Connect with us

Opini

Anak Kandung Zionis di Suriah

Published

on

Puluhan orang yang terafilasi dengan faksi bersenjata berkumpul dalam sebuah aksi protes di pintu masuk jalan menuju kota Nubl dan al-Zahraa di pedesaan utara Aleppo, Suriah.

Mereka menuntut agar penduduk Syiah diusir, rumah-rumah mereka disita, dan jika perlu, mereka harus membayar denda karena dosa besar: tidak cukup setia kepada kelompok bersenjata yang selama bertahun-tahun menghancurkan negara mereka. Sebuah tuntutan yang terdengar familiar—seperti skenario daur ulang dari praktik penjajahan yang dilakukan oleh Israel di Palestina.

Jika ada yang masih meragukan hubungan antara para demonstran ini dengan Israel, mereka sebaiknya berpikir ulang. Bukan hanya metode mereka yang mirip, tetapi juga cara berpikirnya. Mereka merasa berhak mengusir penduduk asli, merebut rumah, dan menghukum siapa saja yang tidak tunduk. Apakah ini kebetulan, atau ada pelatihan khusus dari Tel Aviv?

Di Palestina, Israel telah menyempurnakan seni perampasan. Mereka tidak perlu berdemo meminta rumah orang lain; mereka cukup mengirim buldoser atau menembakkan rudal. Mereka bahkan berhasil menciptakan mitos bahwa tanah yang mereka rampas adalah hak historis mereka. Para demonstran di Suriah tampaknya adalah murid yang buruk dalam kelas penjajahan ini—terlalu kasar, terlalu terbuka, dan terlalu mudah ditebak.

Ketika orang-orang bersenjata di Suriah berteriak agar rumah-rumah di Nubl dan al-Zahraa diberikan kepada orang-orang dari desa tetangga, mereka seharusnya belajar dari Israel. Mengapa berhenti di sekadar demonstrasi? Mengapa tidak buat saja undang-undang resmi yang menyatakan bahwa tanah tersebut “memiliki nilai historis” bagi mereka? Bukankah itu strategi yang lebih halus dan lebih sulit dibantah di forum internasional?

Di Palestina, pencurian rumah sudah menjadi kebijakan negara. Pemukim bisa datang, mengetuk pintu, dan mengklaim rumah itu milik mereka. Jika pemilik asli protes, mereka tinggal menunggu tentara datang untuk mengusir si pemilik. Tidak ada ribut-ribut, tidak ada protes murahan. Para demonstran di Suriah harus belajar dari ini—jika mereka ingin menjadi penjajah yang sukses, tentu saja.

Tetapi, inilah kenyataannya: mereka bukan Israel. Mereka tidak punya senjata nuklir, lobi politik, atau media internasional yang bisa mencuci kejahatan mereka. Mereka hanya sekelompok milisi yang ingin meniru zionis tetapi gagal memahami permainan besar. Israel tahu cara membungkus kejahatan mereka dengan propaganda. Sementara itu, para demonstran ini masih bertindak seperti preman jalanan yang kehabisan akal.

Para demonstran ini adalah anak kandung Israel. Mereka mewarisi kebiasaan zionis dalam mencuri, mengusir, dan menindas. Mungkin mereka bahkan lebih buruk—karena mereka melakukan semua ini tanpa jaminan dukungan dari kekuatan dunia. Zionis memiliki AS dan Eropa di belakang mereka, sementara para demonstran ini hanya punya kebencian dan ilusi kekuasaan.

Jadi, jika mereka benar-benar ingin meniru Israel, mereka harus lebih pintar. Mereka harus memoles propaganda mereka, mencari alasan yang lebih bisa dijual ke dunia, dan membentuk opini publik yang menguntungkan mereka. Atau mungkin, mereka harus menerima kenyataan pahit: mereka bukan Israel, dan mereka tidak akan pernah berhasil menyaingi kebiadaban para pendahulu mereka di tanah Palestina.

Pada akhirnya, para demonstran ini bukan hanya peniru gagal. Mereka adalah Israel kecil di Suriah—versi murahan dari penjajah asli, tanpa kecanggihan, tanpa strategi, dan tanpa dukungan global. Jika ada satu hal yang bisa mereka pelajari dari zionis, itu adalah bagaimana cara menutupi kejahatan mereka dengan lebih baik. Tetapi bahkan dalam kejahatan pun, mereka tetap pecundang.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *