Connect with us

Opini

Amerika Latin Membara, Venezuela Menantang Bayang-Bayang Perang

Published

on

Di perbatasan yang panas, suara sepatu tentara menggema, seolah mengabarkan bahwa sejarah Amerika Latin kembali menulis bab lamanya: ancaman intervensi asing. Nicolás Maduro memerintahkan 15.000 pasukan menuju garis demarkasi dengan Kolombia. Sementara dari kejauhan, kapal-kapal perang Amerika Serikat berlayar dengan gagah, membawa ribuan marinir, membalut niat intervensi dengan jargon suci “perang melawan narkoba.” Ironi itu seperti melihat pencuri yang pura-pura jadi satpam.

Maduro tahu persis apa arti kehadiran tiga kapal perang AS di Karibia. Itu bukan sekadar “operasi kontra-narkotika” sebagaimana alasan resmi yang diulang-ulang Washington. Itu intimidasi. Itu pesan telanjang bahwa Caracas sedang ditarget. Maka mobilisasi militer Venezuela bukan sekadar aksi pertahanan, melainkan deklarasi politik: bahwa bangsa ini tidak akan tunduk. Bahwa mereka masih punya harga diri, bahkan ketika ekonomi ambruk dan rakyatnya mengantre panjang untuk sekadar mendapat roti.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa, yang absurd di sini bukan keberanian Venezuela, melainkan keangkuhan Amerika. Bayangkan, negara yang selama puluhan tahun menjadi konsumen narkoba terbesar dunia—justru tampil seolah pahlawan anti-narkotika. Padahal semua tahu, jalur kartel Meksiko, Kolombia, hingga distribusi di kota-kota besar AS tak pernah benar-benar diputus. Tapi tiba-tiba, Venezuela dijadikan kambing hitam, dituduh memimpin “Cartel de los Soles” tanpa bukti. Lebih ironis lagi, kepala negara yang sah ditetapkan bounty 50 juta dolar, seakan ia penjahat buronan, bukan presiden terpilih.

Langkah ini bukan hal baru. Amerika punya catatan panjang memperlakukan Amerika Latin seperti halaman belakang rumahnya. Dari Kuba, Nikaragua, hingga Chili di era Allende—intervensi, kudeta, dan embargo selalu datang dengan satu narasi suci: demokrasi, kebebasan, atau perang melawan kejahatan. Hasilnya? Negeri-negeri berdaulat porak poranda, rakyat miskin jadi korban, sementara korporasi asing tersenyum lebar menguasai sumber daya. Apakah kita lupa bahwa Venezuela punya cadangan minyak terbesar di dunia? Bukankah lebih jujur jika Washington mengatakan mereka menginginkan minyak, bukan demokrasi?

Maduro, dengan segala cacat politiknya, justru mendapat energi dari ancaman ini. Ia memanfaatkan situasi untuk menyatukan rakyat di bawah bendera nasionalisme. “Kekuatan kita ada pada persatuan rakyat, tentara, dan polisi,” katanya lantang di televisi. Dan benar, 4,5 juta anggota milisi Bolivarian kini dimobilisasi. Apa pun pendapat kita tentang rezimnya, ada satu hal yang jelas: ancaman asing selalu berhasil membangkitkan identitas kebangsaan. Sama seperti kita di Indonesia dulu, yang bisa melupakan konflik internal ketika Belanda kembali datang dengan agresinya. Musuh eksternal seringkali justru mempersatukan.

Namun jangan salah, ini bukan sekadar konflik Venezuela–AS. Jika bara ini terus ditiup, seluruh Amerika Latin bisa terbakar. Kolombia, sekutu dekat Washington, hampir pasti dipaksa menjadi pangkalan operasi. Brasil di bawah Lula mungkin menolak, tapi tekanan itu nyata. Dan kita semua tahu, jika satu negara mulai terbakar, tetangga takkan bisa tidur dengan tenang. Bayangkan arus pengungsi, bayangkan kelompok bersenjata lintas batas, bayangkan ekonomi kawasan yang lumpuh. Semua itu hanya karena satu negara besar merasa berhak mengatur dunia.

Lebih jauh, krisis ini juga bagian dari panggung global yang lebih luas. Rusia, China, dan Iran sudah memberi sinyal dukungan kepada Caracas. Jika Amerika memutuskan jalan militer, bukan tidak mungkin Venezuela jadi “Ukraina versi Amerika Latin.” Perang proksi baru di belahan bumi yang lain. Pertanyaan sederhana muncul: apakah Washington sanggup membuka front baru, sementara Ukraina masih terbakar dan Asia Pasifik menunggu giliran? Atau justru mereka sedang berjudi, berharap Venezuela mudah dipecah seperti Irak atau Libya?

Tapi dunia hari ini bukan dunia sepuluh tahun lalu. Opsi invasi militer penuh terlalu mahal, baik dari sisi biaya maupun politik. Lebih mungkin Amerika memilih jalur perang proksi: sanksi ekonomi yang semakin mencekik, dukungan untuk oposisi, propaganda media, hingga sabotase internal. Semua itu tak kalah mematikan dibanding rudal, karena menghancurkan dari dalam. Dan sayangnya, rakyatlah yang paling dulu merasakan derita: inflasi yang menggila, rumah tangga yang hancur, generasi muda yang memilih eksodus ke negeri tetangga.

Ironi kembali muncul. Amerika yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi justru mendukung kebijakan yang menghancurkan kehidupan rakyat sipil. Seakan-akan, penderitaan jutaan orang hanyalah “kolateral” dalam skenario perubahan rezim. Kita tentu masih ingat Irak yang hancur karena alasan senjata pemusnah massal yang tak pernah ada. Kita tentu masih ingat Libya yang kini jadi sarang milisi setelah Gaddafi dijatuhkan. Apakah Amerika Latin mau mengulang nasib serupa?

Saya percaya, kawasan ini punya peluang berbeda. Brasil, Meksiko, dan Argentina bisa memainkan peran diplomasi untuk menahan arus perang. CELAC sebagai forum independen dari bayang-bayang Washington bisa mengajukan jalan keluar damai. Jika berhasil, ini bukan hanya menyelamatkan Venezuela, tapi juga membuktikan bahwa Amerika Latin bukan lagi halaman belakang siapa pun. Bahwa mereka mampu berdiri sebagai blok yang berdaulat, dengan identitasnya sendiri.

Tetapi mari jujur, harapan itu tipis. Godaan perang selalu lebih seksi daripada meja perundingan. Senjata lebih cepat bicara daripada diplomasi. Dan selama Washington masih merasa berhak menentukan nasib negara lain, bayangan perang tetap menggantung. Bukan hanya di Caracas, tapi di seluruh Amerika Latin. Dari Karibia hingga Andes, dari hutan Amazon hingga Rio de la Plata—bara itu bisa menjalar kapan saja.

Kita di Indonesia mungkin merasa jauh dari sana. Namun sejatinya tidak. Pola dominasi global selalu sama. Jika Venezuela bisa dihancurkan dengan dalih narkotika, siapa yang menjamin negeri lain takkan diperlakukan serupa dengan alasan lain? Teroris, narkoba, atau korupsi hanyalah nama baru untuk intervensi lama. Kita perlu belajar dari sejarah mereka, agar tak jatuh pada jebakan yang sama.

Pada akhirnya, ini bukan hanya soal Maduro atau Trump, bukan hanya soal Caracas atau Washington. Ini soal siapa yang berhak menentukan masa depan sebuah bangsa. Apakah rakyatnya sendiri, dengan segala kesalahan dan kekurangannya? Atau kekuatan asing yang datang membawa kapal perang, senjata, dan cek kosong penuh janji?

Saya rasa jawabannya jelas. Amerika Latin kini berada di persimpangan. Venezuela sudah menyalakan api perlawanan. Pertanyaannya: apakah api itu akan jadi obor persatuan, atau malah membakar seluruh kawasan hingga jadi abu? Kita hanya bisa menunggu, sambil berharap dunia tak kembali mengulang bab gelapnya. Tapi sejarah mengajarkan satu hal: ketika imperium menekan, selalu ada rakyat yang melawan. Dan dari sanalah, sejarah baru ditulis.

3 Comments

3 Comments

  1. Pingback: Armada AS vs Venezuela: Saat Ironi Hadrdi Laut Karibia

  2. Pingback: Armada AS di Karibia, Ancaman Bagi Venezuela

  3. Pingback: AS Siap Membakar Laut Karibia? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer