Opini
Ancaman AS ke Iran: Teater Absurd di Panggung Diplomasi

Di tengah pasir panas Oman, di bawah langit yang seolah menyimpan rahasia dunia, utusan khusus AS Steve Witkoff melempar peringatan tajam: jika pembicaraan dengan Iran pada Minggu ini tak membuahkan hasil, “negosiasi akan berhenti, dan kami akan ambil jalur lain.” Kalimat itu, dilontarkan dalam wawancara dengan Breitbart, terdengar seperti ancaman tua yang diulang, seolah dunia terjebak dalam teater absurd berulang. Iran, dengan sikapnya yang keras kepala, menatap balik tanpa gentar, sementara AS, seperti penutur dongeng yang kehabisan plot, hanya bisa mengacungkan sanksi dan retorika perang. Kegelisahan merayap: setelah puluhan tahun, mengapa kita masih menari di panggung yang sama, dengan naskah yang usang?
Pembicaraan di Oman, yang dijadwalkan Minggu, bukanlah drama baru. Hanya tingkat tinggi, tanpa tim teknis, seolah kedua pihak ingin bicara besar tanpa terjebak detail. “Kami ingin Iran jadi anggota liga bangsa-bangsa,” kata Witkoff, dengan nada yang seolah menawarkan kursi emas di meja dunia. Tapi syaratnya? Iran harus membongkar Natanz, Fordow, Isfahan—tiga fasilitas pengayaan uraniumnya—dan melupakan mimpi nuklirnya. Iran, tentu saja, tertawa sinis. Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, lewat X, menegaskan: “Iran berhak atas siklus bahan bakar nuklir penuh.” Dua pihak, dua dunia, saling berhadapan dengan garis merah yang tak bisa ditawar. Ironis, bukan? AS menuntut Iran menyerah, sementara Iran melihat AS sebagai pengkhianat JCPOA yang dulu dengan congkak meninggalkan kesepakatan pada 2018.
JCPOA, oh, kesepakatan yang pernah jadi harapan! Pada 2015, dunia bersorak saat Iran, AS, dan lima kekuatan lain menandatangani perjanjian untuk membatasi program nuklir Iran demi keringanan sanksi. IAEA, badan atom internasional, berulang kali mengkonfirmasi: Iran patuh hingga 2018. Tapi Trump, dengan gaya koboi yang khas, menarik AS keluar, menyebut JCPOA “kesepakatan terburuk.” Sanksi pun kembali menghantam, ekonomi Iran tersungkur, dan kepercayaan hancur. Iran, seperti petinju yang dipukul tapi bangkit, mulai meningkatkan pengayaan uranium pada 2019—bukan untuk senjata, kata mereka, tapi untuk tekanan balik. IAEA tetap bilang: tak ada bukti Iran mengejar bom nuklir. Tapi AS, dengan paranoia yang sudah jadi tradisi, terus menuduh tanpa bukti kuat. Bukankah ini lucu, dalam cara yang tragis? AS melanggar, tapi Iran yang dicap tak bisa dipercaya.
Dan kini, di Oman, mereka bernegosiasi lagi—tapi tidak langsung, tentu saja. Iran, dengan ketidakpercayaan yang sudah mendarah daging, bersikeras pada mediasi pihak ketiga. Oman, negeri kecil yang tenang, jadi penutur bahasa antara dua musuh bebuyutan ini. AS, yang biasanya suka mendikte, terpaksa menurut, seolah mengakui: “Baiklah, kami tak punya pilihan.” Ini sindiran halus dari sejarah: negara adidaya, dengan armada kapal perang dan dolar yang mengatur dunia, harus rela berbicara lewat perantara karena Iran tak sudi duduk semeja. Kerenyahan ironi ini tak bisa dilewatkan. Iran, yang ekonominya terkepung sanksi, masih bisa memaksakan syarat, menunjukkan bahwa kebanggaan nasional mereka lebih keras dari tekanan maksimum AS.
Tapi mari kita ke inti absurditasnya: ancaman AS. Witkoff, dengan wajah serius, bilang kalau negosiasi gagal, mereka akan “ambil jalur lain.” Apa itu? Serangan militer? Sanksi baru? Kita semua tahu naskah ini. Sejak 1979, AS telah mengancam Iran dengan segala cara—embargo, isolasi, bahkan drone dan operasi siber seperti Stuxnet. Hasilnya? Iran tak pernah tunduk. Mereka malah membangun jaringan proksi—Hamas, Hezbollah, Houthi—dan menjalin aliansi dengan Rusia dan Tiongkok. Ekonomi mereka babak belur, ya, tapi semangat “lawan arogansi global” tetap menyala. Di Teheran, ancaman AS bukan lagi kejutan; itu seperti lagu usang di radio yang tak lagi didengar. Tapi AS, seperti pecandu yang tak bisa lepas, terus mengulang ancaman, seolah berharap kali ini Iran akan berkata, “Baik, kami menyerah.”
Mengapa AS tak pernah belajar? Mungkin karena mereka terjebak dalam cermin politik domestik. Di Washington, sikap keras pada Iran adalah tiket emas. Pemilih konservatif suka mendengar retorika perang; Israel dan Arab Saudi, sekutu setia, menuntut Iran dihajar. Jika AS mencoba diplomasi lembut—katakanlah, mencabut sanksi tanpa syarat ketat—mereka akan dicap lemah. Bayangkan headline Fox News: “Biden (atau Trump) Lunak pada Mullah!” Itu bunuh diri politik. Jadi, ancaman dan sanksi jadi jalan aman, meskipun hasilnya nol. Ini seperti dokter yang terus meresepkan obat yang tak manjur, tapi takut mencoba terapi baru karena takut pasien (atau pemilih) marah.
Tapi jangan salah, Iran bukan malaikat. Mereka mainkan kartu mereka dengan cerdas, kadang licik. Pengayaan uranium hingga 60%? Itu bukan cuma soal energi; itu pesan: “Kalian tekan kami, kami balas dengan cara kami.” Dukungan untuk kelompok proksi di Lebanon, Yaman, atau Gaza? Itu cara Iran memperluas pengaruh tanpa perang langsung. Tapi di sini letak ironinya: AS menuduh Iran sebagai provokator, padahal kebijakan AS sendiri—sanksi, ancaman, pembunuhan Qasem Soleimani pada 2020—yang memicu siklus provokasi ini. Seperti dua anak kecil di taman bermain, saling tuding, “Kau duluan!” Sementara dunia, termasuk kita di Indonesia yang cuma bisa nonton dari jauh, mengelus dada: kapan ini selesai?
Lokal sedikit, deh. Di Indonesia, kita paham betul soal kebanggaan nasional. Bayangkan kalau AS tiba-tiba bilang Indonesia harus hentikan industri apa pun—katakanlah, nikel—karena mereka tak suka. Kita pasti ngelus jidat, bilang, “Lho, ini kan urusan kami!” Iran, dengan cara mereka, melakukan hal yang sama. Mereka bilang, “Nuklir itu hak kami, sama seperti kalian punya hak atas teknologi.” Tapi bedanya, Iran main di panggung yang jauh lebih panas, dengan AS yang tak segan narik pelatuk (atau sanksi). Kita di sini cuma bisa ngopi sambil mikir: dunia ini kok kayak sinetron yang nggak tamat-tamat.
Jadi, apa solusinya? AS harus keluar dari zona nyaman mereka. Lupakan ancaman, coba diplomasi yang tak cuma omong kosong. Misalnya, cabut sanksi kecil dulu—biarkan Iran ekspor minyak ke pasar tertentu—sebagai imbalan atas pembatasan pengayaan. Libatkan Oman lebih dalam, atau bahkan Rusia dan Tiongkok, meski itu bikin AS mual. Atau, coba akui kesalahan masa lalu—ya, bilang kalau keluar dari JCPOA itu bodoh. Sulit? Pasti. Tapi terus mengancam Iran, seperti Witkoff lakukan, cuma akan bikin dunia ini makin panas, dan kita semua yang rugi.
Narasi ini, seperti pasir Oman yang bergeser pelan, mengingatkan kita pada satu hal: diplomasi bukan soal siapa paling keras berteriak, tapi siapa paling pintar mendengar. AS dan Iran, dua raksasa yang saling mengunci tanduk, perlu belajar bahwa ancaman dan keangkuhan tak pernah menang. Kita, penonton di pinggir panggung, cuma bisa berharap mereka sadar sebelum tirai benar-benar jatuh. Atau, setidaknya, sebelum kita kehabisan kopi untuk menahan miris.