Connect with us

Opini

Ancaman Nuklir atau Retorika Politik? Menelisik Serangan Israel ke Iran

Published

on

Tidak ada bukti, kata Rafael Grossi, kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA), bahwa Iran tengah melakukan upaya sistematis membangun senjata nuklir. Namun, di tengah dentuman bom Israel yang menghantam fasilitas nuklir Iran, klaim-klaim menggelegar terdengar keras: Iran, kata mereka, hanya “seminggu lagi” dari bom nuklir. Ketegangan ini bukan sekadar urusan diplomatik di ruang-ruang ber-AC markas PBB, melainkan ancaman perang yang mengguncang stabilitas global—termasuk Indonesia, yang meski jauh secara geografis, tetap merasakan dampaknya secara ekonomi dan sosial.

Pada Jumat lalu, Israel melancarkan serangan udara ke Iran, menargetkan pusat-pusat sensitif seperti Natanz, yang dikenal sebagai situs pengayaan uranium utama Iran. Serangan itu diklaim sebagai langkah pencegahan terhadap potensi ancaman nuklir. Iran membalas, dan lingkaran kekerasan pun mulai menggulung. Di tengah kondisi ini, mantan Presiden AS Donald Trump kembali bersuara lantang, menyatakan bahwa Iran “sangat dekat” untuk memiliki senjata nuklir. Namun, suara-suara dari dalam AS sendiri justru membantah klaim tersebut. Tokoh seperti Tulsi Gabbard dan Senator Mark Warner menyebut tak ada indikasi kuat bahwa Iran mengambil langkah nyata menuju pengembangan senjata nuklir. Iran sendiri menegaskan bahwa program nuklir mereka bersifat damai, digunakan untuk tujuan energi dan riset medis.

Pernyataan Rafael Grossi dalam wawancaranya dengan CNN memperjelas kompleksitas situasi. Menurutnya, uranium yang dimiliki Iran memang bisa menjadi bahan dasar senjata, tetapi pembuatan bom nuklir bukan sekadar soal bahan mentah. Diperlukan pula teknologi, pengujian, desain hulu ledak, dan infrastruktur pendukung—semua itu memakan waktu dan tidak bisa direalisasikan dalam hitungan minggu. Ia menambahkan bahwa IAEA telah mengawasi program nuklir Iran selama hampir dua dekade tanpa menemukan bukti bahwa negara itu memiliki program sistematis untuk membuat senjata nuklir.

Namun demikian, sehari sebelum serangan Israel, IAEA mengeluarkan resolusi yang menegur Iran karena dianggap tidak sepenuhnya transparan. Laporan tersebut mencatat bahwa Iran gagal memberikan bukti bahwa bahan nuklirnya tidak dialihkan untuk keperluan militer. Di sinilah kebingungan publik semakin besar: Iran dianggap bersalah karena kurang kooperatif, namun tuduhan bahwa mereka hendak membuat bom nuklir belum dapat dibuktikan secara sah.

Di Washington, Senator Mark Warner, yang menjabat Wakil Ketua Komite Intelijen Senat AS, menyatakan keheranannya atas arah kebijakan luar negeri negaranya. Ia menyebut pendekatan Trump sebagai “kebijakan luar negeri via tweet” yang sembrono dan tak selaras dengan hasil briefing intelijen. Pada bulan Maret lalu, Tulsi Gabbard juga menyampaikan bahwa Iran tidak mengambil langkah nyata menuju pengembangan senjata nuklir—pernyataan yang ia ulangi setelah serangan Israel terjadi. Ketika ditanya mengenai pandangan para pejabat intelijen AS, Trump dengan enteng menjawab bahwa ia “tidak peduli”. Ini bukan sekadar pernyataan kontroversial, tapi indikasi bahwa opini dan agenda politik kini seringkali lebih menentukan arah kebijakan luar negeri dibandingkan fakta objektif.

Israel, di sisi lain, memiliki sejarah panjang menggunakan narasi keamanan sebagai justifikasi tindakan militer. Di Palestina, roket Hamas sering dijadikan dalih serangan besar-besaran ke Gaza. Di Lebanon, keberadaan Hizbullah dituduh mengancam perbatasan. Di Suriah, setiap kehadiran unsur Iran menjadi sasaran serangan udara. Kini, dengan Iran sebagai target utama, ancaman nuklir kembali digunakan sebagai pembenaran. Namun, jika lembaga sekelas IAEA dan bahkan intelijen AS tidak menemukan bukti yang mendukung, apa alasan sebenarnya di balik serangan ini? Apakah ini benar-benar soal menjaga keamanan nasional Israel, atau ada motif lain—seperti keinginan untuk membatasi pengaruh regional Iran atau mengalihkan perhatian dari krisis politik dalam negeri di Tel Aviv?

Iran sendiri tentu tidak sepenuhnya tanpa kesalahan. Sikap mereka yang membatasi akses IAEA dan tidak memberikan jawaban jelas terhadap sejumlah pertanyaan penting memang menimbulkan kecurigaan. Tapi, reaksi mereka setelah serangan Israel—termasuk keputusan untuk membatasi kerja sama lebih lanjut dengan IAEA—lebih mencerminkan sikap defensif daripada agresif. Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Kazem Gharibabadi, mengkritik keras IAEA karena dianggap tidak mengecam serangan Israel. Ia menyebut respons badan itu sebagai “tak masuk akal,” memperlihatkan ketegangan politik yang menekan badan internasional yang seharusnya bersikap netral dan ilmiah.

Indonesia, meskipun tidak terlibat langsung dalam konflik ini, tetap merasakan dampaknya. Ketegangan di Timur Tengah selalu membawa efek domino pada harga minyak dunia—dan itu langsung menyentuh kehidupan rakyat Indonesia. Dari harga BBM yang naik, hingga dampaknya pada harga kebutuhan pokok, rakyat Indonesia sebenarnya tak bisa lepas dari getaran konflik ini. Selain itu, sikap politik luar negeri Indonesia yang mendukung kemerdekaan Palestina membuat konflik apa pun yang melibatkan Israel sangat sensitif di dalam negeri. Aksi-aksi demonstrasi yang marak tiap kali Israel menyerang menunjukkan bagaimana isu ini hidup di benak rakyat.

Namun, di tengah gejolak emosi dan arus informasi yang kerap membingungkan, kita perlu bersikap lebih jernih. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi perdamaian dan pengalaman pahit konflik internal di masa lalu—seperti di Ambon dan Poso—Indonesia punya pelajaran penting: konflik bisa membesar hanya karena salah kelola, salah narasi, dan salah paham. Dalam konteks global, konflik Israel-Iran juga menunjukkan gejala serupa, dengan skala kehancuran yang jauh lebih besar: nuklir, minyak, geopolitik, dan keamanan internasional.

Kesepakatan nuklir JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), yang dulu berhasil meredam ketegangan, kini terbengkalai karena AS keluar dari perjanjian itu di masa kepemimpinan Trump. Keluarnya AS membuka ruang bagi ketegangan baru. Padahal, JCPOA adalah bukti bahwa diplomasi, meski lambat, bisa efektif. Lalu mengapa kesepakatan ini tak dihidupkan kembali? Mengapa justru tindakan militer yang dijadikan pilihan utama?

Realitasnya, mungkin serangan Israel bukan hanya tentang mencegah Iran memiliki bom nuklir, tapi juga bagian dari strategi yang lebih luas: mencegah pemulihan JCPOA, membendung pengaruh Iran di wilayah, serta mengamankan posisi politik dalam negeri. Bagi Iran, kurangnya transparansi bisa jadi karena tekanan luar yang membuat mereka bersikap tertutup. Dan bagi AS, pendekatan konfrontatif di masa Trump menyingkirkan jalan diplomasi demi retorika “kemenangan”.

Sementara itu, IAEA sebagai badan internasional yang seharusnya netral kini berada dalam posisi sulit. Ia punya data teknis, tapi tak punya kekuasaan politik untuk menghentikan eskalasi. Dunia memerlukan lembaga yang bukan hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga didukung oleh komunitas internasional untuk melindungi perdamaian.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari semua ini?

Bahwa “ancaman” hanyalah kata kunci yang kerap digunakan kekuatan besar untuk menjustifikasi kehancuran. Bahwa Israel, dengan dalih keamanan nasional, terus menebar perang, dari Gaza ke Lebanon, dari Suriah ke Iran—siapa pun yang dianggap mengancam dominasinya akan menjadi target, terlepas dari validitas ancaman tersebut. Sejarah mencatat, bukan sekali dua kali Israel menyerang lebih dulu, bukan karena diserang, tapi karena takut kehilangan kendali.

Di balik narasi “perlindungan diri”, Israel menjalankan agenda militeristik yang merusak perdamaian regional dan global. Retorika soal bom nuklir Iran kini tampak seperti pengulangan dari alasan-alasan lama—alasan yang tak lagi diiringi bukti kuat, tapi tetap menghasilkan ledakan nyata, korban nyata, dan kekacauan nyata. Ketika lembaga seperti IAEA dan bahkan intelijen AS pun tak menemukan indikasi kuat, kita patut bertanya: siapa sebenarnya biang instabilitas dunia hari ini?

Indonesia, dan dunia yang mendambakan keadilan, tak boleh diam. Kita harus mengecam segala bentuk agresi militer yang dibungkus dalih keamanan. Karena jika perang terus dibiarkan atas dasar kecurigaan, maka tak akan ada negara yang aman—dan perdamaian hanya akan menjadi ilusi yang terus tertunda.

Perdamaian sejati tidak lahir dari moncong senjata, tapi dari kejujuran, keadilan, dan kesediaan untuk hidup berdampingan. Dunia harus lebih waspada terhadap negara yang terlalu sering bicara soal keamanan, tapi tak henti menabur ketakutan dan menghancurkan stabilitas atas nama pertahanan diri.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *