Connect with us

Opini

Amerika Jual Senjata, Eropa yang Berdarah

Published

on

“Kita mengirimkan senjata ke NATO, dan NATO membayar 100%.”

Kalimat itu keluar dari mulut Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam sebuah wawancara dengan NBC News. Sebuah pernyataan yang terdengar penuh semangat, seolah menandai era baru dalam cara Amerika “membantu” sekutunya tanpa merasa dirugikan. Tapi jika dicermati lebih dalam, kalimat itu menyimpan lebih banyak ironi daripada kelegaan. Ia menyuguhkan wajah perang yang tak lagi berkeringat dan berdarah di parit, melainkan berdasi dan beraroma dolar di ruang dagang dan diplomasi.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Trump kini kembali duduk di Gedung Putih, dan ia tak mau mengulangi skenario presiden sebelumnya—mengalirkan miliaran dolar dana bantuan ke Ukraina lalu dikritik karena terlalu royal. Tidak. Trump cerdik. Ia mengubah skema. Amerika tetap menjadi pemasok utama senjata, tapi pembelinya kini adalah negara-negara NATO di Eropa. Mereka yang membayar, mereka pula yang mengirimkan senjata itu ke Ukraina. Sementara Amerika? Ia cukup mengawasi dari kejauhan, mencetak profit, dan berperan sebagai “pahlawan” yang tetap bersih dari lumpur politik domestik.

Ini bukan sekadar diplomasi perang. Ini adalah logistik yang dibungkus retorika kepahlawanan. Di balik pernyataan Trump itu, terbaca satu hal: Amerika tetap menjadi pedagang utama perang, dan Eropa menjadi pelanggan yang setia—mau tak mau. Tidak ada tekanan eksplisit, tapi tekanan implisit itu sangat terasa. Ketika Berlin, Madrid, dan Oslo membuka dompet untuk membeli sistem pertahanan dari Washington, sesungguhnya mereka sedang membeli rasa aman sekaligus menegaskan siapa pemegang kendali strategis sebenarnya.

Dalam narasi resmi Gedung Putih, langkah ini efisien. Tak perlu menunggu produksi baru dari pabrik senjata AS—cukup alihkan stok milik negara sekutu yang sudah punya, kirim ke Ukraina, dan biarkan mereka mengganti dengan pembelian baru. “Lebih cepat dari Jerman ke Ukraina, daripada dari pabrik kami ke Ukraina,” kata Menteri Luar Negeri Marco Rubio. Efisien, iya. Tapi juga sangat menguntungkan. Terutama untuk pihak yang menjual.

Patriot air defense system—senjata yang kini paling diburu oleh Kyiv—bukanlah senjata sembarangan. Harganya bisa tembus $1 miliar per baterai. Ukraina meminta sepuluh, Jerman setuju dua, Norwegia satu. Tapi siapa yang membuatnya? Amerika. Siapa yang membayar? Negara-negara Eropa. Siapa yang menikmati lonjakan produksi dan keuntungan? Lagi-lagi, Amerika. Ini seperti menjual helm pelindung kepada para petarung yang diminta bertarung di ring, sementara si penjual menonton dari balkon VIP.

Ironi semacam ini tidak asing dalam politik internasional, tapi jarang sekali sejelas ini. Amerika bukan lagi hanya sekadar sekutu—ia menjadi penyedia layanan militer lengkap dengan subscription model. Jika Eropa ingin membantu Ukraina, mereka harus beli dari Amerika. Jika ingin memperbarui stok, Amerika menyediakan. Jika ingin koordinasi logistik? NATO mengurus. Tapi semuanya bermuara pada satu fakta: Amerika kembali menjadi pusat orbit NATO, bukan hanya secara strategis, tapi juga ekonomis.

Situasi ini menyisakan dilema besar bagi negara-negara Eropa. Di satu sisi, mereka tidak bisa membiarkan Ukraina runtuh, karena akan berarti memperluas dominasi Rusia ke pintu belakang mereka. Di sisi lain, mereka semakin bergantung pada industri militer Amerika—baik untuk bertahan, maupun untuk menjaga harga diri geopolitik. Ini bukan aliansi setara. Ini simbiosis yang perlahan menyerupai ketergantungan.

Sementara itu, Ukraina tetap berada di posisi yang menyedihkan sekaligus berbahaya: selalu meminta, selalu berharap. Dalam satu minggu, lebih dari 700 drone dan rudal menghantam kota-kota mereka. Rumah sakit bersalin di Kharkiv hancur, warga sipil terluka, dan Zelenskyy terus mendesak sekutu agar memenuhi janji mereka. Tapi janji itu sendiri kini harus melalui jalur pembelian, bukan hibah. Ukraina, secara tak langsung, menjadi pelanggan akhir dalam rantai pasokan senjata global—meskipun mereka tidak membayar secara langsung.

Trump, dalam berbagai pernyataannya, tampak ingin membuktikan bahwa dirinya mampu mendukung Ukraina tanpa membebani rakyat Amerika. Tapi pada saat yang sama, ia sedang menyusun kalkulasi bisnis paling ambisius: menjadikan perang sebagai instrumen ekspansi ekonomi. Dalam konferensi di Roma, Senator Lindsey Graham—sekutu dekat Trump—bahkan terang-terangan berkata bahwa “kita memiliki senjata terbaik di dunia, dan Eropa bisa membayarnya.” Tentu saja bisa. Tapi apakah seharusnya itu yang dilakukan?

Dan semua ini berlangsung di tengah hubungan yang naik-turun antara Trump dan Zelenskyy. Mereka pernah berseteru tajam—di Oval Office, Trump mengecam Zelenskyy karena “tak tahu berterima kasih.” Tapi kini hubungan mereka disebut “konstruktif.” Mungkin karena Zelenskyy mulai mengerti: untuk bertahan hidup dalam sistem ini, ia harus menjadi diplomat ulung, bukan hanya pemimpin perang. Ia harus tahu kapan memohon, kapan menekan, dan kapan berkata “kami siap membayar—asal senjatanya datang tepat waktu.”

Kita di Indonesia mungkin merasa ini semua jauh—secara geografis, secara politik. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, dinamika ini menunjukkan bagaimana dunia bekerja hari ini: solidaritas bisa diukur dalam dolar, aliansi bisa dikalkulasikan dalam kontrak pembelian, dan kemanusiaan bisa menunggu di halaman belakang sambil dunia bersilang argumen soal siapa yang dapat bagian lebih besar dari penjualan peluru. Dalam dunia semacam itu, kita semua, cepat atau lambat, akan belajar bahwa tidak ada yang benar-benar gratis, bahkan dalam perang yang katanya demi kebebasan.

Trump mungkin akan mengumumkan sesuatu yang besar soal Rusia minggu depan. Bisa saja sesuatu yang mengejutkan. Tapi sejauh ini, hal paling besar yang sudah ia lakukan adalah menjadikan NATO sebagai showroom militer, dan menjual mimpi bertahan hidup kepada Ukraina—dengan pembayaran yang dilakukan oleh negara-negara Eropa. Sebuah pencapaian luar biasa… kalau Anda melihat dunia sebagai spreadsheet dan bukan medan kemanusiaan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer