Opini
Ancaman Erdogan ke SDF: Turki dan Israel, Sama Saja?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Ancaman Turki untuk menyerang Syrian Democratic Forces (SDF) di Suriah baru-baru ini mengingatkan kita pada pola intervensi yang telah lama dilakukan Israel di negara tersebut. Dalam laporan yang dipublikasikan oleh Al Jazeera, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa Turki tidak akan ragu untuk bertindak demi “keamanan nasional” mereka, dan SDF—yang selama ini didukung oleh AS—adalah target utama mereka. Turki memandang SDF sebagai cabang dari Kurdistan Workers’ Party (PKK), kelompok separatis Kurdi yang selama ini menjadi musuh besar Ankara. Ancaman ini bukan hanya memperlihatkan ketegangan yang ada di Suriah, tetapi juga mengungkapkan pola kebijakan luar negeri yang mirip dengan apa yang dilakukan Israel di Suriah, dengan dalih yang serupa: menjaga “keamanan nasional.”
Turki, dalam posisi ini, berusaha memanfaatkan ketidakstabilan yang terjadi setelah kejatuhan Bashar al-Assad pada Desember 2024, yang akhirnya memberi peluang bagi Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) untuk menguasai Damaskus. Dalam laporan yang sama, Erdogan juga mengungkapkan bahwa Turki berperan besar dalam membantu pemerintahan baru Suriah ini, bahkan berencana untuk membantu merancang konstitusi baru untuk negara tersebut. Ini menandakan betapa dalamnya campur tangan Turki, yang jelas bukan sekadar pendukung politik, tetapi juga pemain kunci dalam mengubah wajah Suriah pasca-Assad.
Namun, jika kita menilik lebih dalam, ancaman Turki terhadap SDF tidak jauh berbeda dengan kebijakan Israel terhadap Suriah dalam beberapa tahun terakhir. Israel telah melakukan lebih dari 800 serangan udara terhadap fasilitas-fasilitas di Suriah dengan alasan yang sama: “keamanan nasional.” Dalam serangan-serangan tersebut, Israel menargetkan situs-situs militer yang mereka klaim dapat mengancam posisi mereka, termasuk menyerang sistem pertahanan udara Suriah dan depot amunisi. Tindakan Israel ini, yang dimulai segera setelah kejatuhan Assad, menggunakan alasan yang sangat mirip dengan klaim Turki terhadap SDF—yakni ancaman terhadap integritas negara dan keamanan regional.
Lantas, apa bedanya Turki dengan Israel jika keduanya menggunakan alasan yang sama untuk melakukan intervensi militer? Jika Turki menyerang SDF dengan dalih yang sama seperti yang digunakan Israel di Suriah, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kedua negara ini—dengan cara yang berbeda, tentu saja—menggunakan “keamanan nasional” untuk membenarkan agresi mereka terhadap negara yang sudah porak-poranda akibat perang saudara. Israel, dengan cara mereka sendiri, memanfaatkan ketidakstabilan di Suriah untuk mengamankan kepentingannya, sementara Turki, dengan dalih menjaga perbatasan selatan dan mengatasi ancaman dari kelompok-kelompok separatis, kini tampaknya tidak ragu untuk menggunakan kekuatan militer dalam skala yang lebih besar.
Namun, ada satu persamaan yang tidak bisa kita abaikan: kedua negara ini, baik Israel maupun Turki, berusaha mengubah realitas politik dan militer di Suriah. Mereka berdua beroperasi dengan dalih “keamanan,” tetapi dalam kenyataannya, mereka memperpanjang ketidakstabilan dan melibatkan diri dalam dinamika kekuasaan yang lebih besar di kawasan ini. Turki, yang telah lama berfokus pada isu separatisme Kurdi, kini menjadi bagian penting dari upaya restrukturisasi Suriah setelah kejatuhan Assad, bahkan merencanakan pembentukan konstitusi baru dengan bantuan HTS—kelompok yang dulunya dianggap sebagai kelompok teroris.
Jadi, jika Turki akhirnya menyerang SDF, tindakan tersebut tak berbeda jauh dari apa yang dilakukan Israel selama ini di Suriah. Kedua negara ini akan berada pada posisi yang sama, meskipun dengan alasan yang tampaknya berbeda. Keduanya akan menjadi negara yang memanfaatkan kekacauan untuk memperkuat posisi mereka di kawasan, sementara rakyat Suriah tetap menjadi korban dari permainan politik dan kekuasaan ini. Apakah dunia internasional akan membiarkan hal ini terjadi tanpa tindakan yang berarti? Ataukah kita akan menyaksikan lebih banyak negara yang menggunakan dalih “keamanan nasional” untuk merusak negara yang sudah hancur?
*Sumber: Al Jazeera, Middle East Eye