangan mereka untuk Palestina—melalui blokade laut terhadap kapal terkait Israel dan serangan ke Tel Aviv—telah menciptakan konsensus nasional di Yaman. Bahkan di Aden, yang dikuasai pemerintahan boneka Saudi, warga merasa tertekan dan mendukung Ansarallah secara diam-diam. Ketika AS mengebom pertemuan suku selama Idul Fitri pada 5 April, yang diklaim Trump sebagai “kumpulan teroris,” kemarahan rakyat justru melonjak. Laporan menyebutkan serangan itu menewaskan empat orang dan melukai 20 lainnya di Sana’a, memperkuat narasi Ansarallah sebagai pembela rakyat melawan agresi Barat. “Mereka adalah satu-satunya yang benar-benar melawan genosida Israel,” kata Escobar, merujuk pada solidaritas mereka dengan Gaza.
Konflik ini, baginya, bukan sekadar perang lokal, melainkan bagian dari perjuangan geopolitik melawan poros AS-Israel. Ia menyebut Trump sebagai “pengabdi genosida” yang, bersama Netanyahu, mendorong perang ilegal untuk melindungi kepentingan Zionis. Laporan CNN dan New York Times mengungkap bahwa AS telah menghabiskan hampir 1 miliar dolar sejak Maret 2025, namun gagal menghentikan operasi Ansarallah. Bandara Ben Gurion di Israel kerap ditutup akibat rudal Yaman, dan kapal perang AS seperti USS Harry S. Truman menjadi sasaran rutin. Escobar bahkan menduga pernyataan Trump, “Mereka tidak akan lagi menenggelamkan kapal kami,” sebagai pengakuan terselubung bahwa kerusakan telah terjadi, meskipun Pentagon menyembunyikan fakta itu dalam “kekosongan informasi” yang membingungkan.
Sikap Ansarallah dalam menyampaikan kemenangan juga unik. Tidak seperti Hizbullah yang merilis komunike terperinci, mereka hanya mengunggah video buram serangan ke kapal AS di media sosial, dengan pernyataan sederhana: “Operasi berhasil.” Escobar melihat ini sebagai cerminan budaya Yaman—tegas namun acuh terhadap tekanan untuk membuktikan diri. “Mereka menantang dunia untuk memecahkan teka-teki,” katanya, merujuk pada misteri apa yang sebenarnya terjadi di Laut Merah. Keyakinan mereka berasal dari sejarah panjang sebagai pejuang—Escobar mengingatkan bahwa pasukan Islam awal banyak dipimpin oleh orang Yaman—dan kemampuan beradaptasi yang membuat mereka sulit dilacak, bahkan oleh teknologi AS yang canggih.
Namun, di balik ketahanan ini, harga kemanusiaan sangat berat. Serangan AS telah memperburuk krisis di Yaman, yang sudah hancur akibat blokade dan perang selama satu dekade. Pengeboman fasilitas air dan pemukiman sipil, seperti yang disaksikan Escobar di Saada, hanya menambah penderitaan rakyat. Ia menyebutnya “kejahatan perang” yang disamarkan sebagai strategi militer, dengan Trump berbohong di depan publik tentang target sipil sebagai “teroris.” Meski begitu, Ansarallah tetap berdiri tegak, didorong oleh prinsip moral yang Escobar gambarkan sebagai “kejernihan spiritual.” Mereka tidak hanya bertahan; mereka menantang narasi dominasi Barat dengan setiap rudal yang diluncurkan.
Escobar memandang Ansarallah sebagai simbol perlawanan global terhadap “kekaisaran telanjang” AS. Dalam pandangannya, mereka adalah bagian dari pergeseran dunia menuju tatanan multipolar, di mana kekuatan lokal dapat mengguncang hegemoni global. Laporan menunjukkan bahwa meskipun AS membanggakan keberhasilan, Ansarallah terus menembak jatuh drone AS dan menyerang kapal perang, membuktikan bahwa 1 miliar dolar tidak cukup untuk mematahkan semangat mereka. “Bagaimana AS bisa mengalahkan pejuang berprinsip ini?” tanya Escobar, menegaskan bahwa Ansarallah bukan hanya tentang Yaman, tetapi tentang harapan bagi dunia yang menolak penindasan.
Di tengah dentuman bom dan retorika perang, Ansarallah berdiri sebagai pengingat bahwa kekuatan sejati tidak selalu terletak pada teknologi atau anggaran. Dengan pegunungan sebagai benteng, rakyat sebagai pendukung, dan keyakinan sebagai bahan bakar, mereka menulis ulang narasi konflik Yaman. Seperti yang Escobar katakan, mereka adalah “pejuang leluhur” yang tidak akan menyerah, menantang dunia untuk melihat kebenaran di balik kabut perang—kebenaran bahwa perlawanan, bukan penindasan, yang akan membentuk masa depan.
*Sumber:
- https://www.youtube.com/live/O3O6V8eEcO8
- https://thecradle.co/articles/pentagon-prepares-to-expand-unrelenting-attacks-against-yemen