Connect with us

Opini

Ancaman Terbesar Israel: Serangan Dari Dalam Negeri

Published

on

Ironi besar sedang terjadi di Israel, sebuah negara yang selama ini bangga dengan militernya yang diklaim sebagai salah satu yang terkuat di dunia. Di tengah konflik yang terus berkobar, baik di Gaza maupun Lebanon, Israel justru menghadapi ancaman serius dari dalam. Bukan roket, bukan pejuang Hizbullah, melainkan penolakan rakyatnya sendiri. Lebih dari 1.126 warga ultra-Ortodoks, kelompok yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keagamaan Israel, menolak untuk melangkah ke pusat wajib militer. Mereka menolak, bukan karena takut akan musuh di garis depan, melainkan karena takut kehilangan Tuhan di hati mereka.

Para Haredim, komunitas yang dikenal karena kesalehan dan dedikasi religiusnya, memandang wajib militer sebagai ancaman terhadap iman mereka. Mereka percaya bahwa bergabung dengan militer hanya akan membawa sekularisasi dan menjauhkan mereka dari nilai-nilai suci yang mereka pegang teguh. Ironisnya, negara yang dibangun atas dasar agama kini menghadapi penolakan dari kelompok yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai itu. Apa artinya ini bagi Israel? Di satu sisi, para pemimpin militer terus mengeluarkan surat perintah penangkapan, berharap bahwa tindakan keras dapat memaksa mereka tunduk. Di sisi lain, hati yang menolak tidak bisa dipaksa dengan ancaman atau seragam.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Brigadir Jenderal Shay Taib dengan tegas menyatakan bahwa siapa pun yang tidak hadir di pusat wajib militer akan dicap sebagai pembangkang dan dikejar oleh polisi militer. Namun apakah mereka benar-benar berpikir bahwa kehadiran fisik bisa menggantikan keyakinan yang goyah? Sebanyak 3.000 orang dipanggil, tetapi kurang dari 10 persen yang muncul. Angka itu bukan hanya statistik; itu adalah pernyataan tegas bahwa mereka tidak akan ikut dalam perang yang mereka anggap bertentangan dengan nilai hidup mereka. Israel kini membutuhkan 10.000 tentara tambahan untuk menghadapi konflik yang semakin kompleks, namun bahkan untuk memenuhi kuota 3.000, pemerintah sudah kewalahan.

Mungkin inilah paradoks terbesar Israel: negara yang terus-menerus berbicara tentang ancaman eksternal, ternyata semakin lemah karena perpecahan di dalam. Seharusnya perang menyatukan bangsa, memicu solidaritas, dan memperkuat semangat nasional. Tetapi apa yang kita lihat adalah kebalikannya. Ketika roket-roket menghantam Gaza atau serangan udara menggempur Lebanon, yang terjadi di dalam Israel adalah krisis identitas. Apakah mereka bertarung demi tanah, demi Tuhan, atau demi keangkuhan kekuasaan yang tak mau menerima kelemahan?

Di sisi lain, ada ironi yang lebih pahit. Palestina, yang selama puluhan tahun hidup di bawah pendudukan dan penindasan, tidak pernah kekurangan orang yang rela melawan, meskipun dengan risiko kehilangan nyawa. Lebanon, yang menghadapi bombardir udara hampir setiap hari, tetap berdiri teguh dalam melindungi tanah air mereka. Tetapi Israel, yang mengklaim selalu berada di atas angin, kini tidak bisa meyakinkan rakyatnya sendiri untuk mengenakan seragam dan memanggul senjata. Di mana semangat juang yang selama ini mereka banggakan? Di mana kebanggaan yang mereka klaim sebagai bangsa yang tak terkalahkan?

Mungkin, apa yang terjadi di Israel adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidak hanya datang dari senjata atau teknologi militer. Ia datang dari keyakinan yang tulus, dari solidaritas yang tidak dibuat-buat, dan dari tujuan bersama yang mampu menyentuh hati setiap orang. Ketika perang yang panjang hanya menyisakan kelelahan dan keputusasaan, bukan musuh yang akan menghancurkan, melainkan perpecahan dari dalam.

Israel kini menghadapi ancaman eksistensial, bukan dari luar, tetapi dari kehampaan makna di dalam dirinya sendiri. Mereka yang menolak wajib militer tidak hanya menolak perang, mereka juga menolak gagasan bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk mempertahankan identitas. Dan mungkin, di tengah semua kekacauan ini, dunia sedang diajak untuk melihat bahwa kekuatan terbesar tidak selalu berasal dari mereka yang bersenjata, tetapi dari mereka yang tetap setia pada keyakinannya, bahkan ketika seluruh dunia melawannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer